Novel Singkat Teka-Teki Cinta di Kota Tanpa Nama
Novel Singkat Teka-Teki Cinta di Kota Tanpa Nama

Novel Singkat: Teka-Teki Cinta di Kota Tanpa Nama

Lyra, seorang mantan peneliti neurosains, terbangun di sebuah kota tanpa ingatan dan tanpa petunjuk tentang siapa dirinya. Kota itu terasa aneh—tidak ada nama jalan, tidak ada tanda arah, seolah semuanya dirancang untuk membuat orang tersesat. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah surat dari pria misterius yang mengaku mencintainya dan meminta untuk bertemu di tempat rahasia.

Saat mencoba mengungkap identitasnya, Lyra menyadari bahwa ia adalah bagian dari eksperimen rahasia yang bertujuan menghapus dan menanamkan kembali ingatan seseorang. Kini, organisasi yang dulu berjanji ingin menghapusnya sepenuhnya.

Bab 1: Kota yang Lupa Nama

Mataku terbuka perlahan. Langit-langit putih pucat menyambut pandanganku, sementara suara samar dari luar jendela terdengar seperti gumaman kota yang sedang berbisik. Aku mencoba bangun, tapi kepalaku terasa berat, seolah ada sesuatu yang tertinggal di dalamnya—sesuatu yang hilang.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebuah kamar hotel. Sederhana, tanpa dekorasi berlebihan. Di meja kecil di samping tempat tidur, ada segelas air dan sebuah amplop putih dengan namaku tertulis di atasnya.

Namaku?

Aku mencoba mengingat. Tidak ada yang muncul di kepalaku. Kosong.

Jantungku berdegup cepat. Aku segera berlari ke cermin yang tergantung di dinding dan menatap pantulan diriku. Seorang wanita muda dengan rambut sedikit berantakan, wajah pucat, dan mata yang menyiratkan kebingungan. Aku mengenali wajah itu, tapi anehnya, aku tidak tahu siapa aku.

Aku berusaha bernapas perlahan, menenangkan diri. Aku mengambil amplop di atas meja dan membukanya dengan tangan gemetar.

“Temui aku di tempat yang pernah kita janjikan. Aku akan menjelaskan semuanya. Percayalah padaku.”

Tidak ada tanda tangan. Tidak ada petunjuk lain. Hanya selembar kertas dengan tulisan tangan yang terasa akrab namun asing pada saat yang bersamaan.

Aku mendekati jendela dan menarik tirai ke samping. Kota yang terbentang di luar begitu aneh—gedung-gedung tinggi menjulang, jalanan penuh dengan orang-orang yang berjalan cepat, kendaraan berlalu-lalang. Semua tampak seperti kota metropolitan biasa, tapi ada sesuatu yang tidak wajar.

Aku menyipitkan mata, memperhatikan lebih saksama.

Tidak ada nama jalan. Tidak ada papan toko. Tidak ada tanda arah.

Kota ini… tidak memiliki nama.

Aku menggigit bibir, mencoba memahami situasi ini. Tidak ingat siapa aku. Tidak tahu di mana aku berada. Tidak ada petunjuk selain surat misterius dari seseorang yang seolah mengenalku lebih baik dari diriku sendiri.

Satu hal yang pasti—aku tidak bisa tinggal diam.

Aku harus mencari tahu siapa aku.

Dan aku harus menemukan orang yang menulis surat ini.

Bab 2: Surat dari Bayangan

Langkahku terasa berat saat keluar dari hotel. Udara dingin menusuk kulitku, tapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat tubuhku menggigil. Setiap orang yang melewatiku terlihat biasa saja—sibuk dengan urusan mereka, berjalan tergesa-gesa tanpa memperhatikan sekeliling. Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh.

Tidak ada yang berbicara satu sama lain.

Mereka berjalan lurus, tanpa ekspresi, seolah-olah hanya mengikuti pola yang telah ditentukan.

Aku menggenggam surat itu erat-erat. Temui aku di tempat yang pernah kita janjikan. Tapi aku tidak tahu tempat itu. Bagaimana aku bisa menemukannya kalau aku bahkan tidak tahu siapa aku?

Saat melangkah di trotoar, mataku menangkap sesuatu yang ganjil. Sebuah toko yang seharusnya memiliki papan nama hanya memiliki kaca kosong. Restoran di seberang jalan pun tidak memiliki menu yang tertera di depan. Tidak ada plang, tidak ada petunjuk.

