Novel Singkat Nyanyian Laut yang Terlarang
Novel Singkat Nyanyian Laut yang Terlarang

Novel Singkat: Nyanyian Laut yang Terlarang

Di sebuah pulau terpencil, Kapten Alaric, seorang pelaut muda yang dikenal sebagai navigator ulung, menemukan seorang wanita misterius tersapu ombak di pantai. Wanita itu, Seren, ternyata adalah seorang Siren yang kehilangan kekuatannya setelah melanggar aturan sukunya dengan menyelamatkan seorang manusia.

Saat keduanya mulai jatuh cinta, bahaya datang dari kaum Siren yang ingin mengambil kembali kekuatan Seren—dengan mengorbankan jiwanya. Alaric harus memilih antara mempertahankan wanita yang dicintainya atau menghadapi murka lautan.

Namun, di tengah perjuangan mereka, Seren menyadari bahwa ia bukan lagi bagian dari dunia manusia maupun Siren. Ia kini adalah sesuatu yang baru—sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.

Akankah cinta mereka mampu melawan takdir? Ataukah lautan akan memisahkan mereka selamanya?

Bab 1: Ombak yang Membawa Takdir

Suara deburan ombak menghantam bebatuan karang, berpadu dengan hembusan angin malam yang membawa aroma asin laut. Di bawah langit kelam yang bertabur bintang, kapal The Orion berlabuh di sebuah pulau terpencil di tengah samudra.

Kapten Alaric berdiri di tepi kapal, kedua tangannya menggenggam pagar kayu yang basah oleh embun laut. Matanya yang tajam menatap hamparan pasir putih di kejauhan, pikirannya melayang entah ke mana. Ia telah menghabiskan separuh hidupnya di laut, tetapi tak pernah benar-benar merasa memiliki tempat untuk pulang.

“Kapten, kita akan berlabuh sampai kapan?” suara berat dari bawah geladak menginterupsi lamunannya.

“Tunggu sampai fajar. Pastikan anak buah tetap waspada,” jawabnya tanpa menoleh.

Pulau ini tidak tertera dalam peta, hanya dikenal lewat desas-desus di kalangan pelaut sebagai tempat yang harus dihindari. Beberapa percaya bahwa ada harta karun tersembunyi di sini, sementara yang lain mengatakan bahwa pulau ini dikutuk. Alaric tidak percaya takhayul, tetapi ia tahu bahwa laut menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dipahami manusia.

Saat ia hendak berbalik menuju kabinnya, sesuatu di pantai menarik perhatiannya.

Sebuah sosok tergeletak di pasir, diterpa cahaya bulan yang samar.

Alaric menyipitkan mata, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Tubuh seseorang, seorang wanita, tergolek lemah di sana. Gaunnya yang berwarna pucat basah kuyup, rambut panjangnya yang berkilau seperti mutiara hitam terhampar di sekelilingnya.

Ia mengerutkan kening. Tidak mungkin ada manusia di sini. Pulau ini tak berpenghuni, dan tak ada kapal yang berlayar di sekitar area ini sejak badai besar beberapa hari lalu.

Tanpa berpikir panjang, Alaric melompat ke perahu kecil dan mendayung menuju pantai. Ombak membawanya mendekat dengan cepat, dan begitu perahunya menyentuh pasir, ia bergegas turun, berjalan cepat menuju tubuh wanita itu.

Ketika ia berjongkok di sampingnya, ia bisa melihat wajahnya lebih jelas. Wanita itu memiliki kulit seputih pualam dengan bibir merah keunguan. Nafasnya lemah, nyaris tak terdengar, tetapi ia masih hidup.

Alaric menyentuh pundaknya perlahan. “Hei… kau dengar aku?”

Tak ada jawaban. Hanya suara desiran angin yang melintas di antara mereka.

Ia mencoba mengguncangnya sedikit. “Bangun.”

Kelopak mata wanita itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Sepasang mata berwarna biru kehijauan menatapnya—bening, namun penuh kebingungan.

Alaric terdiam sejenak. Mata itu… seperti mata laut yang dalam, membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Wanita itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa mengeluarkan suara lirih sebelum kembali terkulai.

“Kau dari mana?” tanya Alaric, masih berusaha memahami situasi.

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya seolah tak memahami bahasanya.

Alaric mengumpat pelan, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Ia begitu ringan, hampir seperti tidak berbobot. Gaunnya yang basah menempel pada kulitnya, dan tubuhnya terasa lebih dingin dari manusia pada umumnya.

“Kau bisa bicara?”

Wanita itu hanya menggeleng pelan.

Mungkin ia tenggelam dan tersapu ke pantai ini, pikir Alaric. Tapi mengapa tak ada kapal yang karam di sekitar sini?

Langit mulai memudar, pertanda fajar akan segera tiba. Ia tak bisa meninggalkan wanita ini di sini, terutama dalam keadaan seperti ini.

Tanpa ragu, ia membawanya kembali ke perahu dan mendayung menuju The Orion.

Saat kapal mulai menjauh dari pantai, angin laut berhembus lebih kencang. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara nyanyian pelan—bukan dari wanita di pangkuannya, melainkan dari laut yang mengelilingi mereka.

Seolah ada sesuatu yang sedang mengawasi.

Dan menunggu.

Bab 2: Rahasia di Balik Mata Laut

Cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam kabin kapal The Orion, menyinari interior sederhana yang lebih banyak terbuat dari kayu tua yang berbau garam. Angin laut berhembus lembut melalui jendela kecil, membawa aroma asin yang sudah begitu akrab bagi Alaric.

Ia berdiri di dekat pintu, menatap sosok wanita yang masih terbaring di atas ranjang. Sejak ia menemukannya di pantai semalam, wanita itu belum benar-benar berbicara. Satu-satunya interaksi yang ia dapatkan hanyalah tatapan kosong dari mata biru kehijauannya yang penuh kebingungan.

Alaric bukan tipe pria yang percaya takhayul, tetapi ada sesuatu yang terasa aneh tentang wanita ini. Tidak ada tanda-tanda kapal karam di sekitar pulau. Tidak ada petunjuk tentang bagaimana ia bisa sampai di sana.

Dan yang lebih mengganggu pikirannya—kulitnya begitu dingin, bahkan setelah terpapar sinar matahari selama berjam-jam.

Tiba-tiba, wanita itu bergerak, mengerjapkan mata sebelum akhirnya menatap Alaric.

“Sudah sadar?” Alaric bertanya, melangkah lebih dekat.

Wanita itu menatapnya sejenak sebelum mencoba duduk. Tubuhnya masih tampak lemah, tetapi kini ada sedikit warna di pipinya.

“Kau bisa bicara?”

Hening.

Wanita itu membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar. Wajahnya berubah cemas, seolah ia baru menyadari bahwa suaranya telah menghilang.

Alaric menghela napas. “Apa kau ingat namamu?”

Wanita itu menggeleng pelan.

“Tidak ingat apa pun?”

Lagi-lagi, ia menggeleng.

Alaric duduk di kursi dekat ranjang, mencoba mencerna situasi. “Baiklah. Aku akan memanggilmu Seren, karena suaramu tak terdengar, tetapi tetap ada sesuatu dalam dirimu yang seperti nyanyian.”

Seren menatapnya dengan tatapan aneh, seolah nama itu familiar baginya.

Sebelum Alaric bisa berkata lebih jauh, suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria bertubuh kekar dengan wajah penuh janggut berdiri di ambang pintu. Itu adalah Hector, tangan kanannya di kapal.

“Kapten, para anak buah mulai bertanya-tanya. Mereka ingin tahu siapa wanita itu,” katanya dengan suara rendah.

Alaric mengangguk. “Beri tahu mereka bahwa aku menemukannya di pantai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Hector tampak ragu. “Mereka bilang ada sesuatu yang aneh semalam. Ombak tiba-tiba tenang saat kau pergi ke pantai, lalu ada suara nyanyian yang datang dari laut.”

Seren menegang mendengar itu.

Alaric meliriknya sebelum kembali menatap Hector. “Mungkin hanya angin yang berhembus di bebatuan.”

“Terserah kau, Kapten. Tapi kau tahu sendiri bahwa lautan selalu punya caranya sendiri untuk berbicara,” kata Hector sebelum pergi.

Alaric kembali menatap Seren. Wanita itu tampak pucat, bibirnya sedikit bergetar.

“Kau menyembunyikan sesuatu, bukan?” tanya Alaric, mencoba membaca ekspresinya.

Seren tidak menjawab, tetapi matanya berkata lebih banyak daripada yang bisa ia ucapkan.

Di luar kabin, suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar lebih keras.

Seakan lautan mulai menuntut jawaban.

Bab 3: Nyanyian yang Tak Boleh Terdengar

Malam turun dengan tenang di atas The Orion. Ombak beriak pelan, membawa kapal itu melaju perlahan di atas permukaan laut yang tampak seperti cermin gelap. Langit bertabur bintang, menciptakan pantulan cahaya yang seolah menari di air.

Di dalam kabinnya, Alaric duduk di meja kayu, mengamati peta yang terbuka di hadapannya. Ia mencoba mencari petunjuk apakah pulau tempat ia menemukan Seren pernah dicatat dalam sejarah pelayaran, tetapi sejauh ini ia tak menemukan apa pun.

Seren duduk di ranjangnya, diam dan termenung. Sejak ia sadar, ia jarang berinteraksi dengan siapa pun. Ia tidak bisa berbicara, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Alaric yakin bahwa ia mengerti lebih dari yang terlihat.

“Apakah kau benar-benar tidak ingat apa pun?” tanya Alaric akhirnya.

Seren menatapnya, lalu perlahan menggeleng.

Alaric menghela napas. “Baiklah. Kau bisa tinggal di kapal ini sampai kita mencapai daratan berikutnya. Setelah itu, kau bisa memutuskan apa yang ingin kau lakukan.”

Seren menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Namun, ada sesuatu dalam ekspresinya yang tampak… ragu.

Sebelum Alaric bisa bertanya lebih jauh, terdengar suara ketukan di pintu.

“Kapten,” suara Hector terdengar dari luar, “para anak buah mulai merasa gelisah. Mereka mengatakan ada sesuatu yang aneh di kapal sejak wanita itu datang.”

Alaric membuka pintu dan melangkah keluar, menemui Hector yang berdiri dengan tangan bersedekap.

“Apa maksudmu?”

“Beberapa orang mengaku mendengar suara nyanyian di tengah malam. Bukan suara angin atau deburan ombak, tetapi suara seorang wanita. Dan setiap kali mereka mendengar suara itu, mereka tiba-tiba merasa mengantuk dan tertidur begitu saja,” kata Hector dengan nada serius.

Alaric mengerutkan kening. “Mereka mungkin terlalu lelah. Laut bisa menipu siapa saja dengan suaranya.”

“Aku tahu perbedaan antara suara laut dan nyanyian, Kapten,” kata Hector, matanya menajam. “Dan aku yakin para anak buah juga tahu.”

Alaric menatap Hector dengan penuh pertimbangan. Ia tidak percaya takhayul, tetapi sejak menemukan Seren, sesuatu memang terasa berbeda.

Malam semakin larut. Para awak kapal mulai beristirahat di dalam kabin masing-masing, hanya menyisakan beberapa penjaga di dek yang berjaga-jaga.

Di dalam kabin, Seren duduk di tepi ranjang, menatap jari-jarinya sendiri. Ia mendengar perbincangan antara Alaric dan Hector. Ia tahu bahwa mereka mulai curiga.

Ia tidak bisa menahan lebih lama.

Dengan hati-hati, ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Angin laut menerpa wajahnya, dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan suaranya, ia merasakan dorongan untuk bernyanyi.

Nyanyian lirih mulai keluar dari bibirnya, begitu pelan hingga nyaris seperti bisikan angin. Nada-nada halus itu mengalun ke udara, menjangkau setiap sudut kapal.

Di luar kabin, para awak yang berjaga mulai menguap satu per satu. Kelopak mata mereka menjadi berat, dan tanpa mereka sadari, tubuh mereka melemas. Satu per satu, mereka tertidur di tempat mereka berdiri, jatuh dengan lembut ke dek kapal.

Di dalam kabin, Alaric yang tengah memeriksa peta tiba-tiba merasa matanya berat. Tangannya yang memegang pena gemetar sebelum jatuh ke atas meja.

Tetapi sebelum ia benar-benar tertidur, ia mendengar suara.

Lirih. Indah. Menghipnotis.

Alaric membuka matanya yang hampir terpejam, berusaha melawan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangnya.

Lalu ia menyadari sesuatu.

Nyanyian itu berasal dari dalam kabin.

Dari Seren.

Matanya membelalak. Ia berusaha berdiri, tetapi tubuhnya terasa berat. Dengan sisa tenaga, ia melangkah ke pintu dan membukanya.

Seren tersentak melihat Alaric berdiri di sana. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang menegangkan.

Alaric ingin berbicara, tetapi sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, kesadarannya hilang begitu saja.

Dan semuanya menjadi gelap.

Bab 4: Perburuan di Lautan Gelap

Alaric terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Pandangannya masih buram saat ia mencoba memahami di mana ia berada. Lantai kayu yang dingin di bawah tubuhnya, meja dengan peta yang terbuka lebar, dan aroma laut yang khas membantunya menyadari bahwa ia masih berada di dalam kabinnya.

Tetapi ada sesuatu yang salah.

Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran. Malam tadi, suara nyanyian… suaranya begitu indah, tetapi juga membawa sesuatu yang aneh—sesuatu yang membuatnya tertidur.

Dan Seren.

Alaric langsung bangkit dari lantai, meskipun kepalanya masih terasa berat. Matanya mencari sosok wanita itu, tetapi kabin kosong.

Seren menghilang.

Keluar dari kabin, ia melihat krunya masih tertidur di geladak. Beberapa bersandar di pagar kapal, beberapa lainnya tergeletak dengan posisi aneh.

“Hector!” suara Alaric menggema di udara malam.

Salah satu pria berbadan besar yang tertidur di dekat kemudi mendadak terbangun. Hector mengerjapkan mata, tampak kebingungan. “Apa yang terjadi?”

“Itu yang ingin kutanyakan,” jawab Alaric dengan nada tegang. Ia membantu Hector berdiri, sementara yang lain mulai tersadar satu per satu, saling bertanya-tanya mengapa mereka tertidur begitu saja.

“Aku hanya ingat sedang berjaga di geladak, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap,” kata salah satu awak, wajahnya masih dipenuhi kebingungan.

Alaric mengamati mereka satu per satu. “Ada yang melihat Seren?”

Semua terdiam.

“Dia ada di sini tadi malam,” lanjutnya. “Sekarang dia menghilang.”

Hector menatap ke sekeliling kapal, matanya menyipit. “Tidak mungkin dia pergi begitu saja. Laut tenang, tidak ada kapal lain di sekitar kita. Kau pikir dia melompat ke laut?”

Alaric terdiam. Itu kemungkinan yang masuk akal, tetapi ia merasakan sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.

Kemudian, dari kejauhan, terdengar suara sesuatu menghantam lambung kapal.

DUM.

Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat semua orang merinding.

DUM.

Suara itu datang dari bawah kapal.

Alaric berjalan cepat ke tepi kapal, menatap ke dalam laut yang hitam pekat. Gelombang beriak pelan, tetapi di bawah permukaannya, ia melihat sesuatu bergerak—bayangan yang tidak seharusnya ada di sana.

“Kapten…” suara salah satu awak bergetar. “Apa itu?”

DUM.

Tiba-tiba, sesuatu yang besar muncul dari bawah laut, membuat kapal sedikit berguncang. Air memercik ke atas dek, dan saat itu juga, suara nyanyian yang sama seperti tadi malam kembali terdengar—tetapi kali ini, lebih keras.

Dan lebih mengancam.

Alaric merasakan kepalanya kembali berdenyut. Ia menutup telinganya, tetapi suara itu seakan menembus langsung ke dalam pikirannya. Beberapa awak kapal mulai roboh satu per satu, tubuh mereka lemas seperti kehilangan tenaga.

Hector menggertakkan giginya, berusaha bertahan. “Kapten… ini bukan suara biasa…”

Alaric menatap ke laut, dan saat itulah ia melihatnya.

Di antara ombak yang berkilauan, muncul sosok yang tampak seperti manusia, tetapi dengan mata yang bersinar dalam kegelapan. Rambut mereka panjang, berkilau seperti sisik ikan. Bibir mereka bergerak, melantunkan lagu yang tak bisa dipahami, tetapi memiliki kekuatan yang begitu kuat.

Kaum Siren.

Alaric mengertakkan rahangnya. Ia pernah mendengar legenda tentang makhluk-makhluk ini—makhluk laut yang mampu memikat manusia dengan suara mereka, hanya untuk menyeretnya ke dasar laut. Tetapi ia tidak pernah percaya.

Sampai sekarang.

Dan saat itu, di antara para Siren yang melayang di air, ia melihatnya.

Seren.

Tetapi tidak seperti yang ia duga, wajah Seren dipenuhi kepanikan. Ia tidak bernyanyi seperti yang lainnya. Ia seolah berusaha menahan diri, tetapi tatapan Siren di sekelilingnya penuh tuntutan.

Salah satu Siren, yang tampak lebih tua dan lebih berwibawa, menatap Seren tajam. Lalu, ia berbicara—bukan dengan suara biasa, tetapi dengan sesuatu yang langsung menembus pikiran Alaric.

“Kembalilah, anak yang tersesat. Kau tidak seharusnya bersama mereka.”

Seren menggeleng, air mata mengalir di pipinya.

Alaric merasa dadanya sesak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Kemudian, pemimpin Siren itu menatap langsung ke arahnya.

“Kau manusia bodoh. Kau tidak tahu apa yang telah kau ambil dari kami.”

Seketika, ombak naik lebih tinggi, menghantam kapal dengan kekuatan yang cukup besar hingga membuatnya bergoyang hebat.

Alaric menghunus pedangnya. “Apa yang kalian inginkan dari kami?”

Senyum licik muncul di wajah pemimpin Siren itu.

“Bukan kalian yang kami inginkan. Kami hanya ingin mengambil kembali apa yang menjadi milik kami.”

Matanya beralih ke Seren.

“Dan untuk itu, darah harus dibayar dengan darah.”

Sebelum Alaric bisa bereaksi, sesuatu dari dalam laut melesat ke arah mereka.

Dan kegelapan pun menelan semuanya.

Bab 5: Cinta yang Dilarang

Gelombang besar menghantam kapal The Orion dengan kekuatan yang hampir tak tertahankan. Angin berputar liar, dan suara petir menggelegar di langit, meskipun sebelumnya malam begitu tenang. Alaric merasakan tubuhnya terhuyung ke belakang, tangannya mencengkeram erat pagar kapal agar tidak terhempas ke laut.

Dari kejauhan, Seren masih berdiri di tengah ombak bersama para Siren lainnya. Wajahnya pucat, matanya penuh ketakutan. Ia ingin bergerak, ingin menghentikan apa yang terjadi, tetapi sesuatu menahannya.

Pemimpin Siren, yang sebelumnya berbicara dalam pikirannya, kini melayang sedikit di atas permukaan laut. Sosoknya tinggi dan anggun, dengan rambut panjang berwarna keperakan yang tampak seperti sutra yang berkilauan di bawah cahaya bulan.

“Kau melanggar aturan, Seren. Kau menyelamatkan manusia, dan kini kau harus menebusnya.”

Suara itu mengalun lembut, tetapi memiliki ketegasan yang tak terbantahkan.

Seren menggeleng kuat. Air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak ingin kembali.”

Pemimpin Siren menyipitkan mata. “Kau tak punya pilihan. Kau milik lautan. Tempatmu bukan di antara mereka.”

Seren meremas dadanya, seolah ada sesuatu yang menyakitkan di sana. Ia tahu aturan kaumnya. Siren tidak boleh memiliki hubungan dengan manusia. Apalagi menyelamatkan mereka dari kematian. Itu adalah dosa yang tak termaafkan.

Dan sekarang, kaum Siren menuntut harga.

Darah seorang manusia harus dikorbankan untuk mengembalikan keseimbangan.

Seren tahu siapa yang akan menjadi korban.

Matanya beralih ke Alaric, yang masih berjuang untuk tetap berdiri di tengah badai.

Tidak. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Dengan sisa keberaniannya, Seren melangkah ke depan dan berseru, “Jangan sakiti mereka!”

Para Siren menoleh padanya. Mereka terkejut, karena untuk pertama kalinya sejak kehilangan kekuatannya, Seren bisa berbicara.

Pemimpin Siren mendekatinya. “Sudah terlambat, Seren. Kau sudah memilih jalan yang salah. Satu-satunya cara untuk menebusnya adalah dengan mengorbankan manusia itu.”

Seren mengepalkan tangannya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuhnya.”

Pemimpin Siren menghela napas panjang. “Kau benar-benar ingin melawan kodratmu?”

Seren menoleh ke Alaric. Ia tak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi setiap detik yang ia habiskan di samping pria itu, hatinya semakin yakin—ia ingin tetap di sisinya.

Ya, ia melanggar aturan. Ya, ia telah kehilangan kekuatannya.

Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bebas.

“Aku memilih jalanku sendiri,” katanya dengan suara gemetar, tetapi penuh tekad.

Pemimpin Siren menatapnya dengan kecewa. Lalu, dengan satu gerakan tangannya, ombak semakin meninggi, nyaris menelan The Orion dalam sekali sapuan.

“Kalian semua akan mati,” suara itu bergema seperti petir yang membelah langit.

Alaric, yang sejak tadi hanya bisa menyaksikan, akhirnya bergerak. Ia meraih tali kapal dan melompat ke tepi, menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh.

“Seren!” teriaknya.

Seren menoleh, air mata masih membasahi wajahnya.

Alaric mengulurkan tangan. “Lari!”

Seren ragu sejenak. Jika ia pergi bersama Alaric, ia akan mengkhianati kaumnya sepenuhnya. Tidak akan ada jalan kembali.

Tetapi jika ia tetap di sini, Alaric akan mati.

Dengan napas tertahan, ia membuat keputusan.

Ia melangkah mundur, menatap pemimpin Siren dengan penuh penyesalan. “Aku tidak bisa kembali.”

Pemimpin Siren menatapnya dengan marah, lalu mengangkat tangannya.

Gelombang besar naik lebih tinggi, bersiap untuk menghantam kapal dan menenggelamkan semuanya.

Namun sebelum itu terjadi, Seren melompat ke kapal The Orion—meninggalkan kaumnya, meninggalkan lautan.

Dan saat ia menyentuh dek kapal, sesuatu di dalam dirinya hancur.

Ia merasakan nyeri yang luar biasa di dadanya, seolah sebagian jiwanya terlepas.

Ia telah menjadi pengkhianat.

Ombak mengamuk, tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi.

Para Siren menghilang satu per satu, seolah tersedot kembali ke dalam laut. Ombak yang sebelumnya mengamuk tiba-tiba mereda, langit kembali cerah, dan angin kembali tenang.

Alaric menarik Seren ke dalam pelukannya, memeluknya erat.

“Kenapa kau melakukan ini?” bisiknya.

Seren, yang masih terisak, membenamkan wajahnya di bahunya. “Karena aku lebih memilih mati bersamamu daripada hidup tanpa dirimu.”

Alaric terdiam. Ia tidak tahu bagaimana semuanya akan berakhir, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan apa pun memisahkan mereka.

Di kejauhan, laut yang tenang kembali menyimpan rahasianya.

Tetapi mereka tahu, ini belum berakhir.

Kaum Siren tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja.

Dan perang baru saja dimulai.

Bab 6: Pengkhianatan di Tengah Ombak

Udara di atas The Orion terasa berat setelah kejadian malam itu. Meskipun laut kembali tenang, ketegangan masih menggantung di antara para awak kapal. Tak ada yang berbicara tentang apa yang mereka lihat—tentang makhluk-makhluk yang muncul dari laut, tentang badai yang datang dan pergi seketika, tentang wanita yang baru mereka kenal tetapi menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang bisa mereka pahami.

Seren duduk di sudut geladak, tubuhnya masih menggigil meskipun langit telah cerah. Ia memeluk lututnya, menatap laut yang menghampar luas di hadapannya.

Ia telah mengkhianati kaumnya.

Keputusannya untuk tetap bersama Alaric telah membuatnya terputus dari dunia yang selama ini ia kenal. Siren tidak akan menerimanya kembali. Mereka akan menganggapnya sebagai penghianat, seorang yang pantas dihukum.

Tetapi anehnya, ia tidak menyesal.

“Seren.”

Ia mendongak dan melihat Alaric berdiri di hadapannya. Mata pria itu penuh dengan pertanyaan yang belum sempat ia tanyakan.

“Kau baik-baik saja?”

Seren mengangguk pelan, tetapi ekspresinya mengatakan hal lain.

Alaric duduk di sampingnya, memandang ombak yang beriak pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk bicara. Tapi jika kau ingin bercerita… aku di sini.”

Seren menggigit bibirnya, menahan getaran di dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan semuanya, tetapi ia tahu kata-kata tak akan cukup untuk menggambarkan apa yang terjadi.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbisik, “Mereka tidak akan berhenti mengejarku.”

Alaric menoleh cepat. “Mereka siapa?”

Seren menatapnya dengan mata sendu. “Kaum Siren.”

Alaric mengepalkan tangannya. Ia sudah menduga hal ini, tetapi mendengarnya langsung dari mulut Seren membuat semuanya terasa lebih nyata.

“Apa yang mereka inginkan?”

Seren menundukkan kepala. “Aku melanggar aturan mereka. Menyelamatkan manusia seharusnya tidak boleh dilakukan… dan sekarang, mereka ingin mengambil kembali apa yang seharusnya milik mereka.”

Alaric menatapnya dengan dalam. “Maksudmu kekuatanmu?”

Seren mengangguk. “Dan satu-satunya cara untuk mengembalikannya… adalah dengan mengorbankan nyawaku.”

Alaric merasakan amarah membara di dadanya. “Mereka tidak akan menyentuhmu,” katanya dengan suara rendah, penuh tekad.

Seren menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin percaya, tetapi ia juga tahu bahwa kaum Siren tidak akan menyerah semudah itu.

Di kejauhan, seorang pria mengawasi mereka dalam diam.

Matanya menyipit, ekspresinya tak terbaca.

Hector berdiri di geladak belakang, menatap lautan yang tenang. Hatinya masih dipenuhi pertanyaan sejak kejadian aneh yang mereka alami.

Ia adalah seorang pelaut yang telah mengarungi lautan selama lebih dari dua dekade. Ia percaya pada ombak, angin, dan bintang-bintang yang membimbingnya. Tetapi apa yang terjadi semalam? Itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan oleh logika seorang pelaut biasa.

Sirene.

Makhluk-makhluk yang hanya ada dalam legenda ternyata benar-benar nyata.

Dan salah satu dari mereka ada di atas kapal ini.

Langkah kaki mendekat. Hector menoleh dan melihat seorang awak kapal lainnya, seorang pria bernama Vaughn, yang berdiri dengan ekspresi gelisah.

“Kau merasa ada yang aneh, bukan?” kata Vaughn dengan suara pelan.

Hector menghela napas. “Kita semua merasa aneh, Vaughn.”

Vaughn menatapnya dengan tajam. “Lalu kenapa kita tidak melakukan sesuatu?”

Hector mengernyit. “Apa maksudmu?”

Vaughn melangkah lebih dekat, suaranya menjadi bisikan. “Wanita itu… dia bukan manusia, Hector. Kita semua tahu itu. Dan karena dia, kita hampir mati.”

Hector menatapnya dengan tajam. “Kau ingin kita menyerahkannya?”

Vaughn menggertakkan giginya. “Jika itu satu-satunya cara untuk membuat kita selamat, ya.”

Hector diam. Ia tahu bahwa Vaughn bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu. Banyak di antara kru yang mulai gelisah. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka berlayar bersama makhluk laut yang bisa membawa bencana kapan saja.

Lalu Vaughn berkata dengan nada yang lebih dingin, “Dan kalau kau tidak mau… mungkin ada orang lain yang bisa.”

Hector menatapnya dengan mata tajam. Ia tahu apa yang Vaughn maksud.

Di antara suara ombak, keputusan harus diambil.

Malam Berikutnya…

Alaric terbangun karena suara gaduh di luar kabinnya. Ia segera mengenakan mantelnya dan keluar, hanya untuk menemukan pemandangan yang membuat dadanya menegang.

Seren berdiri di tengah geladak, dikelilingi oleh beberapa awak kapal dengan ekspresi penuh amarah.

Dan di antara mereka, Hector berdiri dengan tangan menggenggam tali yang terhubung ke jaring.

“Cukup, Hector.” Suara Alaric dingin dan penuh peringatan.

Hector menatapnya dengan ekspresi penuh tekad. “Maaf, Kapten. Tapi kita harus melakukan ini.”

Alaric melangkah maju, tangannya sudah bersiap untuk menarik pedang. “Apa maksudmu?”

Vaughn melangkah ke depan. “Kita semua hampir mati karena wanita ini, Kapten! Kita tidak bisa membiarkannya tetap di sini.”

Seren menatap Alaric dengan mata penuh ketakutan.

Hector menghela napas. “Aku tidak ingin melawanmu, Kapten. Tapi jika ini adalah harga yang harus kita bayar untuk tetap hidup, maka aku akan melakukannya.”

Alaric mendekat. “Kau tahu kalau kaum Siren tidak akan berhenti mengejar kita, bukan? Menyerahkannya tidak akan menjamin keselamatan kita.”

Vaughn menyeringai. “Mungkin tidak, tapi setidaknya kita tidak harus berlayar bersama monster.”

Dan sebelum Alaric bisa bereaksi, Hector menarik tali yang sudah ia siapkan.

Dalam sekejap, jaring besar melayang di udara dan menjerat tubuh Seren.

Seren menjerit, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

Alaric menghunus pedangnya. “Lepaskan dia sekarang juga.”

Hector menatapnya, ada kesedihan di matanya. “Maaf, Kapten. Aku tidak bisa.”

Dan sebelum ada yang bisa menghentikannya, Vaughn dan beberapa awak lainnya menarik jaring itu ke tepi kapal.

Seren menatap Alaric, air matanya jatuh.

Lalu, dengan satu gerakan cepat—mereka melemparkannya ke laut.

Dan lautan menelannya dalam sekejap.

Alaric berteriak marah dan langsung melompat ke laut, berusaha mengejarnya.

Tapi yang ia temukan hanyalah air yang tenang, seolah Seren telah menghilang tanpa jejak.

Kaum Siren sudah datang untuk mengambilnya.

Dan kini, semuanya telah berubah.

Bab 7: Menuju Sarang Siren

Air laut terasa seperti belati yang menusuk kulit saat Alaric menyelam lebih dalam. Jantungnya berdegup kencang, matanya mencari-cari di antara gelapnya air. Seren telah ditelan ombak, tubuhnya terseret jauh oleh arus yang begitu kuat.

Di sekelilingnya, laut begitu sunyi, seolah menunggu sesuatu.

Alaric merasakan paru-parunya mulai kekurangan oksigen, tetapi ia menolak untuk kembali ke permukaan. Ia mengayuh lebih dalam, matanya menyipit saat akhirnya melihat sesuatu yang familiar—potongan kain dari gaun Seren yang berkilauan di dalam air.

Namun sebelum ia bisa meraihnya, sesuatu menarik tubuhnya ke bawah.

Tangan bersisik melingkari pergelangan kakinya, menariknya dengan kekuatan luar biasa. Ia menoleh dan melihat sepasang mata biru bersinar dalam kegelapan—seorang Siren.

Alaric meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman makhluk itu begitu kuat. Saat ia mencoba menghunus belatinya, makhluk lain muncul dari kegelapan dan menariknya lebih dalam.

Paru-parunya terbakar. Pandangannya mulai kabur.

Dan saat itu juga, semuanya menjadi gelap.

Ketika Alaric sadar, ia merasa seluruh tubuhnya berat. Kepalanya berdenyut, dan ada sesuatu yang dingin menyentuh kulitnya.

Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi mendapati dirinya terikat di sebuah tiang batu besar.

Alaric mengerjap, mencoba memahami sekelilingnya.

Ia berada di dalam sebuah gua bawah laut yang luas, diterangi oleh kristal biru yang memancarkan cahaya lembut di dinding. Air menetes dari atas langit-langit gua, menciptakan gema yang terdengar menyeramkan.

Di hadapannya, sebuah kolam besar berkilauan seperti kaca, dan di tepinya, berdiri sosok yang sangat ia kenali.

Seren.

Namun, ia tidak sendiri.

Di sisinya, berdiri pemimpin Siren yang Alaric temui malam itu. Wanita tinggi dengan rambut perak itu menatapnya dengan sorot mata dingin.

“Kau manusia yang keras kepala,” katanya dengan suara yang menggema di seluruh gua.

Alaric mencoba bergerak, tetapi tali laut yang mengikatnya begitu kuat. “Apa yang kau inginkan?”

Pemimpin Siren tersenyum tipis. “Pertanyaan yang menarik. Seharusnya aku yang bertanya itu padamu. Kau begitu berani masuk ke dalam wilayah kami hanya demi seorang pengkhianat.”

Alaric menoleh ke Seren, yang berdiri diam dengan ekspresi kosong.

“Apa yang kau lakukan padanya?” tanyanya dengan geram.

Pemimpin Siren melangkah lebih dekat, lalu mengangkat dagu Seren dengan lembut. “Dia sudah kembali ke tempatnya. Kau harusnya senang, manusia. Karena dengan ini, keseimbangan akan pulih.”

Seren tidak menoleh, tidak bergerak. Seolah ia adalah boneka tanpa jiwa.

Alaric merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Kau mengendalikan pikirannya,” desisnya.

Senyuman pemimpin Siren melebar. “Kau pikir Siren bisa begitu saja meninggalkan kaumnya? Kami terikat pada lautan, pada takdir kami sendiri.”

Alaric mengepalkan tangan. “Dia memiliki pilihan.”

Pemimpin Siren mendekat, suaranya menjadi lebih dingin. “Pilihan? Tidak ada pilihan dalam hukum lautan.”

Ia mengangkat tangan, dan air di kolam mulai beriak. Dari dasar kolam, muncul bentuk bayangan yang mengerikan—sosok makhluk laut dengan mata merah menyala.

“Kau ingin menyelamatkannya?” suara pemimpin Siren berubah tajam. “Maka bayar harganya.”

Seren akhirnya menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan meskipun ekspresi Seren kosong, Alaric bisa melihat sesuatu di dalamnya—perjuangan, ketakutan, keinginan untuk bebas.

Ia tidak bisa membiarkannya berakhir seperti ini.

“Baik,” kata Alaric. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Pemimpin Siren tersenyum, seolah ia sudah menunggu pertanyaan itu.

“Kau.”

Alaric mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Pemimpin Siren melangkah mendekat. “Seorang manusia harus membayar dosa pengkhianatan yang dilakukan Seren. Dan aku menginginkan jiwamu sebagai gantinya.”

Hening.

Seren membelalakkan mata. Ekspresinya yang sebelumnya kosong kini dipenuhi kepanikan.

“Tidak,” bisiknya. “Kau tidak bisa.”

Pemimpin Siren menatapnya tajam. “Diam, Seren. Kau telah membuat pilihanmu. Sekarang, manusia ini harus membayar akibatnya.”

Alaric menatap Seren dalam-dalam.

Ia tahu ini jebakan. Kaum Siren tidak akan membiarkannya pergi, tidak akan membiarkan Seren bebas.

Tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada jalan lain.

Jika harus memilih antara dirinya atau Seren, jawabannya sudah jelas.

Alaric menarik napas dalam, lalu menatap pemimpin Siren.

“Baik,” katanya dengan suara tenang. “Ambil aku.”

Seren tersentak. “Tidak!”

Ia bergerak maju, tetapi pemimpin Siren mengangkat tangannya, dan tiba-tiba tubuh Seren membeku di tempatnya.

“Jangan, Alaric!” Seren berteriak, air mata mengalir di pipinya. “Jangan lakukan ini!”

Alaric tersenyum padanya, meskipun di dalam hatinya, ia juga ketakutan.

“Kau bilang mereka tidak akan berhenti mengejarmu, bukan?” katanya pelan. “Kalau begitu, biarkan aku menghentikannya.”

Pemimpin Siren mengangkat tangannya, dan air di kolam mulai berputar lebih cepat, seolah menyiapkan sesuatu yang lebih besar.

Seren berusaha meronta. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia telah kehilangan dunianya, tetapi ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup.

Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Seren berteriak.

Tiba-tiba, seluruh gua berguncang.

Pemimpin Siren tersentak, begitu juga para Siren lainnya. Air mulai meluap, dan dari tubuh Seren, cahaya biru bersinar terang.

Semua mata terbelalak.

Seren merasakan sesuatu dalam dirinya bangkit kembali—sesuatu yang selama ini ia kira telah hilang.

Kekuatannya.

Dan saat itu juga, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Dalam sekejap, Seren mengangkat tangannya dan melantunkan sebuah nyanyian yang berbeda dari sebelumnya.

Bukan nyanyian untuk menidurkan, bukan nyanyian untuk menarik manusia ke lautan.

Ini adalah nyanyian untuk menghancurkan rantai yang mengikatnya.

Gema suara Seren memenuhi gua, membuat pemimpin Siren berteriak marah.

Air yang tadinya melingkari Alaric mendadak berhenti. Batu-batu di dinding gua mulai runtuh.

Seren berlari ke arah Alaric, memotong tali yang mengikatnya dengan kekuatan yang baru saja ia temukan.

Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, tanpa perlu kata-kata, mereka tahu—ini saatnya pergi.

Pemimpin Siren menjerit marah, tetapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, batu-batu besar dari langit-langit gua jatuh menimpa kolam, menciptakan gelombang yang begitu besar hingga menelan semuanya dalam kekacauan.

Alaric menarik tangan Seren. “Kita harus pergi!”

Seren mengangguk. Bersama-sama, mereka berlari melewati air yang bergolak, menuju satu-satunya jalan keluar dari sarang Siren.

Namun, di belakang mereka, pemimpin Siren tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja.

Dan perburuan belum berakhir.

Bab 8: Harga dari Sebuah Keberanian

Seren dan Alaric berlari menyusuri gua bawah laut yang bergetar hebat. Langit-langitnya mulai runtuh, batu-batu besar jatuh ke dalam air, menciptakan gelombang yang mengguncang setiap sudut ruangan.

Di belakang mereka, pemimpin Siren menatap dengan penuh amarah. Tubuhnya bersinar dalam cahaya biru kehijauan, sementara matanya menyala seperti bara api di dalam laut yang gelap.

“Kau tidak akan bisa lari, Seren!”

Suaranya menggema, bercampur dengan suara air yang mengamuk.

Seren tidak menoleh. Ia tahu betul bahwa wanita itu akan melakukan apa saja untuk menghentikannya.

“Kita hampir sampai!” teriak Alaric, tangannya erat menggenggam pergelangan tangan Seren.

Di depan mereka, cahaya bulan tampak berkilauan dari ujung gua—jalan keluar menuju laut terbuka.

Namun, sebelum mereka bisa mencapainya, air di sekitar mereka mulai berputar.

Sebuah pusaran muncul di depan mereka, menghalangi jalan keluar. Ombaknya begitu kuat hingga hampir menyeret mereka kembali ke dalam kegelapan.

“Damn it!” Alaric menggeram, mencengkeram tali yang terikat di ikat pinggangnya untuk tetap bertahan.

Seren memejamkan mata. Ini adalah ujian terakhir.

Ia menatap Alaric sejenak, lalu menarik napas dalam.

“Aku akan menghentikan ini,” katanya lirih.

Alaric menoleh padanya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Apa maksudmu?”

Seren melepaskan genggaman tangannya dari Alaric dan melangkah maju, menghadapi pusaran air yang kini semakin membesar.

“Kekuatanku kembali,” bisiknya. “Aku bisa menghentikan mereka. Tapi kau harus pergi sekarang juga.”

Alaric menatapnya dengan mata melebar. “Tidak. Kau tidak akan melakukan ini sendiri.”

Seren tersenyum kecil. “Aku tidak akan bisa jika kau tetap di sini. Aku butuh kau untuk tetap hidup.”

“Tapi—”

Sebelum Alaric bisa menyelesaikan kalimatnya, pemimpin Siren melayang mendekat, suara nyanyiannya mulai terdengar kembali.

Namun kali ini, Seren tidak gentar.

Ia menutup matanya, lalu mulai bernyanyi.

Bukan lagu untuk menidurkan. Bukan lagu untuk memikat.

Ini adalah nyanyian perpisahan.

Alaric merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan tubuhnya terasa lebih ringan. Ia menatap sekeliling dan menyadari bahwa air di sekitarnya mulai menjauh darinya, menciptakan jalur yang aman menuju permukaan.

Seren membuka matanya, dan untuk pertama kalinya, Alaric melihat keagungan sejati seorang Siren.

Tubuhnya memancarkan cahaya lembut. Rambut hitamnya melayang di dalam air seperti ombak yang bergerak mengikuti irama angin. Mata birunya bersinar terang, penuh kekuatan yang baru saja ia sadari.

“Pergilah,” kata Seren, suaranya terdengar lebih kuat dari sebelumnya.

Alaric menggeleng. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Seren tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya.

Sebuah gelombang besar muncul di antara mereka.

Sebelum Alaric bisa bereaksi, air yang ada di sekelilingnya mendorongnya ke atas dengan kecepatan luar biasa. Ia berusaha melawan, mencoba kembali, tetapi kekuatan itu terlalu besar.

Dalam hitungan detik, ia telah terdorong keluar dari gua.

Permukaan laut menyambutnya dengan kasar, membantingnya ke udara sebelum ia akhirnya jatuh kembali ke atas air. Ia terbatuk-batuk, matanya menatap ke bawah, ke dalam laut yang gelap.

“Seren!” ia berteriak.

Tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang semakin lama semakin tenggelam.

Seren mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya.

Dan Alaric hanya bisa menatap dengan ketidakberdayaan.

Langit masih gelap saat The Orion akhirnya menemukan Alaric, terapung di tengah lautan.

Hector dan beberapa kru menariknya ke atas kapal. Wajah mereka masih penuh dengan kebingungan dan ketakutan.

“Apa yang terjadi?” tanya Hector dengan suara serak.

Alaric terdiam.

Ia menatap laut yang tenang. Tidak ada tanda-tanda pertempuran yang baru saja terjadi di bawah sana.

Seolah semuanya hanyalah mimpi.

Tetapi itu bukan mimpi.

Ia kehilangan Seren.

Alaric mengepalkan tangannya. Ia seharusnya bisa melakukan sesuatu. Ia seharusnya tidak membiarkan Seren pergi.

Hector menepuk bahunya dengan ragu. “Kita harus pergi, Kapten. Sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.”

Alaric tidak menjawab.

Ia hanya menatap laut, berharap keajaiban akan terjadi.

Tetapi laut tetap diam.

Hanya suara angin yang berhembus pelan, seakan membisikkan sesuatu yang ia tahu tidak bisa ia percayai.

Bahwa semua ini sudah berakhir.

Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu—ini belum selesai.

Dan entah bagaimana, ia akan menemukan Seren lagi.

Bagaimanapun caranya.

Bab 9: Perpisahan yang Tak Terduga

Hari-hari berlalu sejak Alaric kembali ke The Orion, tetapi lautan tak lagi terasa sama. Suara ombak yang dulu menenangkan kini hanya membawa kehampaan. Setiap malam, ia berdiri di geladak, menatap laut luas, berharap melihat Seren muncul dari kegelapan.

Namun, Seren tidak pernah kembali.

Kru kapal pun mulai bergerak seperti biasa, meski mereka tak bisa melupakan kejadian aneh yang mereka alami. Sebagian masih percaya bahwa mereka beruntung bisa selamat, sementara yang lain menganggap keberadaan Seren sebagai kutukan yang akhirnya berlalu.

Tetapi bagi Alaric, kehilangan Seren bukanlah keberuntungan. Itu adalah luka yang tak bisa sembuh.

Hector, yang selama ini menjadi sahabat dan tangan kanannya, berdiri di sampingnya suatu malam. “Kau masih memikirkannya.”

Alaric tidak menjawab.

“Kau tahu,” lanjut Hector, “tidak semua cerita memiliki akhir yang bahagia. Beberapa hal memang ditakdirkan untuk berakhir begitu saja.”

Alaric menatap cakrawala yang gelap. “Aku tidak percaya pada takdir.”

Hector menghela napas. “Aku mengerti. Tapi kita harus terus berlayar, Kapten. Kau tidak bisa terus-menerus hidup di masa lalu.”

Alaric menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia menunjukkan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

“Aku tidak akan berhenti,” katanya akhirnya. “Aku akan menemukannya.”

Hector menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubah pikiran Alaric jika ia sudah memutuskan sesuatu.

Namun, jauh di dalam hatinya, Hector takut.

Karena ia tahu bahwa mencari Seren berarti mencari sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia.

Di Suatu Tempat di Lautan Dalam…

Seren terbangun dalam kegelapan.

Tubuhnya terasa ringan, tetapi hatinya begitu berat. Ia bisa merasakan air mengelilinginya, membawanya ke suatu tempat yang tidak ia kenal.

Saat matanya terbuka, ia melihat dirinya berada di dalam sebuah gua bawah laut yang berbeda dari sebelumnya. Cahaya biru kehijauan menyinari dinding-dindingnya, menciptakan ilusi seperti langit malam yang dipenuhi bintang.

Namun, sesuatu terasa aneh.

Ia tidak merasakan kehadiran kaum Siren lain. Tidak ada suara nyanyian mereka, tidak ada tatapan tajam pemimpin mereka.

Ia sendirian.

Seren mencoba menggerakkan tubuhnya dan menyadari sesuatu yang mengejutkan.

Siripnya kembali.

Tangannya gemetar saat ia menyentuh tubuhnya sendiri. Apa yang telah terjadi? Mengapa ia bisa kembali ke bentuk aslinya?

Lalu, sebuah suara memenuhi pikirannya.

“Kau telah memilih jalan yang berbeda, Seren. Tetapi lautan belum selesai denganmu.”

Seren membeku. Itu adalah suara pemimpin Siren, tetapi ia tidak bisa melihatnya.

“Kau telah kehilangan tempatmu di antara kami, tetapi kekuatanmu telah kembali. Karena itu, kau sekarang berada di antara dua dunia.”

Seren menelan ludah. “Apa maksudnya?”

Suara itu tertawa pelan, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya.

“Kau tidak bisa kembali ke manusia… tetapi kau juga tidak bisa sepenuhnya menjadi Siren lagi.”

Seren terkejut. Jika ia bukan manusia dan bukan Siren, lalu apa dirinya sekarang?

Ia melihat tangannya sendiri, yang terasa lebih dingin dari sebelumnya. Hatinya berdegup kencang saat menyadari sesuatu.

“Kau sekarang adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.”

Sesuatu yang tidak termasuk di mana pun.

Sesuatu yang bahkan lebih berbahaya dari sebelumnya.

Di Atas The Orion

Alaric terbangun dengan napas terengah-engah.

Mimpi itu terasa begitu nyata. Ia melihat Seren di dalam air, mendengar suaranya, tetapi ada sesuatu yang berbeda.

Ia melihat Seren berubah, tetapi bukan menjadi manusia, juga bukan menjadi Siren.

Ia merasakan sesuatu yang aneh—seolah Seren sedang memanggilnya dari kejauhan.

Tetapi… bagaimana bisa?

Alaric duduk di tepi ranjang, pikirannya kacau. Jika Seren masih hidup, di mana ia sekarang? Dan jika benar ia telah berubah, apakah ia masih orang yang sama yang ia kenal?

Di luar kabin, laut tetap sunyi.

Namun, Alaric tahu.

Nyanyian Seren belum selesai.

Dan lautan masih menyimpan rahasianya.

Bab 10: Nyanyian Laut yang Terlarang

Malam kembali menyelimuti samudra luas. Ombak beriak pelan, seolah menyembunyikan sesuatu di kedalamannya. Di atas The Orion, Alaric berdiri di geladak, tatapannya tak pernah lepas dari laut yang membentang tanpa batas.

Sejak malam itu—sejak perpisahan yang menghancurkan dunianya—ia tidak lagi sama.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini belum berakhir.

Seren masih ada di luar sana.

Ia bisa merasakannya.

Di Dasar Lautan…

Seren melayang di antara bayangan biru kehijauan yang tak berujung. Tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang terasa asing—seperti ada kekuatan yang mengalir di dalam dirinya yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia melihat tangannya sendiri, yang kini bersinar samar dalam kegelapan. Tubuhnya bukan lagi milik manusia, tetapi juga bukan milik Siren sepenuhnya.

Ia adalah sesuatu yang baru.

Dan ia tahu, ia tidak bisa kembali begitu saja.

Namun, di dalam dadanya, ada satu hal yang lebih kuat dari ketakutannya.

Kerinduan.

Ia menutup matanya dan membiarkan dirinya mendengar suara hatinya sendiri.

Lalu, perlahan, ia mulai bernyanyi.

Nyanyian itu tidak seperti nyanyian Siren yang dulu—tidak ada daya pikat untuk menjerat manusia, tidak ada kekuatan untuk membius dan menidurkan siapa pun.

Ini adalah lagu perpisahan dan harapan.

Lagu yang hanya bisa didengar oleh satu orang.

Alaric.

Di Atas The Orion

Alaric tersentak.

Angin malam tiba-tiba membawa sesuatu yang membuatnya membeku di tempat.

Sebuah suara.

Lembut, namun penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Itu Seren.

Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa melihatnya, tetapi ia bisa merasakannya.

Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke tepi kapal, menatap ke dalam laut yang gelap.

Hector dan beberapa awak kapal melihatnya dengan heran. “Kapten, ada apa?”

Alaric tidak menjawab. Ia tahu mereka tidak bisa mendengar apa yang ia dengar.

Tanpa ragu, ia melompat ke laut.

Di Dalam Air…

Alaric menyelam lebih dalam, mengikuti suara yang memanggilnya. Air dingin mengelilinginya, tetapi ia terus berenang, tidak peduli seberapa jauh ia harus pergi.

Lalu, di antara gelapnya laut, ia melihatnya.

Seren.

Tetapi dia tidak seperti sebelumnya.

Tubuhnya bersinar lembut, rambut hitamnya melayang seperti gelombang yang bergerak dengan lembut. Matanya masih sama—biru kehijauan yang selalu menatapnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Mereka bertemu di tengah lautan yang sunyi.

Alaric meraih tangannya, tetapi sebelum ia bisa menyentuhnya, Seren menggeleng pelan.

“Aku tidak bisa kembali.”

Alaric membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi air menghalangi suaranya.

Seren tersenyum sedih.

“Aku telah berubah, Alaric. Aku bukan lagi bagian dari dunia manusia, dan aku juga bukan bagian dari kaum Siren.”

Alaric menggeleng keras, menolak menerima kenyataan itu. Ia tidak peduli bagaimana atau apa Seren sekarang. Yang ia tahu hanyalah ia tidak ingin kehilangannya lagi.

Seren menatapnya lama, lalu dengan perlahan, ia mendekat dan menyentuhkan dahinya ke dahinya.

Tiba-tiba, Alaric merasakan sesuatu yang luar biasa.

Seluruh ingatannya tentang Seren, tentang perjalanan mereka, tentang lautan—semuanya menyatu dalam satu momen.

Ia memahami segalanya.

Dan ia tahu bahwa ini adalah perpisahan.

Air mata Seren bercampur dengan air laut saat ia berbisik, “Aku akan selalu bersamamu… dalam nyanyian laut.”

Sebelum Alaric bisa mencegahnya, tubuh Seren mulai menghilang, menjadi bagian dari lautan itu sendiri.

Di Atas Kapal…

Alaric terbangun dengan napas terengah-engah. Ia terbaring di geladak, tubuhnya basah kuyup.

Hector berjongkok di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. “Apa yang terjadi, Kapten? Kami menemukanmu mengapung di laut.”

Alaric menatap langit yang penuh bintang.

Ia tahu apa yang terjadi.

Dan ia tahu bahwa Seren telah pergi.

Namun, saat ia menutup matanya, ia masih bisa mendengar suara nyanyiannya—selalu ada di dalam dirinya.

Laut tidak lagi terasa kosong.

Karena kini, Seren adalah bagian dari samudra itu sendiri.

Dan ia akan selalu ada di sana.

Menunggu.

Mengawasi.

Bernyanyi untuknya.

Sampai suatu hari nanti, mereka bertemu kembali.

Tamat.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *