Emma, seorang ilustrator lepas yang penuh semangat, dan Raka, seorang arsitek berbakat, telah lama merencanakan pernikahan mereka. Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan sempurna, hingga sehari sebelum pernikahan, sebuah tragedi terjadi—Raka mengalami kecelakaan dan koma.
Emma menolak menyerah. Setiap hari, ia duduk di samping Raka, berbicara padanya, berharap keajaiban terjadi. Dan ketika akhirnya Raka sadar, harapan Emma seketika runtuh.
Raka mengalami amnesia. Ia tidak lagi mengingat siapa Emma atau kisah cinta yang pernah mereka jalani. Dengan berat hati, Emma harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang paling ia sayangi kini melihatnya sebagai orang asing.
Bisakah Emma membuat Raka jatuh cinta lagi? Atau haruskah ia merelakan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupnya?
“Satu Hari Sebelum Kau Pergi” adalah kisah tentang kehilangan, kesabaran, dan cinta yang bertahan di tengah ujian takdir. Karena dalam hidup, cinta sejati bukan hanya tentang mengingat—tetapi tentang memilih untuk tetap bersama, berulang kali, dalam setiap kesempatan yang diberikan.
Bab 1: Hari-Hari yang Kita Hitung
Matahari sore jatuh di antara gedung-gedung kota, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, seorang wanita duduk sambil menyesap kopi hangatnya. Di depannya, seorang pria tersenyum, menatapnya dengan penuh arti.
“Apa kau benar-benar yakin ingin menikah denganku, Emma?” tanya pria itu dengan nada menggoda.
Emma menatapnya dengan mata berbinar. “Aku yakin seratus persen. Atau kau yang ragu?”
Raka menghela napas pura-pura berat. “Yah, kalau masih ada kesempatan untuk kabur, mungkin aku akan mempertimbangkannya,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Emma memukul pelan lengannya. “Raka!”
Pria itu tertawa lebih lebar, lalu menggenggam tangannya erat. “Aku bercanda. Aku tak pernah merasa setegas ini dalam hidupku. Besok adalah hari paling penting bagi kita.”
Emma tersenyum. Ia menatap tangan mereka yang saling menggenggam, dan dadanya dipenuhi rasa hangat yang sulit dijelaskan. Sejak pertama kali bertemu dengan Raka, ia tahu bahwa lelaki itu adalah rumahnya. Mereka sudah melalui begitu banyak hal bersama—perbedaan, pertengkaran, mimpi yang kadang tak sejalan—tapi pada akhirnya, mereka selalu kembali satu sama lain.
“Besok, kita akan menjadi suami istri,” kata Emma dengan suara pelan, seolah tak percaya bahwa hari itu akhirnya tiba.
Raka menatapnya dalam. “Besok, aku akan menjadi milikmu sepenuhnya. Jangan menangis di altar, ya?”
Emma tersenyum sambil menggeleng. “Aku tidak menjamin itu.”
Mereka menghabiskan sore itu dengan berbicara tentang masa depan, tentang rumah impian mereka, tentang bagaimana mereka akan membesarkan anak-anak kelak. Raka selalu punya rencana besar, sementara Emma lebih suka membiarkan hidup berjalan seperti air. Tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi.
Malam semakin larut. Mereka berjalan bersama di bawah langit yang bertabur bintang. Raka menggenggam tangan Emma lebih erat, seolah enggan berpisah.
“Emma, aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang perlu kuselesaikan,” kata Raka tiba-tiba.
Emma menatapnya curiga. “Apa itu? Jangan bilang kau akan membeli hadiah pernikahan untukku diam-diam.”
Raka tersenyum misterius. “Siapa tahu? Aku hanya perlu beberapa jam. Setelah itu, aku akan kembali, dan kita akan bersama selamanya.”
Emma menghela napas, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi jangan lama-lama. Aku ingin tidur nyenyak malam ini.”
Raka mengecup keningnya dengan lembut. “Satu malam lagi. Lalu, aku akan ada di sisimu selamanya.”
Emma menatap punggungnya yang menjauh, tak menyadari bahwa itu adalah kali terakhir ia melihatnya sebagai Raka yang ia kenal.
Malam itu, ia tertidur dengan senyum di wajahnya, membayangkan kebahagiaan yang akan ia jalani esok hari.
Namun, esok pagi, sebuah panggilan telepon mengubah segalanya.
Bab 2: Kabar yang Tak Pernah Diinginkan
Dering ponsel membangunkan Emma dari tidurnya. Matanya masih berat, dan ia meraba-raba meja di samping tempat tidur untuk mengambil ponselnya. Tanpa melihat layar, ia mengangkatnya dengan suara mengantuk.
“Halo…?”
Di seberang telepon, suara panik seseorang menyambutnya.
“Emma! Raka… dia mengalami kecelakaan!”
Jantung Emma serasa berhenti berdetak. Tubuhnya menegang, dan kantuk yang tadi masih menyelimuti langsung menguap begitu saja.
“Apa? Apa maksudmu?!” suaranya gemetar.
“Dia kecelakaan mobil tadi malam… sekarang dia ada di rumah sakit! Kau harus segera ke sini!”
Emma tidak bisa berpikir jernih. Tangannya bergetar saat meletakkan ponsel. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa sulit bernapas.
Tanpa pikir panjang, ia segera berlari keluar, bahkan tidak sempat berganti pakaian yang lebih layak. Jantungnya terus berdetak liar, pikirannya dipenuhi ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Tidak, ini pasti hanya mimpi buruk… Besok kami akan menikah. Raka baik-baik saja. Dia hanya terluka sedikit…”
Namun, saat ia tiba di rumah sakit dan melihat wajah para dokter dan perawat yang sibuk berlalu lalang, kenyataan menamparnya dengan kejam.
Di sana, di balik pintu ICU, Raka terbaring tak sadarkan diri.
Emma berlari menuju ruang perawatan dengan langkah yang nyaris terseret. Tubuhnya terasa ringan, seperti tak berpijak di dunia nyata. Seolah ini bukan hidupnya. Seolah ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir jika ia membuka mata.
Namun, saat ia mendekati ranjang rumah sakit itu, kenyataan menghantamnya lebih keras.
Raka terbaring diam, wajahnya pucat dengan alat bantu pernapasan menutupi sebagian wajahnya. Kepalanya diperban, dan beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Monitor detak jantung berbunyi dengan ritme pelan, seakan setiap detiknya adalah pertempuran bagi pria yang dicintainya.
Emma merasa kakinya goyah. Jika bukan karena seseorang yang menopangnya, mungkin ia sudah jatuh ke lantai.
“Ini tidak nyata… ini tidak nyata…” bisiknya.
Dokter yang bertugas mendekatinya. “Emma?”
Emma menatapnya dengan mata berkaca-kaca, berharap ada sesuatu yang bisa ia dengar dan membuatnya tenang.
“Bagaimana keadaannya? Dia akan segera sadar, kan?”
Dokter itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia menelan ludah sebelum berbicara, seolah tidak ingin mengatakan apa yang harus dikatakannya.
“Raka mengalami cedera otak akibat benturan keras… saat ini, dia dalam keadaan koma.”
Dunia Emma runtuh seketika.
“Koma…?”
Dokter mengangguk pelan. “Kami sudah melakukan tindakan terbaik, tapi… kami tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar. Bisa satu minggu, satu bulan… atau lebih lama dari itu.”
Emma menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang ingin meledak.
“Tidak… besok kami akan menikah,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Kami sudah menyiapkan semuanya… kami… kami akan bahagia…”
Tubuhnya gemetar hebat. Ia jatuh berlutut di sisi ranjang Raka, menggenggam tangannya yang terasa begitu dingin.
“Raka, kau berjanji akan selalu bersamaku… Jangan pergi…”
Air matanya jatuh membasahi tangan lelaki itu. Tapi Raka tetap diam, tetap tak bergerak.
Malam itu, Emma tidak pulang. Ia duduk di samping Raka sepanjang malam, menggenggam tangannya erat. Ia berbicara padanya, menceritakan kisah mereka, berharap Raka bisa mendengarnya.
“Besok seharusnya hari paling bahagia dalam hidup kita, Raka… Aku sudah membayangkan bagaimana aku akan menangis saat berjalan di altar, melihatmu tersenyum di sana…”
Suaranya bergetar, dan dadanya terasa begitu sesak.
“Tapi sekarang… aku hanya ingin kau membuka mata. Kumohon, Raka…”
Namun, satu-satunya yang menjawabnya hanyalah suara monitor detak jantung yang tetap berdetak pelan, stabil… tapi sunyi.
Malam itu, gaun pengantin yang seharusnya ia kenakan tergantung di rumahnya, tak tersentuh.
Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan mereka… berubah menjadi hari pertama dalam penantiannya yang tak pasti.
Bab 3: Hari-Hari yang Tak Bergerak
Langit pagi terlihat kelabu, seolah ikut merasakan kepedihan yang menggelayuti hati Emma. Sudah dua hari sejak Raka koma, dan sejak saat itu, Emma belum meninggalkan rumah sakit.
Gaun pengantin yang seharusnya ia kenakan masih tergantung rapi di rumahnya, tak tersentuh. Buket bunga yang dipersiapkan untuk pernikahannya kini sudah mulai layu. Semua yang telah ia impikan—hari bahagianya, janji suci mereka, tarian pertama mereka sebagai suami istri—semua itu kini terasa begitu jauh, seperti mimpi yang perlahan-lahan menguap dalam kenyataan pahit.
Emma duduk di samping ranjang Raka, seperti yang selalu ia lakukan. Tangannya menggenggam jemari pria itu, dingin dan kaku, tak lagi memberikan balasan hangat seperti dulu.
“Raka…” suaranya nyaris seperti bisikan, bergetar oleh kelelahan dan kesedihan. “Hari ini harusnya kita sedang dalam perjalanan bulan madu… Mungkin ke tempat yang kau impikan… ke Jepang, ke Paris, atau mungkin ke tempat yang lebih sederhana seperti vila kecil di puncak.”
Ia tertawa kecil, tapi air mata sudah mengalir di pipinya.
“Tapi lihat kita sekarang… Aku di sini, menggenggam tanganmu… tapi kau bahkan tidak bisa melihatku,” suaranya pecah, dan ia mengeratkan genggamannya.
Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi.
Emma tahu bahwa dokter sudah memperingatkannya untuk tidak terlalu berharap. Tidak ada jaminan kapan Raka akan sadar, atau bahkan jika ia akan sadar. Tapi Emma menolak menerima kemungkinan itu.
“Aku tidak peduli berapa lama aku harus menunggu, Raka. Aku akan tetap di sini, setiap hari. Aku akan menceritakan semua hal yang kau sukai, aku akan tetap berbicara padamu… sampai kau bangun dan kembali padaku.”
“Aku tak peduli berapa lama aku harus menunggu. Jika kau lupa aku, aku akan membuatmu jatuh cinta lagi, seperti pertama kali.”
Emma menutup matanya, mencoba menahan tangis yang semakin deras.
Hari berganti minggu.
Minggu berganti bulan.
Emma tetap di sana, di rumah sakit yang terasa semakin sunyi setiap harinya.
Dokter dan perawat yang awalnya sering mencoba membujuknya untuk pulang kini sudah berhenti berusaha. Mereka tahu bahwa sia-sia menyuruhnya pergi. Emma sudah membuat keputusannya—ia akan tetap di sisi Raka, tidak peduli seberapa lama.
Setiap hari, ia membawa buku favorit Raka dan membacanya dengan suara lembut. Ia memutarkan lagu-lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama. Ia bahkan membawakan aroma parfum yang Raka suka, berharap indera pria itu bisa merespon meski sedikit.
Namun, Raka tetap diam.
Kadang, Emma merasa putus asa. Pernah suatu malam, ia terduduk di kursi, menatap wajah tunangannya yang tak bergerak.
“Raka… apakah kau masih bisa mendengarku?”
Tidak ada jawaban.
“Apakah kau masih ingin kembali padaku?”
Masih tidak ada jawaban.
Tangisnya pecah. Ia menundukkan kepala di tepi ranjang dan membiarkan air matanya jatuh, membasahi seprai putih yang terasa begitu dingin.
“Jangan pergi…”
Suatu malam, dokter memanggilnya ke ruangan.
“Emma,” kata dokter itu dengan nada hati-hati, “kami perlu berbicara tentang kondisi Raka.”
Emma menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa cemas yang tiba-tiba melandanya. “Apa ada kemajuan?”
Dokter itu tampak ragu-ragu. “Tidak ada perubahan signifikan… tapi kondisi seperti ini… bisa bertahan lama.”
Emma menggenggam erat tangannya sendiri. “Maksud Anda?”
Dokter menatapnya dengan penuh simpati. “Kami tidak bisa memastikan kapan atau apakah Raka akan sadar. Beberapa pasien dengan kondisi serupa bisa bertahan bertahun-tahun tanpa perubahan.”
Emma merasa dunia berputar. “Tahun-tahun…?”
Dokter mengangguk. “Kami ingin kau mempertimbangkan… kehidupanmu sendiri, Emma. Raka mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kau masih muda… jangan biarkan hidupmu berhenti di sini.”
Kata-kata itu menampar Emma lebih keras daripada yang ia bayangkan.
“Jadi, maksud Anda… aku harus menyerah?”
Dokter terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku tidak mengatakan itu… hanya saja, kau juga perlu memikirkan dirimu sendiri.”
Emma menggeleng dengan air mata berlinang.
“Tidak… aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tidak akan meninggalkannya.”
Ia keluar dari ruangan dokter dengan dada sesak. Kata-kata tadi terus terngiang di pikirannya, membuatnya merasa ketakutan.
Tapi tidak. Ia tidak akan menyerah.
Tidak sekarang.
Tidak pernah.
Emma kembali ke kamar Raka, duduk di sampingnya seperti biasa.
Ia menggenggam tangan pria itu erat, meletakkan kepalanya di atas dada yang masih berdetak pelan.
“Raka… aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan menunggu… sampai kapan pun…”
Namun, ia tidak tahu bahwa takdir memiliki rencana lain.
Bab 4: Saat Matanya Terbuka
Sudah lebih dari tiga bulan sejak kecelakaan itu.
Emma tetap di sana, di rumah sakit yang kini terasa seperti rumah kedua baginya. Ia telah terbiasa dengan suara monitor jantung yang berdetak pelan, dengan bau antiseptik yang menusuk hidung, dan dengan wajah-wajah perawat yang mulai menganggapnya bagian dari tempat itu.
Hari ini, seperti biasa, Emma duduk di samping ranjang Raka, membaca buku dengan suara pelan. Ia memilih buku favorit Raka, berharap suaranya bisa membangunkan lelaki itu dari tidur panjangnya.
“Dan pada akhirnya, cinta bukan tentang seberapa lama kau menunggu. Tapi tentang seberapa dalam kau percaya.”
Emma menutup bukunya, menatap wajah tunangannya yang masih diam. Ia menghela napas, mengusap jemarinya yang semakin kurus.
“Raka… aku lelah,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku ingin kau kembali… Aku ingin mendengar suaramu lagi… Aku ingin melihat senyummu…”
Air mata menggenang di matanya. Ia sudah mengatakan ini berkali-kali, namun jawaban yang ia dapat selalu sama: keheningan.
Namun hari ini berbeda.
Seketika, jari-jari Raka bergerak lemah.
Emma membeku. Ia menatap tangan itu dengan mata melebar.
“Raka…?”
Kelopak mata pria itu sedikit bergetar. Lalu perlahan, dengan sangat pelan, ia membukanya.
Hatinya berdegup kencang, dadanya seakan sesak karena emosi yang begitu besar. Ini adalah saat yang telah ia nantikan selama berbulan-bulan.
Raka mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya lampu ruangan yang terasa terlalu terang baginya. Tubuhnya tampak lemah, seolah baru saja kembali dari dunia yang begitu jauh.
Emma menahan tangisnya, lalu dengan suara gemetar, ia berkata, “Raka… kau sadar… Kau kembali…”
Namun saat mata mereka bertemu, sesuatu terasa berbeda.
Raka menatapnya dengan ekspresi bingung. Matanya yang dulu penuh kasih sayang, kini hanya dipenuhi kebingungan.
Emma menggenggam tangannya erat. “Ini aku, Emma… Aku di sini… Aku selalu di sini…”
Raka berkedip sekali, lalu mengerutkan alisnya. Ia tampak berusaha mengingat sesuatu, namun semakin ia mencoba, semakin wajahnya dipenuhi kebingungan.
Kemudian, dengan suara serak dan pelan, ia bertanya,
“Maaf… siapa kamu?”
Jantung Emma seakan berhenti berdetak.
Tidak.
Emma yakin ia salah dengar. Mungkin karena Raka baru saja sadar, mungkin pikirannya masih kabur.
“Raka… ini aku, Emma,” ulangnya dengan suara yang lebih lembut. “Tunanganmu.”
Namun, ekspresi Raka tetap sama—kosong, asing, seperti melihat seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.
“Tunangan?” ulangnya pelan, seolah kata itu terasa asing di lidahnya. “Aku tidak… aku tidak ingat…”
Emma terdiam. Tubuhnya terasa lemas, seolah seluruh kekuatannya menguap begitu saja.
Dokter dan perawat segera masuk ke ruangan setelah mendengar kabar bahwa Raka telah sadar. Mereka mulai melakukan pemeriksaan, mengajukan pertanyaan sederhana, memeriksa responsnya.
Namun satu hal yang pasti: Raka mengalami amnesia retrograde. Ia kehilangan sebagian besar ingatan masa lalunya, termasuk tentang Emma… dan hubungan mereka.
Harapan yang Mulai Memudar
Emma duduk di luar kamar perawatan, memeluk dirinya sendiri. Kepalanya terasa penuh, hatinya terasa kosong.
Raka sudah sadar. Ini yang selama ini ia harapkan, ini yang selama ini ia doakan.
Tapi tidak seperti ini.
Bukan sebagai orang asing.
Ia mengingat keluarganya, ia mengingat masa kecilnya, bahkan beberapa teman kuliahnya. Tapi ia tidak mengingatnya. Tidak mengingat mereka.
Seolah ia tidak pernah ada dalam hidupnya.
Perawat keluar dari kamar dan tersenyum padanya. “Emma, kau bisa masuk sekarang. Dia ingin bicara denganmu.”
Emma mengangguk lemah dan berjalan masuk.
Di dalam, Raka duduk bersandar di ranjang, masih tampak lelah, tapi sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa jam lalu.
Saat melihatnya masuk, pria itu menatapnya dengan ekspresi campuran antara rasa bersalah dan kebingungan.
“Maaf,” katanya pelan. “Aku… aku benar-benar tidak ingat siapa kau.”
Emma tersenyum samar, meskipun hatinya berteriak kesakitan. “Tidak apa-apa, Raka… Aku di sini untuk membantumu mengingat.”
Namun, Raka tampak semakin ragu. “Aku… aku tidak ingin kau merasa terbebani. Aku bahkan tidak tahu apakah ingatanku akan kembali atau tidak.”
Emma menggenggam tangannya. “Tidak masalah. Aku akan menunggumu.”
Tapi Raka hanya diam.
Seakan ia tidak ingin mengucapkan sesuatu yang akan menyakitinya lebih dalam.
Hari-hari berlalu, namun ingatan Raka tidak juga kembali.
Emma mencoba segalanya—membawanya ke tempat yang dulu mereka kunjungi, menceritakan kisah-kisah mereka, menunjukkan foto-foto mereka bersama.
Namun Raka tetap menatapnya dengan cara yang sama.
Sebagai orang asing.
Suatu hari, di sebuah sore yang dingin, Raka akhirnya mengatakannya.
“Emma…” suaranya terdengar berat.
Emma menatapnya dengan penuh harapan.
“Aku tidak ingin membuatmu menderita lebih lama.”
Emma mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”
Raka menghela napas, menatap tangannya sendiri. “Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk seseorang yang bahkan tidak bisa mengingatmu. Aku… aku ingin mencoba hidup baru, tanpa bayangan masa lalu.”
Dunia Emma runtuh sekali lagi.
“Kau… ingin aku pergi?”
Raka menatapnya dengan tatapan penuh rasa bersalah, namun tetap tegas.
“Maaf, Emma…”
Emma menahan napas. Air matanya menggenang, tapi ia menahannya sekuat tenaga.
“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Kalau itu yang kau inginkan… aku akan pergi.”
Ia berbalik, melangkah keluar dari ruangan dengan kaki yang terasa begitu berat.
Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia berbisik,
“Aku mencintaimu, Raka. Meski kau tak lagi mengingatku… aku akan selalu mengingatmu.”
Lalu, ia pun pergi,.
Bab 5: Ingatan yang Hilang
Langit sore mendung saat Emma melangkah keluar dari rumah sakit. Udara dingin menggigit kulitnya, tetapi tidak ada yang lebih dingin daripada kehampaan yang ia rasakan di dalam hatinya.
Dia berjalan tanpa arah, membiarkan langkah-langkahnya membawanya ke mana saja. Langkahnya berat, seolah ada sesuatu yang mencengkeram jiwanya dan menolak untuk melepaskan.
Hari ini, dia telah kehilangan seseorang yang selama ini ia perjuangkan.
Bukan karena maut.
Bukan karena orang ketiga.
Tapi karena kenangan—hal yang dulu menjadi fondasi cinta mereka, kini lenyap begitu saja.
“Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk seseorang yang bahkan tidak bisa mengingatmu.”
Kata-kata Raka masih terngiang di kepalanya, berulang-ulang seperti jarum yang terus menusuk jantungnya.
Emma berhenti di depan sebuah taman kecil. Tangannya meremas rok yang ia kenakan, menahan isakan yang akhirnya pecah di tenggorokannya.
“Kenapa harus seperti ini…?” bisiknya pelan.
Seandainya Tuhan memberinya pilihan, ia lebih memilih menunggu Raka dalam keadaan koma seumur hidup daripada melihatnya sadar tanpa mengenalnya.
Baginya, kehilangan kenangan lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang selamanya.
Beberapa minggu berlalu sejak hari itu.
Emma kembali ke rutinitasnya—pergi bekerja, pulang, tidur, dan mengulang siklus yang sama setiap hari. Namun, dunianya terasa hampa. Setiap sudut kota mengingatkannya pada Raka. Setiap lagu, setiap aroma, setiap kopi yang ia minum, semuanya terasa salah tanpa pria itu di sisinya.
Kadang-kadang, dia bertanya-tanya… apakah Raka merasakan hal yang sama?
Tapi tidak.
Raka sekarang hidup dengan dunianya sendiri, tanpa satu pun ingatan tentangnya.
Emma tidak lagi mengunjungi rumah sakit. Dia sudah berjanji untuk pergi, dan dia tidak ingin melanggar janji itu.
Namun, takdir punya caranya sendiri untuk mempermainkan hatinya.
Suatu sore, tanpa sengaja, dia melihat Raka di sebuah kafe.
Pria itu duduk di dekat jendela, menyeruput kopi hitam, menatap jalanan dengan ekspresi kosong.
Dada Emma terasa sesak melihatnya.
Dia ingin mendekat. Ingin menyapa.
Tapi sebelum dia sempat melakukan apa pun, seseorang datang dan duduk di depan Raka.
Seorang wanita.
Emma menahan napas saat melihat Raka tersenyum padanya. Senyuman yang dulu hanya untuknya.
Wanita itu tertawa kecil, mengatakan sesuatu yang membuat Raka terkekeh.
Hati Emma mencelos.
Raka benar-benar melanjutkan hidupnya… tanpa dirinya.
Ia menundukkan kepala, menggigit bibirnya, lalu dengan langkah cepat meninggalkan kafe itu sebelum air matanya jatuh.
Bukti Bahwa Aku Pernah Ada
Malam itu, Emma mengeluarkan semua kenangan mereka dari laci meja—foto-foto, surat-surat kecil yang dulu sering mereka tukar, bahkan tiket bioskop dari kencan pertama mereka.
Satu per satu, ia melihatnya dengan mata yang mulai memerah.
“Jika kau lupa aku, aku akan membuatmu jatuh cinta lagi, seperti pertama kali.”
Dulu, ia begitu yakin. Tapi sekarang, semua itu terasa mustahil.
Emma akhirnya mengambil sebuah pena dan kertas, lalu mulai menulis.
Untuk seseorang yang tak lagi mengenalku,
Aku pernah menjadi seseorang dalam hidupmu.
Aku pernah menjadi alasan kau tersenyum,
Pernah menjadi tempat kau pulang,
Pernah menjadi seseorang yang kau cintai.
Tapi kini, aku hanya bayangan dalam ingatan yang tak lagi ada.
Aku tidak akan memaksamu mengingatku,
Dan aku tidak akan berharap lebih.
Aku hanya ingin kau tahu…
Bahwa aku pernah ada.
Dan aku mencintaimu dengan seluruh hatiku.
Sampai kapan pun.
Emma melipat surat itu dengan hati-hati.
Lalu, ia pergi ke rumah sakit tempat Raka dirawat. Ia tahu ia tak boleh bertemu dengannya lagi, tapi ia menitipkan surat itu pada seorang perawat.
“Jika dia bertanya tentang masa lalunya, berikan ini,” kata Emma dengan senyum kecil.
Kemudian, ia pergi.
Tanpa menoleh lagi.
Raka dan Satu Surat Tanpa Nama
Beberapa hari kemudian, Raka sedang membereskan kamarnya ketika perawat rumah sakit menelepon.
“Ada sesuatu untuk Anda,” kata perawat itu.
Beberapa menit kemudian, Raka menerima sepucuk surat. Tidak ada nama pengirim.
Ia membuka lipatannya dengan hati-hati, lalu mulai membaca.
Semakin ia membaca, semakin dadanya terasa aneh.
Seolah… ada sesuatu yang hilang darinya.
Sesuatu yang seharusnya ia ingat.
Saat ia menyelesaikan surat itu, dadanya terasa berat. Tangannya mengepal erat.
Ada satu kata yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Sebuah nama.
“Emma…?”
Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, hatinya merasa kosong.
Bab 6: Melepaskan Dia yang Kucinta
Hujan turun pelan di luar jendela apartemen Emma. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar, membiarkan pikirannya melayang jauh.
Sudah sebulan sejak ia mengirimkan surat itu ke rumah sakit. Sejak saat itu, ia benar-benar berhenti mencari tahu tentang Raka.
Bukan karena ia tidak peduli.
Bukan karena ia sudah melupakan.
Tapi karena ia tahu, semakin ia bertahan, semakin sulit baginya untuk melanjutkan hidup.
Namun, cinta tidak pernah benar-benar hilang begitu saja.
Ada malam-malam di mana ia terbangun dengan mata basah, memimpikan sosok yang dulu selalu ada di sisinya. Ada saat-saat di mana ia tak sengaja menyebut namanya dalam doa, meski ia tahu Raka mungkin sudah tak lagi memikirkannya.
Kadang, cinta itu seperti luka yang tak bisa disembuhkan.
Suatu hari, saat Emma sedang bekerja, ponselnya bergetar.
Nomor tak dikenal.
Awalnya, ia ingin mengabaikannya, tapi entah kenapa, ada dorongan dalam hatinya untuk menjawab.
“Halo?”
Sejenak, tidak ada suara. Hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.
Lalu, suara yang begitu ia kenal mengisi telinganya.
“Emma?”
Emma merasa seluruh tubuhnya membeku.
Raka.
Ia menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Iya… ini aku.”
“Aku ingin bertemu denganmu,” suara Raka terdengar ragu, seolah ia sendiri tidak yakin dengan keputusannya.
Emma menutup mata, menarik napas dalam.
“Untuk apa, Raka?” tanyanya pelan.
“Ada sesuatu yang harus aku katakan… sesuatu yang penting.”
Emma duduk di bangku taman, jemarinya saling menggenggam erat, berusaha mengontrol detak jantungnya yang tidak teratur.
Sudah lama sejak terakhir kali ia melihat Raka.
Dan ketika pria itu akhirnya muncul, Emma harus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bernapas.
Raka terlihat sama seperti yang terakhir kali ia lihat—tetap tampan, tetap Raka yang ia kenal. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya.
Ada sesuatu yang ingin ia katakan.
“Apa kabarmu?” tanya Raka, duduk di sampingnya.
Emma tersenyum kecil. “Baik.”
Hening sejenak.
Kemudian, Raka mengeluarkan selembar kertas yang sudah kusut dari sakunya.
“Surat ini,” katanya pelan. “Aku menemukannya beberapa minggu lalu.”
Emma menahan napas. Itu surat yang ia tulis. Surat yang ia kirimkan untuk seseorang yang tidak lagi mengenalnya.
“Aku tidak tahu kenapa… tapi ketika aku membacanya, ada sesuatu yang terasa begitu familiar.”
Emma hanya diam.
Raka mengusap tengkuknya, tampak frustrasi. “Aku merasa seharusnya aku mengingat sesuatu… atau seseorang…”
Ia menoleh ke arah Emma, tatapannya penuh kebingungan dan harapan yang hampir putus.
“Emma… siapa kau bagiku?”
Dada Emma mencelos.
Itu pertanyaan yang ia takutkan.
Ia ingin mengatakan segalanya—bahwa mereka pernah saling mencintai, bahwa mereka pernah berjanji untuk hidup bersama, bahwa mereka hampir menikah sebelum takdir memisahkan mereka.
Tapi apa gunanya mengatakan semua itu… jika orang yang ia cintai bahkan tidak bisa mengingatnya?
Emma tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa remuk.
“Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengingatku, Raka,” katanya pelan. “Mungkin, aku hanyalah seseorang yang singgah sebentar dalam hidupmu.”
“Tapi aku merasa… aku kehilangan sesuatu yang penting,” Raka menggenggam surat itu erat. “Aku ingin mengingatmu, Emma.”
Air mata menggenang di mata Emma.
“Tapi bagaimana jika kau tidak bisa?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Raka terdiam.
“Kau ingin aku tetap berada di sisimu, menunggu sesuatu yang belum tentu akan kembali?” lanjut Emma, suaranya bergetar. “Raka… kau sudah mengatakan sendiri bahwa kau ingin hidup tanpa bayangan masa lalu.”
Ia menghela napas panjang, lalu berdiri.
“Aku sudah melepaskanmu sekali, Raka,” katanya dengan senyum lembut yang menyembunyikan luka di hatinya. “Dan aku tidak akan membuatmu terikat pada sesuatu yang tidak bisa kau ingat.”
Raka menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi tidak ada kata yang keluar.
Ia hanya diam, membiarkan Emma melangkah pergi.
Emma berjalan menjauh dengan langkah perlahan.
Saat ini, ia merasa sakit.
Sakit karena harus melepaskan seseorang yang begitu ia cintai… untuk kedua kalinya.
Tapi ia juga merasa ringan.
Karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar menerima kenyataan bahwa cinta tak selalu tentang memiliki.
Kadang, cinta adalah tentang melepaskan.
Ia menoleh sekali lagi sebelum benar-benar pergi.
Raka masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan tatapan kosong.
Dan di hatinya, Emma berbisik pelan,
“Aku mencintaimu, Raka. Selalu.”
Lalu, ia pun pergi.
Dan kali ini, ia tidak akan kembali.
Bab 7: Tahun-Tahun Tanpa Kita
Waktu terus berjalan tanpa menunggu siapa pun.
Sejak pertemuan terakhir mereka di taman, Emma benar-benar menghilang dari kehidupan Raka. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, tidak ada jejak yang bisa diikuti.
Dan meskipun Raka mencoba untuk kembali menjalani hidupnya seperti biasa, ada sesuatu yang terasa kosong.
Ada malam-malam di mana ia duduk diam di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar, mencoba mengingat sesuatu yang tampaknya begitu penting… tetapi tetap tak bisa ia genggam.
Ia tahu bahwa Emma adalah seseorang yang berarti baginya.
Ia tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang besar.
Tapi kenangan itu tetap tertutup rapat, seolah dunia tidak ingin memberikannya kembali.
Di sisi lain, Emma telah berusaha keras untuk melanjutkan hidupnya.
Setelah melepaskan Raka, ia memutuskan untuk pindah ke kota lain, memulai segalanya dari awal. Ia mendapatkan pekerjaan baru, bertemu orang-orang baru, bahkan mulai belajar untuk tersenyum tanpa merasa ada sesuatu yang hilang.
Namun, ada hal-hal yang tidak bisa benar-benar dilupakan.
Ada saat-saat ketika ia tanpa sadar masih membuat dua cangkir kopi di pagi hari, hanya untuk menyadari bahwa tidak ada siapa pun di sana.
Ada saat-saat ketika ia melihat pasangan di jalan dan hatinya terasa sedikit lebih berat dari biasanya.
Dan ada malam-malam di mana ia masih bermimpi tentang seorang pria dengan senyum yang pernah membuat dunianya berputar.
“Emma… siapa kau bagiku?”
Itu adalah pertanyaan yang terus terngiang di benaknya.
Bukan karena ia berharap Raka akan mengingatnya.
Tapi karena ia bertanya pada dirinya sendiri… siapa Raka baginya sekarang?
Jawabannya tetap sama.
Seseorang yang ia cintai, bahkan jika cinta itu tak lagi memiliki tempat untuk berlabuh.
Raka dan Kenangan yang Terlambat
Hampir dua tahun setelah perpisahan mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Suatu sore, Raka sedang berjalan di sebuah galeri seni ketika langkahnya terhenti di depan sebuah lukisan.
Itu bukan lukisan yang spektakuler. Hanya sebuah gambar sederhana—sepasang tangan yang saling menggenggam di bawah langit senja.
Tapi saat ia menatapnya, sesuatu di dalam dirinya bergemuruh.
Dada Raka terasa sesak. Ada sesuatu di balik lukisan itu, sesuatu yang familiar… sesuatu yang seharusnya ia ingat.
Lalu, seperti petir yang menyambar di siang bolong, kilasan-kilasan itu muncul.
Suara tawa.
Sebuah tangan yang menggenggam tangannya erat.
Seseorang yang menangis di samping tempat tidurnya.
Sebuah gaun putih yang tak pernah terpakai.
Dan sepasang mata penuh cinta yang menatapnya di bawah langit senja.
“Aku mencintaimu, Raka. Selalu.”
Napasnya tercekat.
Kenangan itu kembali.
Emma….
Ia ingat segalanya.
Raka merasa seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi panjang.
Selama ini, ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Tapi sekarang ia tahu apa yang hilang.
Atau siapa.
Tanpa berpikir panjang, ia mulai mencari tahu tentang Emma. Tapi menemukan seseorang yang sudah berusaha menghilangkan jejaknya tidaklah mudah.
Ia mencoba menghubungi nomor lamanya—tidak aktif.
Ia pergi ke apartemen lamanya—sudah ditempati orang lain.
Ia bahkan kembali ke rumah sakit, berharap ada seseorang yang bisa membantunya.
Namun, jawaban yang ia terima selalu sama:
“Maaf, kami tidak tahu ke mana dia pergi.”
Dunia yang dulu terasa kosong kini terasa semakin menyesakkan.
Bagaimana mungkin ia bisa begitu bodoh?
Bagaimana mungkin ia bisa membiarkannya pergi?
Bagaimana mungkin ia tidak menyadari lebih cepat… bahwa ia telah kehilangan cinta dalam hidupnya?
Emma dan Takdir yang Bekerja dengan Caranya Sendiri
Suatu hari, Emma sedang duduk di sebuah kafe kecil di kotanya yang baru. Ia sibuk membaca buku, menikmati sore yang tenang.
Namun, tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat.
Ia tidak mengangkat wajahnya—sampai seseorang berdiri tepat di depannya.
Dan ketika ia akhirnya menoleh, napasnya tercekat.
Raka berdiri di sana.
Dengan napas tersengal.
Dengan mata yang dipenuhi emosi yang tak bisa dijelaskan.
Dengan ekspresi yang seakan baru saja menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
Emma membeku.
Ini tidak mungkin.
Tidak seharusnya mereka bertemu lagi.
Tidak setelah semuanya.
“Emma…” suara Raka bergetar. “Aku… aku ingat segalanya.”
Dunia Emma seakan berhenti berputar.
Mata mereka bertemu dalam keheningan yang terasa begitu berat.
Dan di dalam hatinya, Emma tahu…
Takdir belum selesai mempermainkan mereka.
Bab 8: Sepucuk Surat Tanpa Nama
Emma menatap Raka dengan mata melebar.
Ia berharap ini hanya halusinasi, bahwa pikirannya sedang mempermainkannya. Tapi tidak. Pria itu nyata, berdiri di depannya dengan napas tersengal dan mata yang dipenuhi emosi.
“Aku ingat segalanya, Emma,” ulangnya dengan suara serak.
Dunia Emma seakan berhenti berputar.
Tidak. Tidak seharusnya ini terjadi.
Bukan sekarang.
Bukan ketika ia sudah berusaha keras untuk menerima kenyataan.
Emma bangkit dari kursinya, tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Raka melangkah maju, menggenggam tangannya dengan erat.
“Emma, aku tahu aku sudah terlambat,” suaranya penuh penyesalan. “Tapi aku ingat… Aku ingat semuanya.”
Emma menarik tangannya pelan, berusaha mengendalikan emosi yang tiba-tiba menggelegak dalam dadanya.
“Tidak seharusnya kau datang ke sini, Raka,” bisiknya. “Apa yang kau inginkan?”
Raka terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan intens. “Aku ingin tahu apakah aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
Emma menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Bahkan setelah kau mengingat semuanya… apakah itu mengubah apa pun?” tanyanya pelan.
Raka tampak bingung. “Apa maksudmu?”
Emma menatapnya, senyum kecil terukir di wajahnya.
“Kau tetap hidup tanpaku selama ini, Raka. Dan aku… aku juga mencoba melakukan hal yang sama.”
Raka menggeleng. “Tidak, Emma. Aku mungkin bernapas, tapi aku tidak benar-benar hidup. Aku merasa kosong… aku tahu ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa. Sekarang aku tahu—aku kehilangan kau.”
Emma menelan ludah, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Bertahun-tahun yang lalu, aku sudah melepaskanmu, Raka,” suaranya bergetar. “Dan aku tidak ingin mengulang rasa sakit itu lagi.”
“Tapi kau masih mencintaiku,” potong Raka, suaranya penuh keyakinan.
Emma terkesiap.
“Tidak bisa dipungkiri, kan?” lanjut Raka. “Lihat aku dan katakan kalau kau benar-benar sudah melupakanku. Katakan kalau kau tidak merasakan apa pun lagi.”
Emma ingin menyangkal.
Tapi ia tahu ia tidak bisa berbohong.
Ia masih mencintainya.
Tapi cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki segalanya.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Emma menemukan sebuah surat di depan pintu apartemennya.
Tidak ada nama pengirim. Tapi ia tahu betul siapa yang menulisnya.
Dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya dan mulai membaca.
Untuk Emma,
Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku tahu aku terlambat. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak ingin kehilanganmu lagi.
Aku mungkin telah melupakanmu selama beberapa waktu, tapi kau tidak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Kau tetap ada di sana, bahkan ketika aku tidak bisa mengingat.
Jika kau masih bisa memberikan aku kesempatan, aku ingin menebus semua yang telah terjadi.
Tapi jika tidak… aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Dan akan selalu begitu.
– Raka
Emma meremas kertas itu, dadanya terasa sesak.
Ia ingin percaya.
Ia ingin mengulang semuanya dari awal.
Ia ingin kembali ke dalam pelukan yang dulu terasa seperti rumah baginya.
Tapi… apakah hatinya masih cukup kuat untuk mengambil risiko itu?
Ia menatap surat itu lama, lalu akhirnya menghela napas.
Lalu, ia membuat keputusan.
Malam itu, hujan turun deras.
Raka berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, menunggu dengan penuh harap.
Dan saat ia melihat sosok Emma mendekat, jantungnya berdegup kencang.
Emma berhenti di depannya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Apa ini?” tanya Emma, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Raka mengangkat bahunya. “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau aku masih mencintaimu. Dan aku ingin mencoba lagi.”
Hening.
Lalu, Emma tersenyum kecil.
“Tahu tidak, Raka?” katanya pelan. “Aku pernah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan kembali ke masa lalu.”
Raka menelan ludah, bersiap menerima penolakan.
“Tapi setelah membaca suratmu… aku sadar bahwa kau bukan masa lalu,” lanjut Emma.
Ia mengangkat kepalanya, menatap Raka dengan mata berkaca-kaca.
“Kau adalah seseorang yang selalu menjadi bagian dari hidupku. Dan mungkin… aku tidak perlu lagi mencoba melupakanmu.”
Raka menatapnya dengan tidak percaya. “Maksudmu…?”
Emma tersenyum, lalu melangkah maju dan meraih tangannya.
“Kita bisa mencoba lagi. Tapi kali ini, mari kita mulai dari awal.”
Raka menghela napas lega, lalu menariknya ke dalam pelukan.
Di bawah hujan yang terus turun, mereka kembali menemukan satu sama lain.
Kali ini, tanpa ada kenangan yang hilang.
Kali ini, dengan harapan yang baru.
Bab 9: Kilasan yang Kembali
Hujan masih turun ketika Emma dan Raka berdiri di bawah lampu jalanan yang temaram. Tangannya masih dalam genggaman pria itu, tapi kali ini, tidak ada lagi kebingungan atau keraguan di antara mereka.
Ini nyata.
Mereka kembali.
Bukan sebagai dua orang asing yang terikat oleh masa lalu, tapi sebagai dua hati yang memilih untuk mencoba lagi.
“Apa kau yakin?” tanya Raka, suaranya bergetar. “Aku tak ingin menyakitimu lagi, Emma. Jika kau butuh waktu, aku akan menunggu.”
Emma menatapnya dalam. “Aku sudah menunggu cukup lama, Raka. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Raka menghembuskan napas lega, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, mari kita mulai dari awal.”
Kembali ke Titik Nol
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi bagi Emma.
Mereka tidak langsung kembali seperti dulu. Mereka tidak terburu-buru membangun kembali kisah yang pernah runtuh. Sebaliknya, mereka memilih untuk mengenal satu sama lain lagi—dengan cara yang baru.
Raka mengajak Emma berjalan-jalan ke tempat yang dulu mereka sukai. Mereka kembali ke kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu, mencicipi kopi yang dulu menjadi favorit mereka.
“Aku dulu suka kopi hitam,” kata Raka sambil tersenyum. “Tapi sekarang aku lebih suka cappuccino.”
Emma mengernyit. “Kau serius? Aku bahkan tidak pernah melihatmu minum sesuatu yang manis.”
Raka tertawa kecil. “Mungkin karena aku sedang belajar menikmati hidup dengan cara yang berbeda.”
Emma tersenyum, merasa bahwa di balik semua luka yang pernah mereka alami, masih ada ruang untuk hal-hal kecil yang baru.
Mereka juga pergi ke taman tempat Raka dulu melamarnya.
“Kau ingat saat kau berkata ingin menikahiku di sini?” Emma bertanya sambil duduk di bangku kayu.
Raka menatapnya lama, lalu mengangguk. “Aku tidak ingat saat itu terjadi. Tapi aku ingat perasaan itu.”
Emma mengangkat alis. “Perasaan apa?”
Raka mengulurkan tangannya, mengusap lembut pipi Emma. “Perasaan bahwa aku ingin bersamamu selamanya.”
Namun, meskipun mereka kembali bersama, ada ketakutan yang mengintai di sudut hati Emma.
Bagaimana jika ini hanya sesaat?
Bagaimana jika suatu hari nanti Raka bangun dan lupa lagi?
Bagaimana jika mereka harus mengulang rasa sakit itu lagi?
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Raka, Emma akhirnya mengungkapkan kegelisahannya.
“Apa yang akan kau lakukan jika suatu hari kau kehilangan ingatanmu lagi?” tanyanya, suaranya pelan.
Raka menoleh, menatapnya dengan penuh kasih. “Aku tidak tahu, Emma.”
Emma terdiam, menundukkan kepalanya.
“Tapi jika itu terjadi,” lanjut Raka, menggenggam tangannya erat, “aku ingin kau melakukan hal yang sama seperti dulu. Aku ingin kau tetap ada, menceritakan kisah kita, membantuku mengingat.”
Emma tersenyum pahit. “Tapi bagaimana jika aku lelah, Raka?”
Raka menatapnya lama, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Kalau begitu, aku yang akan mencari dan menemukanmu lagi.”
Kata-kata itu menenangkan hati Emma.
Karena kali ini, ia tahu—tidak peduli seberapa jauh mereka tersesat, mereka akan selalu kembali menemukan satu sama lain.
Beberapa bulan kemudian, mereka berjalan di pantai saat matahari mulai tenggelam.
Emma menikmati suara ombak, sementara Raka menggenggam tangannya dengan erat.
“Emma,” panggilnya pelan.
Emma menoleh dan melihat Raka berlutut di depannya.
Jantungnya berdegup kencang.
“Aku mungkin sudah kehilangan ingatan sekali,” kata Raka, menatap matanya penuh keyakinan. “Tapi ada satu hal yang tidak akan pernah aku lupakan—aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu.”
Air mata menggenang di mata Emma.
“Kali ini, aku tidak bisa menjanjikan bahwa semuanya akan selalu sempurna,” lanjut Raka. “Tapi aku bisa berjanji bahwa aku akan selalu memilihmu… dalam ingatan atau pun tanpa ingatan.”
Emma menutup mulutnya, menahan isak yang mulai pecah.
“Emma,” Raka tersenyum. “Maukah kau menikah denganku, lagi?”
Emma tertawa di tengah air matanya. “Ya, Raka. Seribu kali ya!”
Raka tertawa lega sebelum menariknya ke dalam pelukan.
Dan kali ini, mereka tahu—cinta mereka tidak akan hilang begitu saja.
Karena mereka telah belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang mengingat.
Tapi tentang memilih satu sama lain, berulang kali, dalam setiap kemungkinan dunia.
Bab 10: Satu Hari Sebelum Kau Pergi
Hari itu datang lebih cepat dari yang mereka duga.
Setelah semua luka, kehilangan, dan penantian panjang, akhirnya Emma dan Raka berdiri di hadapan altar, di bawah langit biru yang cerah, mengucapkan janji yang dulu sempat tertunda.
Gaun putih yang dulu tidak pernah sempat ia kenakan kini melekat sempurna di tubuhnya. Raka, dengan setelan jas hitam, menatapnya dengan senyum yang begitu hangat—senyum yang dulu hampir hilang dari ingatannya.
Saat pendeta bertanya apakah mereka bersedia menerima satu sama lain, Raka menggenggam tangan Emma lebih erat, lalu dengan suara penuh keyakinan, ia berkata,
“Aku bersedia. Dalam ingatan atau pun tanpa ingatan, aku akan selalu memilihmu.”
Emma mengigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh.
“Aku juga bersedia,” bisiknya, tersenyum.
Dan saat cincin itu melingkar di jari mereka, mereka tahu bahwa kali ini, tidak ada lagi yang akan memisahkan mereka.
Mereka sudah mengarungi gelombang yang paling mengerikan, sudah kehilangan satu sama lain, sudah merasakan sakit yang begitu dalam.
Tapi mereka tetap kembali.
Dan itu lebih dari cukup.
Mereka menghabiskan bulan madu di tempat yang dulu pernah mereka impikan—di sebuah vila kecil di tepi pantai.
Di sana, mereka tidak hanya menikmati kebahagiaan sebagai suami istri, tapi juga menikmati waktu untuk mengenal satu sama lain kembali, tanpa bayangan masa lalu yang menghalangi.
Suatu malam, mereka duduk di balkon vila, menikmati langit malam yang dipenuhi bintang.
Raka menatap Emma dengan mata penuh ketenangan.
“Emma,” panggilnya pelan.
Emma menoleh. “Ya?”
“Aku ingin kau tahu satu hal,” katanya, menggenggam tangannya erat. “Aku mungkin pernah kehilangan ingatan tentang kita. Tapi aku tidak pernah kehilangan perasaan ini.”
Emma menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Dan kalaupun suatu hari nanti aku lupa lagi… aku ingin kau mengingatkan aku sekali lagi,” lanjutnya, tersenyum lembut. “Karena aku tahu, aku akan jatuh cinta padamu setiap kali kita memulai dari awal.”
Emma tertawa kecil, lalu menempelkan kepalanya di dada Raka.
“Aku berjanji, Raka,” bisiknya. “Kita akan selalu menemukan satu sama lain.”
Di bawah langit malam yang tenang, mereka duduk berdua, membiarkan angin laut membawa kisah mereka yang penuh liku—kisah tentang cinta yang diuji oleh waktu, ingatan yang sempat hilang, dan janji yang akhirnya terpenuhi.
Kisah mereka mungkin tidak sempurna.
Tapi bagi mereka, itu sudah lebih dari cukup.
Beberapa tahun kemudian, di dalam rumah kecil mereka, Raka duduk di sofa sambil membaca buku.
Emma, yang sedang menyiapkan teh di dapur, menatapnya dengan penuh cinta.
Dunia mereka tidak selalu mudah. Ada hari-hari sulit, ada momen di mana ingatan Raka masih samar, ada ketakutan bahwa suatu hari ia mungkin akan lupa lagi.
Tapi tidak peduli apa yang terjadi, mereka tahu satu hal:
Cinta sejati bukan tentang mengingat seseorang sepanjang waktu.
Tapi tentang memilih seseorang, berulang kali, dalam setiap kehidupan yang mungkin terjadi.
Dan Emma tahu, jika suatu hari Raka lupa lagi…
Ia akan selalu siap untuk membuatnya jatuh cinta lagi.
Seperti pertama kali.
Seperti selamanya.
– TAMAT –
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.