Aku berhenti di dekat lampu lalu lintas, mencoba mengatur napas. Kemudian, seseorang menyebut namaku.

“Lyra?”

Aku membeku. Nama itu… terdengar familiar. Apakah itu namaku?

Perlahan, aku menoleh.

Seorang pria berdiri beberapa langkah dariku. Rambutnya hitam dengan sedikit gelombang, matanya tajam, dan ekspresinya antara kaget dan waspada. Seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang selama ini ia cari.

Aku menelan ludah. “Siapa kau?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia melangkah lebih dekat, menatapku seakan ingin memastikan sesuatu. “Kau tidak mengingatku, bukan?”

Aku menggeleng.

Ia menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling dengan gelisah. “Ini tidak aman. Kita tidak bisa bicara di sini.”

Jantungku berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”

Sebelum ia sempat menjawab, aku merasakan sesuatu yang aneh di belakangku. Perasaan seperti sedang diawasi. Aku menoleh cepat, dan di seberang jalan, dua pria berpakaian hitam berdiri diam, menatap ke arahku.

Mereka mengenakan masker hitam yang menutupi wajah mereka.

Naluri dalam diriku berteriak—lari.

Pria di depanku tampaknya menyadari hal yang sama. “Kita harus pergi. Sekarang!”

Ia menarik tanganku, membawaku berlari melewati trotoar. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang pasti: ada orang-orang yang menginginkanku tetap dalam kegelapan.

Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Bab 3: Kejaran Tanpa Wajah

Aku tidak tahu ke mana pria itu membawaku. Kaki kami terus melangkah, berlari melewati gang sempit, melintasi jalan yang dipenuhi pejalan kaki yang tetap berjalan tanpa ekspresi. Aku melirik ke belakang. Dua pria bertopeng hitam masih mengejar kami.

“Siapa mereka?” tanyaku, terengah-engah.

“Bukan saatnya untuk bertanya.” Pria itu mempercepat langkahnya. “Yang jelas, kalau mereka menangkapmu, kau tidak akan pernah bisa keluar dari kota ini.”

Darahku berdesir. Apakah mereka ingin membunuhku? Menghapus jejakku? Atau ada alasan lain?

Kami berbelok ke gang kecil yang lebih gelap. Suasana di dalamnya terasa lebih sunyi, seolah terisolasi dari dunia luar. Langkah kami bergema di dinding beton yang berlumut. Pria itu menarikku bersembunyi di balik sebuah kontainer besar, menahan napas saat dua pria bertopeng lewat dengan gerakan kaku dan cepat.

Aku mencoba menenangkan debaran jantungku. “Siapa kau?” bisikku.

Ia menatapku, masih waspada. “Namaku Adrian. Aku datang untuk menemuimu.”

Adrian? Nama itu terdengar samar di pikiranku, seperti gema yang hampir terlupakan. Aku memejamkan mata, berharap ada ingatan yang muncul, tapi yang kudapat hanya kekosongan.

“Aku tidak ingat siapa aku,” bisikku pelan. “Aku tidak ingat tempat ini. Aku bahkan tidak yakin dengan namaku sendiri.”

Adrian mengamati wajahku dengan ekspresi rumit. “Itu karena mereka menghapus ingatanmu.”

Aku tersentak. “Apa?”

Ia menghela napas, bersandar ke dinding. “Kota ini bukan kota biasa. Semua yang ada di sini dikendalikan oleh organisasi yang ingin menghapus jejak-jejak tertentu. Kau adalah bagian dari mereka—atau setidaknya, kau dulu pernah menjadi bagian dari mereka.”

Kata-katanya menamparku dengan keras. Aku? Bagian dari organisasi yang menghapus ingatan orang? Itu tidak masuk akal. Tapi sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, mataku menangkap sesuatu di dinding gang.

Sebuah simbol aneh tergambar di sana, seperti pola lingkaran dengan garis-garis melingkar di tengahnya. Aku tidak tahu kenapa, tapi tanganku terangkat dengan sendirinya, menyentuh simbol itu.

Dan tiba-tiba sebuah ingatan muncul.

Aku melihat diriku berdiri di tempat yang sama, di malam yang gelap, bersama seorang pria… Adrian.

“Aku akan kembali untukmu, Lyra. Apa pun yang terjadi, ingat ini: jangan pernah percaya siapa pun di kota ini.”

Aku terhuyung ke belakang, napasku memburu. “Aku… aku pernah ada di sini sebelumnya.”

Adrian menatapku dengan serius. “Itu hanya awal. Kalau kau mau bertahan hidup, kita harus segera pergi.”

Aku menggenggam surat yang kutemukan di kamar hotelku, menatapnya sekali lagi. Temui aku di tempat yang pernah kita janjikan.

Tempat itu… ada di kota ini. Dan aku harus menemukannya sebelum semuanya terlambat.

Bab 4: Pintu Menuju Masa Lalu

Aku masih bisa merasakan bekas ingatan yang muncul saat menyentuh simbol aneh di dinding gang itu. Sekilas, aku melihat diriku sendiri—bersama Adrian. Aku mengingat suaranya, tapi tidak semua potongan kenangan itu utuh.

Aku menoleh ke arahnya. “Apa maksudmu tadi? Kau bilang aku bagian dari mereka?”

Adrian menghela napas, seolah ragu untuk menjelaskan lebih jauh. “Kota ini bukan tempat biasa, Lyra. Ini adalah pusat eksperimen yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Semua orang yang ada di sini… mereka bukan orang biasa.”

Aku mengernyit. “Eksperimen? Eksperimen apa?”

“Kau pernah bekerja di sini. Kau adalah bagian dari proyek yang bertujuan menghapus dan memanipulasi ingatan seseorang. Tapi sesuatu terjadi… kau mulai mempertanyakan semuanya, dan saat itulah mereka menghapus ingatanmu.”

Kata-katanya membuat jantungku berdegup kencang. Aku tidak percaya. Aku—seseorang yang membantu menghapus ingatan orang lain? Itu gila.

“Tidak mungkin… Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”

“Tapi kau melakukannya,” kata Adrian dengan tegas. “Dan saat kau menyadari bahwa kau juga menjadi target, kau mencoba melarikan diri. Tapi mereka menangkapmu duluan.”

Aku mencoba menyerap informasi itu. Jadi, alasan aku terbangun tanpa ingatan di hotel bukanlah karena kecelakaan atau kehilangan ingatan biasa—itu disengaja.

“Aku tidak percaya… Kalau aku bagian dari mereka, kenapa aku merasa tidak mengenal tempat ini? Tidak mengenal siapa pun?”

“Karena mereka tidak hanya menghapus ingatanmu. Mereka menulis ulang dirimu,” ucap Adrian pelan. “Mereka ingin kau percaya bahwa kau tidak pernah ada sebelumnya.”

Aku merasakan tubuhku lemas. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Adrian menatapku dengan serius. “Satu-satunya cara untuk mengetahui siapa kau sebenarnya adalah menemukan tempat yang disebut dalam surat itu. Tempat yang pernah kita janjikan.”

Aku meremas surat itu di tanganku. Tempat itu pasti penting.

“Tapi bagaimana cara menemukannya? Kota ini bahkan tidak memiliki nama jalan atau petunjuk arah.”

Adrian tersenyum samar. “Kau lupa sesuatu. Meskipun kau tidak ingat, instingmu masih ada.”

Aku menatapnya, masih bingung.

“Aku akan membantumu,” lanjutnya. “Tapi ada satu hal yang harus kau ingat. Jangan pernah percaya siapa pun selain dirimu sendiri.”

Aku mengangguk pelan.

Aku tidak tahu ke mana langkah ini akan membawaku, tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan berhenti sampai aku menemukan kebenaran.

Bab 5: Kode yang Hilang

Aku mengikuti Adrian menelusuri gang-gang sempit yang semakin terasa asing. Kota ini semakin aneh bagiku, seperti labirin tanpa petunjuk. Tidak ada papan jalan, tidak ada tanda arah, bahkan para pejalan kaki pun berjalan seolah mereka hanya mengikuti rutinitas tanpa tujuan.

“Kita akan pergi ke tempat persembunyian sementara,” ujar Adrian sambil melirik sekeliling dengan waspada.

Aku menatapnya penuh curiga. Aku tidak tahu siapa yang bisa dipercaya di kota ini. “Bagaimana aku bisa yakin kalau kau tidak memanfaatkan ingatanku yang hilang?”

Adrian tersenyum tipis, seolah mengerti keraguanku. “Kau tidak bisa. Tapi kalau aku ingin mencelakakanmu, aku sudah melakukannya sejak tadi.”

Aku mendesah pelan. Dia benar. Jika dia memang bekerja untuk organisasi yang ingin menghapus keberadaanku, aku mungkin sudah tertangkap atau lebih buruk lagi.

Kami berhenti di depan sebuah bangunan tua yang tampak terbengkalai. Adrian mengetuk pintu tiga kali, lalu sekali lagi dengan jeda. Kunci pintu berdecit saat seseorang membukanya dari dalam.

Seorang wanita berambut pendek dengan tatapan tajam menatapku curiga sebelum akhirnya memandang Adrian. “Kau benar-benar membawanya ke sini?”

“Apa aku punya pilihan lain?” Adrian menjawab santai.

Wanita itu mendengus sebelum menoleh ke arahku. “Jadi ini dia, si gadis yang ingin mereka hapus dari sejarah.”

Aku tidak menyukai nada sinisnya, tapi aku memilih diam. Aku hanya ingin jawaban.

Kami masuk ke dalam ruangan kecil yang penuh dengan tumpukan dokumen dan monitor yang menampilkan peta kota ini. Anehnya, ada satu bagian kota yang tampaknya sengaja dihapus dari sistem.

Adrian menarik napas panjang sebelum berbicara. “Sebelum mereka menghapus ingatanmu, kau meninggalkan sesuatu untuk dirimu sendiri. Sebuah kode.”

Aku menatapnya bingung. “Kode?”

“Ya,” wanita itu menyela. “Sebuah kombinasi angka yang kau sembunyikan di dalam kotak kecil. Kami menemukannya beberapa hari setelah kau menghilang. Masalahnya, kami tidak tahu di mana kuncinya.”

Aku mengingat sesuatu.

Surat.

Aku segera merogoh saku jaket dan mengeluarkan amplop yang kutemukan saat terbangun di hotel. Di dalamnya, selain surat yang kutemukan sebelumnya, ada sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang.

Adrian menatapku dengan ekspresi penuh harapan. “Itu dia.”

Aku menatap benda kecil itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. Jika kode yang kusembunyikan bisa mengungkap kebenaran, apa yang akan kutemukan?

Sesuatu memberitahuku bahwa apa pun yang ada di dalam kotak itu akan mengubah segalanya.

Dan mungkin, itu tidak akan berakhir dengan baik.

Bab 6: Cinta di Antara Kepingan Ingatan

Tanganku gemetar saat memegang kunci kecil itu. Ini adalah petunjuk pertama yang nyata tentang siapa aku sebenarnya. Jika aku menyembunyikan sesuatu sebelum kehilangan ingatan, berarti aku sudah tahu sebelumnya bahwa ini akan terjadi.

“Di mana kotaknya?” tanyaku, mencoba mengendalikan debaran jantungku.

Wanita yang sebelumnya menatapku sinis—yang kini aku ketahui bernama Mira—menunjuk ke sebuah laci besi di sudut ruangan. Adrian mengambil kunci dari tanganku, lalu membuka laci itu.

Di dalamnya ada sebuah kotak kecil berwarna perak, tidak lebih besar dari telapak tanganku. Adrian menyerahkannya padaku.

“Ini milikmu, Lyra,” katanya pelan.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan kunci ke dalam lubang kecil di kotak itu. Dengan suara klik, kotaknya terbuka.

Di dalamnya, ada dua benda: sebuah foto lama dan selembar kertas yang penuh dengan angka dan simbol aneh.

Aku mengambil fotonya lebih dulu. Jantungku seperti berhenti berdetak saat melihatnya.

Itu adalah aku… dan Adrian.

Kami berdiri di depan sebuah bangunan dengan ekspresi bahagia. Aku memegang tangannya, dan dia menatapku dengan penuh kehangatan. Aku bisa melihat jelas bagaimana aku tersenyum—senyum yang terasa begitu alami, seolah aku berada di tempat yang seharusnya.

“Ini…” Aku menelan ludah. “Ini kita?”

Adrian menatap foto itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ya. Dulu.”

Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh kebingungan. “Apa hubungan kita sebenarnya?”

Ia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Kita pernah saling mencintai.”

Kata-katanya mengguncang hatiku.

“Aku tidak mengerti…” Aku meremas foto itu. “Jika kita memang saling mencintai, mengapa aku kehilangan semua ini? Mengapa mereka ingin menghapusku?”

Mira menyela dengan suara datar. “Karena kau mencoba keluar dari sistem. Kau tahu terlalu banyak, Lyra. Kau dan Adrian…”

Aku menatap Adrian dengan cepat. “Kau juga?”

Dia mengangguk. “Aku dulu bagian dari mereka. Aku bekerja untuk organisasi yang sama. Tapi aku menyadari bahwa apa yang mereka lakukan salah. Aku ingin keluar. Dan kau… kau memilih untuk ikut denganku.”

Aku bisa merasakan kepalaku berdenyut. Seperti ada sesuatu yang berusaha menerobos ingatan yang hilang.

Aku menunduk, menatap lembaran kertas yang penuh dengan angka dan simbol.

“Apa ini?” tanyaku.

Mira mengambil kertas itu dan menelitinya. “Sepertinya ini kode akses ke database organisasi. Kalau kita bisa membukanya, kita mungkin bisa menemukan file asli tentang siapa dirimu dan kenapa mereka ingin menghapusmu.”

Aku menatap Adrian. “Kau tahu tempatnya?”

Adrian mengangguk, tetapi wajahnya serius. “Ya. Tapi tempat itu adalah pusat dari semua ini. Jika kita ke sana… kita mungkin tidak akan kembali hidup-hidup.”

Aku menggenggam foto kami erat-erat.

Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Aku tidak akan berhenti sekarang.

“Aku siap,” kataku tegas. “Aku ingin tahu kebenarannya.”

Adrian menatapku, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, kita akan pergi besok malam.”

Aku tidak tahu apa yang menungguku di sana. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan lari lagi.

Bab 7: Kota yang Ingin Menghapusku

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku duduk di dekat jendela, menatap kota yang begitu asing namun entah mengapa terasa akrab di sudut pikiranku. Bangunan tanpa nama, jalanan tanpa petunjuk arah—seolah semuanya diciptakan untuk menyesatkan.

Adrian ada di sudut ruangan, memperiksa peta digital yang menampilkan tata letak kota ini. Mira di sisi lain, mengetik sesuatu di laptopnya dengan ekspresi serius.

Aku menatap foto yang kutemukan di dalam kotak tadi. Aku dan Adrian. Aku mencoba mengingat perasaan yang ada di dalam foto itu, tapi yang kutemukan hanya kehampaan. Seolah ingatan itu pernah ada, tapi sekarang hanya tersisa bayangan samar.

“Tak perlu dipaksakan,” suara Adrian membuatku tersentak. Ia menatapku dengan ekspresi lembut, berbeda dari sebelumnya.

Aku mendesah pelan. “Aku ingin mengingatnya. Aku ingin tahu… apakah aku benar-benar mencintaimu?”

Adrian tersenyum kecil. “Dulu kau pernah bilang, cinta itu bukan tentang ingatan, tapi tentang perasaan yang tidak bisa dihapus.”

Aku terdiam, memproses kata-katanya. Jika benar seperti itu, kenapa aku tidak merasakan apa-apa?

Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, Mira menutup laptopnya dengan ekspresi tegang. “Aku berhasil masuk ke sebagian data mereka. Dan aku menemukan sesuatu yang harus kalian lihat.”

Aku dan Adrian segera mendekat. Di layar laptopnya, ada sebuah dokumen dengan tanda merah RAHASIA.

Mira menatapku. “Lyra, kau bukan sekadar subjek biasa.”

Aku menegang. “Apa maksudmu?”

Ia mengetik sesuatu, dan layar menampilkan file berjudul “PROYEK L-MEMORY”.

Aku menahan napas saat melihat foto diriku di dalam file itu.

Adrian membacanya dengan suara pelan. “Eksperimen memori lanjutan. Subjek memiliki kemampuan untuk mengakses kembali ingatan yang telah dihapus melalui koneksi emosional yang kuat. Subjek dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan proyek jika ingatannya pulih sepenuhnya.”

Darahku berdesir.

Aku bukan hanya seseorang yang kehilangan ingatan. Aku adalah eksperimen mereka.

Aku mencengkram meja, berusaha memahami semuanya. “Jadi, mereka tidak hanya ingin menghapusku. Mereka ingin memastikan aku tidak pernah bisa mengingat apa pun?”

Mira mengangguk. “Karena kalau kau bisa mengingat, berarti kau bisa membuka kunci informasi yang selama ini mereka coba sembunyikan. Kau mungkin tahu sesuatu yang bisa menghancurkan mereka.”

Aku menggigit bibir. “Kalau begitu, kita harus masuk ke pusat data mereka. Aku harus melihat semua file tentangku.”

Adrian menatapku lekat-lekat. “Kau yakin?”

Aku mengangguk. “Aku tidak akan hidup dalam kebohongan.”

Adrian menarik napas dalam, lalu menatap Mira. “Kita bergerak malam ini.”

Mira menghela napas. “Baiklah. Tapi kalau kita ketahuan, kita tidak akan punya kesempatan kedua.”

Aku menatap layar laptop yang masih menampilkan foto diriku.

Kota ini ingin menghapusku.

Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang.

Bab 8: Luka Lama, Pengkhianatan Baru

Kami bergerak dalam diam. Kota yang tadinya terasa begitu asing kini menjadi labirin yang harus kutaklukkan. Adrian memimpin jalan, sementara Mira terus memantau jalur melalui perangkat kecil di tangannya.

“Tunggu,” bisik Mira tiba-tiba. Ia menunjuk ke arah persimpangan jalan. “Ada dua penjaga di depan gedung pusat data. Mereka bersenjata.”

Aku menelan ludah. Ini bukan hanya tentang mencari tahu kebenaran. Ini soal bertahan hidup.

“Kita harus masuk melalui jalur lain,” ujar Adrian, menatap sekeliling. “Ada terowongan bawah tanah yang bisa membawa kita langsung ke ruang server.”

Kami berbelok ke gang kecil, lalu turun melalui lubang saluran yang tertutup oleh pintu besi. Aroma lembap dan gelap menyelimuti kami saat melangkah masuk ke dalam lorong sempit yang tampaknya sudah lama tidak digunakan.

“Tempat ini terasa familiar,” gumamku.

Adrian menoleh. “Dulu kita pernah ke sini. Saat pertama kali kau menyadari apa yang sedang mereka lakukan kepadamu.”

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi sebelum sempat berbicara, Mira berhenti mendadak.

“Ada seseorang di depan,” bisiknya.

Aku mengintip dari balik dinding beton. Seorang pria berdiri di depan pintu besi dengan simbol yang sama seperti yang kulihat di gang beberapa hari lalu.

Jantungku berdetak lebih cepat saat menyadari sesuatu. Aku mengenalnya.

“Bastian…,” gumamku tanpa sadar.

Pria itu menoleh cepat, matanya melebar saat melihatku. “Lyra?”

Aku memegang kepalaku. Nama itu muncul begitu saja dari ingatanku. Siapa dia?

Bastian menatapku dengan raut tak percaya. “Mereka bilang kau sudah dihapus. Aku pikir kau tidak akan pernah kembali.”

Adrian langsung menarikku ke belakang, berdiri di antara kami. “Jangan dengarkan dia, Lyra. Kita harus pergi.”

Aku menatap Bastian, mencoba mencari jawaban dalam sorot matanya. “Siapa kau?”

Bastian tersenyum kecil, tapi matanya dipenuhi kesedihan. “Aku orang yang pernah kau percayai sebelum kau dikhianati.”

Darahku berdesir. “Siapa yang mengkhianatiku?”

Bastian menatap Adrian.

Aku menoleh ke arah Adrian, mencari kejujuran di wajahnya. “Apa maksudnya?”

Adrian terdiam. Aku bisa melihat ketegangan di rahangnya.

Mira menatap kami dengan gelisah. “Tidak ada waktu untuk ini.”

Tapi aku tidak bisa pergi sebelum mengetahui kebenaran. “Adrian, apa yang dia maksud?”

Adrian akhirnya menghela napas panjang. “Aku… memang berbohong kepadamu.”

Aku membeku.

“Aku memang mencintaimu, Lyra,” lanjutnya, suaranya penuh ketulusan. “Tapi dulu, aku juga bagian dari mereka yang menghapus ingatanmu.”

Aku merasakan dunia di sekitarku berputar.

“Apa?” bisikku.

“Kami diberi perintah untuk menghapusmu. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku mencoba melindungimu, tapi aku terlambat. Mereka sudah mengambil ingatanmu sebelum aku sempat menyelamatkanmu.”

Aku mundur selangkah, mencoba memahami semuanya. Jadi selama ini… orang yang paling kupercaya adalah orang yang pernah mengkhianatiku?

Bastian menatapku dengan penuh simpati. “Sekarang kau tahu. Pertanyaannya, apakah kau masih bisa mempercayainya?”

Aku menatap Adrian, hatiku terasa begitu kacau.

Aku datang ke sini untuk mencari kebenaran. Tapi apakah aku siap untuk menerima kenyataan yang sesungguhnya?

Bab 9: Teka-Teki yang Terpecahkan

Darahku berdesir. Tanganku mengepal, tubuhku terasa dingin. Aku menatap Adrian, pria yang telah menolongku, yang membuatku percaya bahwa aku bisa menemukan jawabanku.

Tapi dia juga orang yang menghapus ingatanku.

Aku ingin berteriak, tapi suara itu terjebak di tenggorokanku. Aku menatap Bastian, mencari kejujuran dalam matanya. Jika Adrian mengkhianatiku, lalu apakah Bastian adalah orang yang benar-benar bisa kupercayai?

“Lyra,” suara Adrian memecah keheningan. “Aku memang bagian dari mereka, tapi aku tidak pernah ingin menyakitimu.”

Aku menggeleng. “Tapi kau menghapus ingatanku!”

“Aku tidak punya pilihan!” suaranya bergetar. “Mereka mengancammu! Jika aku menolak, mereka akan membunuhmu!”

Aku ingin menyangkalnya, tapi sesuatu di dalam diriku berkata bahwa itu bukan kebohongan. Jika organisasi ini bisa menghapus identitasku, membunuhku pasti bukan sesuatu yang sulit bagi mereka.

Mira menyela, suaranya tajam. “Percaya atau tidak, kita tidak punya waktu untuk drama ini. Kita harus masuk ke pusat data sebelum mereka menyadari keberadaan kita!”

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku akan mencari kebenaranku sendiri. Tidak ada waktu untuk mempertanyakan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Aku menatap Bastian. “Kau bisa membawa kami ke dalam?”

Dia mengangguk. “Aku masih punya akses. Tapi kita harus cepat.”

Kami bergerak melewati lorong bawah tanah yang sempit dan gelap. Bastian membawa kami ke sebuah pintu besi besar dengan keypad elektronik di sampingnya. Ia memasukkan serangkaian angka, dan pintu terbuka dengan suara mendesis pelan.

Kami masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi layar komputer, server berkelip, dan kabel berserakan di lantai. Di tengah ruangan, ada sebuah terminal besar dengan layar utama yang menampilkan logo organisasi ini.

“Ini dia,” ujar Bastian. “Semua data mereka tersimpan di sini.”

Mira langsung duduk di kursi dan mulai mengetik cepat. “Aku akan mencari file tentangmu, Lyra. Tapi aku butuh waktu.”

Aku mengangguk, mencoba mengendalikan debaran jantungku.

Adrian berdiri di sampingku. “Aku tahu kau marah padaku, tapi aku akan menjagamu.”

Aku tidak menjawab.

Beberapa menit kemudian, Mira berseru, “Dapat!”

Kami semua menatap layar.

FILE: LYRA L-12
Status: Hilang
Klasifikasi: Prioritas Tinggi
Eksperimen: Rekonstruksi Memori Subjek dengan Resistensi Tinggi

Aku membaca cepat, mencoba memahami.

“Rekonstruksi memori…?” gumamku.

Mira mengetik lebih dalam, lalu ekspresinya berubah tegang. “Lyra… kau bukan hanya kehilangan ingatan.”

Aku menelan ludah. “Apa maksudmu?”

Adrian membaca layar dengan ekspresi gelap. “Mereka… tidak hanya menghapus ingatanmu, tapi mencoba menanamkan ingatan baru.”

Darahku berdesir.

Bastian menatap layar dengan rahang mengeras. “Itu sebabnya kau merasa ada sesuatu yang hilang, tapi juga terasa akrab. Mereka berusaha mengubah siapa dirimu sebenarnya.”

Aku mundur selangkah, tubuhku gemetar. “Jadi… aku bukan hanya melupakan masa lalu. Aku sudah menjadi orang yang berbeda?”

Mira mengangguk pelan. “Ya.”

Aku merasa mual. Aku datang ke sini untuk menemukan siapa diriku, tapi sekarang aku justru tahu bahwa aku mungkin bukan diriku yang sebenarnya.

Sebuah peringatan tiba-tiba muncul di layar.

“INTRUSI TERDETEKSI. SISTEM AKAN TERKUNCI DALAM 60 DETIK.”

“Kita ketahuan!” seru Mira.

Bastian segera mencabut USB dari komputer. “Aku sudah menyalin datanya. Kita harus keluar sekarang!”

Aku masih terpaku di tempatku. Semua ini terlalu cepat.

Adrian menarik tanganku. “Lyra, ayo!”

Aku menatapnya, dan untuk sesaat, aku melihat sesuatu di matanya. Bukan kebohongan. Bukan pengkhianatan. Tapi ketulusan yang tersisa.

Aku harus membuat keputusan.

Aku menarik napas dalam dan mengangguk. “Ayo pergi!”

Kami berlari keluar dari ruangan itu, dan saat alarm mulai berbunyi di seluruh gedung, aku tahu satu hal:

Aku semakin dekat dengan kebenaran.

Dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.

Bab 10: Cinta yang Tidak Bisa Dilupakan

Kami berlari menembus lorong sempit, napas memburu di dada. Alarm terus berbunyi, menggema di seluruh gedung. Lampu merah berkedip-kedip, menandakan bahwa seluruh sistem keamanan sudah diaktifkan.

“Ada jalan keluar lain!” seru Bastian. “Ikuti aku!”

Aku tidak punya waktu untuk berpikir. Aku hanya bisa mengikuti langkah mereka, sementara suara langkah kaki penjaga semakin mendekat dari belakang.

Mira menekan sebuah tombol di dinding, dan pintu logam di depan kami terbuka dengan suara berdecit.

“Masuk cepat!” serunya.

Kami masuk ke dalam ruangan sempit, dan begitu pintunya tertutup, suara langkah para penjaga terdengar melewati kami.

Aku berusaha menenangkan diriku, jantungku masih berpacu cepat.

“Apa selanjutnya?” tanyaku, masih berusaha memproses semua yang baru saja terjadi.

Bastian mengeluarkan USB yang berisi data tentangku. “Kita harus keluar dari kota ini. Selama kau masih di sini, mereka akan terus memburu kita.”

Aku menggigit bibir. “Tapi… aku ingin tahu lebih banyak tentang siapa aku sebenarnya.”

Mira menatapku serius. “Kau sudah tahu bagian terpentingnya, Lyra. Mereka berusaha menghapusmu karena kau tahu sesuatu yang bisa menghancurkan mereka. Satu-satunya cara untuk benar-benar menang adalah keluar dari kota ini dan mengekspos kebenaran.”

Aku menunduk, meremas jemariku. “Jadi… aku tidak akan pernah bisa mengingat semuanya?”

Adrian menatapku, matanya penuh perasaan yang sulit diartikan. “Ingat atau tidak, itu tidak mengubah siapa dirimu sebenarnya. Ingatan bisa dihapus, tapi perasaan tidak akan pernah bisa hilang.”

Aku menatapnya lama. Kata-katanya mengingatkanku pada sesuatu.

“Cinta bukan tentang ingatan, tapi tentang perasaan yang tidak bisa dihapus.”

Aku mendongak, perasaan familiar menyelimutiku.

“Adrian…” Aku menatapnya dalam. “Kau mengatakan itu padaku sebelumnya, bukan?”

Adrian membeku, lalu tersenyum samar. “Ya. Itu sesuatu yang pernah kau katakan padaku dulu. Dan aku hanya mengulangnya.”

Aku mengingat sepotong kenangan lagi—aku dan Adrian berdiri di bawah langit malam, dia menggenggam tanganku, menatapku dengan tatapan yang sama seperti sekarang.

Aku menarik napas dalam. Mungkin aku tidak akan pernah bisa mendapatkan semua ingatanku kembali, tapi satu hal yang aku tahu pasti—perasaanku terhadapnya masih ada.

Aku meraih tangannya. “Aku percaya padamu.”

Adrian menatapku dengan kaget, tapi lalu jemarinya menggenggam tanganku erat.

Bastian berdehem. “Maaf mengganggu momen ini, tapi kita masih dalam bahaya di sini.”

Aku tertawa kecil, sesuatu yang belum pernah kurasakan sejak aku terbangun di kota ini.

“Kita pergi sekarang,” kataku tegas. “Dan kita akan menghancurkan mereka.”

Adrian, Mira, dan Bastian mengangguk.

Kami keluar dari tempat persembunyian, menerobos ke dalam malam yang gelap. Kota ini mungkin ingin menghapusku, tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang.

Aku akan menemukan siapa aku sebenarnya.

Dan kali ini, tidak ada yang bisa menghentikanku.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *