Novel Singkat: Aku, Dia, dan Surat-Surat Tak Terkirim
Novel Singkat: Aku, Dia, dan Surat-Surat Tak Terkirim

Novel Singkat: Aku, Dia, dan Surat-Surat Tak Terkirim

Naira , seorang editor buku , kehilangan pertunangannya, Raka , dalam kecelakaan tragis. Saat masih berjuang menghadapi duka, ia menerima serangkaian surat yang seharusnya dikirimkan Raka sebelum kematiannya. Isi surat-surat itu mengungkap masa lalu yang tak pernah ia ketahui—termasuk rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Saat Naira mulai mencari kebenaran, ia menemukan jejak skandal besar yang melibatkan Raka dan sekelompok orang berpengaruh. Dibantu oleh sahabatnya, Dion , dan seorang pria misterius, Adrian , Naira terjebak dalam permainan berbahaya yang mengancam nyawanya.

Bab 1: Surat yang Datang Terlambat

Hujan rintik-rintik membasahi jendela apartemen kecil yang kini terasa terlalu luas dan sunyi. Naira duduk di sofa dengan selimut membungkus tubuhnya, secangkir teh hangat di genggaman, menatap kosong ke arah ponselnya yang sudah lama tak berbunyi. Sudah satu bulan sejak Raka, tunangannya, pergi untuk selamanya akibat kecelakaan tragis. Namun, rasa kehilangan itu tak juga pudar. Justru semakin dalam, semakin menggerogoti setiap inci hatinya.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Naira berusaha menjalani hidupnya dengan normal. Tapi entah mengapa, ada perasaan aneh yang menggelayuti dadanya sejak pagi. Seperti firasat, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Dan firasat itu menjadi kenyataan saat ia menerima sebuah amplop berwarna kecoklatan di depan pintu apartemennya. Tidak ada pengirim, hanya namanya yang tertulis dengan tulisan tangan yang amat ia kenal.

Itu tulisan tangan Raka.

Tangannya gemetar saat merobek amplop itu. Ada selembar kertas berisi tulisan tangan Raka, rapi namun sedikit tergesa-gesa.

Naira, jika kamu membaca ini, aku harap kamu baik-baik saja. Aku ingin bilang banyak hal, tapi sepertinya aku selalu menunda-nunda. Aku bukan pria yang pandai mengungkapkan perasaan secara langsung, jadi aku menuliskannya dalam surat ini. Aku harap kamu tidak marah…

Jantung Naira berdebar keras. Surat ini pasti ditulis sebelum kecelakaan itu. Tapi mengapa baru sampai sekarang?

Ia melanjutkan membaca, matanya mulai basah.

Aku tahu aku bukan pria sempurna. Aku banyak melakukan kesalahan, termasuk menyembunyikan sesuatu darimu. Tapi aku berjanji, itu semua kulakukan karena aku mencintaimu…

Naira menelan ludah, tangannya semakin erat menggenggam kertas itu. Apa yang Raka sembunyikan?

Ia menghela napas, matanya menerawang ke luar jendela yang masih diselimuti hujan. Mungkinkah ada sesuatu yang belum ia ketahui tentang pria yang telah bersamanya selama lima tahun terakhir?

Hatinya berkata bahwa ini bukan sekadar surat biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang akan mengubah cara ia melihat Raka.

Dan ia belum siap untuk itu.

Tapi surat itu sudah tiba.

Dan surat itu bukan yang terakhir.

Naira tidak bisa berhenti menatap surat di tangannya. Tangannya gemetar, seolah-olah surat itu bisa meledak kapan saja. Perlahan, ia mengangkat amplopnya, membaliknya untuk mencari petunjuk. Tidak ada perangko, tidak ada alamat pengirim. Apakah seseorang yang mengenal Raka mengirimkannya? Atau apakah surat ini baru ditemukan setelah sekian lama?

Ia segera bangkit dari sofa, melangkah menuju meja makan tempat ponselnya tergeletak. Jari-jarinya dengan cepat menekan nomor Dion, sahabat Raka yang juga menjadi teman baiknya.

“Naira?” Suara Dion terdengar dari seberang telepon, sedikit kaget. “Kamu baik-baik saja?”

“Aku… aku menerima surat dari Raka,” jawab Naira pelan, masih berusaha mengendalikan emosinya.

Hening.

“Apa maksudmu?” tanya Dion akhirnya. “Surat dari Raka?”

“Ya. Tulisan tangannya. Surat ini baru sampai hari ini,” suara Naira bergetar. “Dion, apakah kamu tahu sesuatu soal ini?”

Dion terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Aku enggak tahu, Naira. Setahuku, Raka memang suka menulis. Tapi… dia nggak pernah cerita soal surat-surat.”

“Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku,” ujar Naira, lebih kepada dirinya sendiri.

“Jangan berpikir macam-macam dulu,” kata Dion. “Aku akan datang ke tempatmu. Tunggu aku sebentar.”

Naira menutup telepon dan kembali duduk. Hujan semakin deras di luar, membentuk pola tak beraturan di jendela kaca. Ia membaca ulang surat itu, berharap menemukan sesuatu yang terlewat. Namun, yang ada hanya kata-kata Raka yang terasa begitu nyata, begitu menyakitkan.

Aku harap kamu tidak marah… Aku banyak melakukan kesalahan, termasuk menyembunyikan sesuatu darimu…

Kata-kata itu berputar di benaknya. Apa yang sebenarnya ingin Raka katakan?

Tak lama kemudian, bel apartemen berbunyi. Naira melangkah ke pintu dan membukanya. Dion berdiri di sana, jaketnya basah oleh hujan, wajahnya terlihat serius.

“Mana suratnya?” tanyanya langsung.

Tanpa berkata apa-apa, Naira menyerahkan surat itu. Dion membaca dengan seksama, ekspresinya berubah seiring berjalannya waktu. Saat ia selesai, ia menatap Naira dengan sorot mata penuh keraguan.

“Naira,” katanya pelan. “Sepertinya ini baru permulaan.”

Hati Naira mencelos.

“Permulaan apa?” tanyanya, meski jauh di dalam hati, ia tahu jawabannya tak akan membuatnya tenang.

Dion mengembalikan surat itu padanya. “Jika ada satu surat, mungkin ada yang lainnya.”

Naira menggenggam surat itu lebih erat.

Ia tidak tahu apakah ia siap untuk jawaban-jawaban yang akan datang. Tapi satu hal pasti—masa lalu Raka belum sepenuhnya terkubur.

Bab 2: Pesan-Pesan dari Masa Lalu

Naira tidak bisa tidur semalaman. Ia terus memandangi surat yang ditinggalkan Raka seakan berharap kata-kata di dalamnya bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih masuk akal. Namun, setiap ia membacanya ulang, hanya semakin banyak pertanyaan yang muncul.

Pagi itu, Naira terbangun dengan mata sembab. Ia masih duduk di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya. Pikirannya terus berputar—apakah Raka memang menyembunyikan sesuatu darinya? Atau ini hanya bagian dari kesalahpahaman?

Saat ia hendak menuju dapur untuk membuat kopi, bel apartemen berbunyi. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak mengharapkan tamu pagi ini. Perlahan, ia membuka pintu dan menemukan seorang pria paruh baya berdiri di depannya, mengenakan jaket kurir dengan logo sebuah perusahaan ekspedisi yang tidak asing baginya.

“Selamat pagi, Nona Naira?” pria itu bertanya sopan.

“Iya, saya sendiri.”

“Ada paket untuk Anda,” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat.

Naira menatap amplop itu dengan curiga. Tidak ada nama pengirim. Hanya namanya yang kembali tertulis di bagian depan.

“Dari siapa ini?” tanyanya.

“Saya kurang tahu, Nona. Paket ini sudah lama disimpan di kantor kami. Sepertinya baru terkirim karena ada kesalahan pencatatan. Saya hanya diminta untuk mengantarkannya hari ini.”

Naira mengangguk dan menerima amplop itu. Dengan perasaan tak menentu, ia mengucapkan terima kasih dan menutup pintu.

Surat lagi.

Naira menatap amplop itu di tangannya. Jika ini dari Raka, artinya ada lebih dari satu surat yang ia tinggalkan.

Dengan jari yang gemetar, ia merobek bagian atas amplop dan menarik isinya. Ada tiga lembar kertas di dalamnya, masing-masing berisi tulisan tangan Raka yang khas. Ia menarik napas dalam sebelum mulai membaca.

Naira,
Jika surat ini sampai padamu, berarti aku sudah tidak ada di sampingmu. Aku tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk mengatakannya, tapi aku perlu memberitahumu sesuatu yang seharusnya sudah kukatakan sejak dulu.

Aku pernah mencintai seseorang sebelum kamu. Dan aku tidak pernah benar-benar melupakannya.

Naira membeku. Matanya terpaku pada kalimat itu. Dadanya terasa sesak, seolah-olah seluruh udara di ruangan menghilang.

Ia melanjutkan membaca.

Aku tidak ingin kamu salah paham. Aku mencintaimu, Naira. Sangat. Tapi ada bagian dari masa laluku yang tidak pernah bisa sepenuhnya hilang. Aku pikir aku bisa menguburnya, tetapi ternyata tidak semudah itu.

Aku bertemu dengannya beberapa bulan sebelum kita bertunangan. Itu tidak direncanakan. Itu terjadi begitu saja.

Jari-jari Naira mencengkeram surat itu dengan erat. Matanya mulai memanas.

Siapa wanita yang Raka bicarakan?

Air matanya menetes di atas kertas saat ia membaca lebih lanjut.

Aku ingin jujur padamu, tapi aku takut. Takut kehilanganmu. Jadi aku memilih untuk menyimpannya sendiri. Tapi sekarang aku sadar, aku tidak boleh membawa rahasia ini sampai akhir.

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa selama aku bersamamu, aku tidak pernah menyesali satu pun momen yang kita lalui bersama. Kamu adalah bagian terbaik dalam hidupku.

Naira menutup mulutnya, menahan isak tangis yang ingin pecah.

Perasaannya campur aduk. Kecewa, marah, sedih—semua bercampur menjadi satu. Raka mencintai orang lain sebelum bertemu dengannya. Itu bukan masalah. Tapi yang membuat hatinya hancur adalah kenyataan bahwa wanita itu masih ada dalam ingatan Raka, bahkan setelah mereka bertunangan.

Naira menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. Ia butuh jawaban. Ia tidak bisa terus berada dalam ketidakpastian ini.

Ia meraih ponselnya dan mengetik pesan cepat kepada Dion.

“Aku butuh bicara. Ada hal yang harus aku tanyakan soal Raka.”

Pesan terkirim.

Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Dion meneleponnya.

“Naira, ada apa?”

Suara Dion terdengar waspada.

“Aku menerima surat lagi,” ucapnya, suaranya sedikit bergetar.

Hening di seberang.

“Dari Raka?”

“Iya. Dan surat ini…” Naira menghela napas berat. “Dia bilang… dia pernah mencintai seseorang sebelum aku. Dan dia bertemu wanita itu lagi sebelum kami bertunangan.”

Dion tidak langsung menjawab. Tapi diamnya sudah cukup bagi Naira untuk tahu bahwa temannya itu tahu sesuatu.

“Dion?” Naira menekan. “Kamu tahu siapa wanita itu?”

Dion menarik napas panjang. “Naira, aku pikir kamu nggak perlu tahu soal ini.”

Naira merasakan darahnya mendidih. “Jangan bohong. Kamu tahu, kan?”

Hening lagi.

“Namanya Dinda,” akhirnya Dion berkata pelan. “Dia adalah mantan Raka. Mereka pernah bersama cukup lama sebelum akhirnya putus. Aku juga baru tahu kalau mereka sempat bertemu lagi. Tapi aku nggak tahu sampai sejauh mana hubungan mereka setelah itu.”

Naira menelan ludah. Nama itu… asing baginya.

Kenapa Raka tidak pernah menyebutnya sama sekali?

Dion melanjutkan, “Aku nggak tahu apakah dia masih ada di kota ini atau sudah pergi. Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu, aku bisa cari informasi lebih lanjut.”

Naira menutup matanya. Hatinya berdebar kencang.

Ia tidak tahu apakah ia siap mengetahui lebih banyak. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan misteri ini begitu saja.

Surat ini mungkin hanya permulaan.

Dan jika ada satu surat, kemungkinan besar masih ada yang lainnya.

Bab 3: Bayangan di Balik Cermin

Naira duduk di meja makan, surat-surat dari Raka berserakan di depannya. Ia belum berhenti membaca ulang kata-kata itu, berharap ada sesuatu yang bisa ia pahami lebih jelas. Namun, semakin ia membacanya, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.

Dinda.

Nama itu berputar di kepalanya sejak Dion menyebutnya tadi pagi. Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa Raka tidak pernah menceritakan tentangnya? Dan yang lebih penting, mengapa Raka merasa harus menyembunyikan sesuatu tentangnya?

Naira menggigit bibirnya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan menemui Dinda.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Dion.

“Aku ingin bertemu Dinda. Bisakah kamu cari tahu di mana dia sekarang?”

Pesan terkirim. Butuh beberapa saat sebelum ponselnya bergetar.

Dion: Aku akan coba cari tahu. Tapi yakin kamu mau ketemu dia?
Naira: Aku butuh jawaban, Dion. Aku nggak bisa hidup dalam ketidakpastian ini.
Dion: Baiklah. Aku kasih kabar secepatnya.

Naira menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya. Ia menatap surat-surat itu sekali lagi. Ada sesuatu yang aneh. Kata-kata Raka terasa begitu ambigu—seakan ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.

Aku harus tahu lebih banyak.

Satu Jam Kemudian

Dion meneleponnya.

“Aku punya alamatnya,” katanya langsung. “Dia tinggal di sebuah apartemen kecil di dekat pusat kota.”

Naira merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

“Aku akan pergi sekarang,” katanya cepat.

“Aku ikut,” balas Dion tegas.

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”

“Naira.” Dion mendesah. “Aku tahu kamu kuat, tapi ini bisa jadi lebih rumit dari yang kamu kira. Aku nggak mau kamu sendirian.”

Naira ingin membantah, tapi akhirnya menyerah. “Baiklah. Aku jemput kamu sekarang.”

Apartemen tempat Dinda tinggal ternyata lebih sederhana dari yang Naira bayangkan. Bangunan tua dengan cat tembok yang mulai pudar, berlokasi di lingkungan yang cukup tenang.

Naira berdiri di depan pintu apartemen nomor 206, jantungnya berdebar kencang. Dion berdiri di sampingnya, memberikan tatapan yang seolah berkata yakin mau melakukan ini?

Ia mengabaikannya dan mengetuk pintu.

Butuh beberapa saat sebelum pintu terbuka.

Wanita di depannya tampak sedikit terkejut melihat mereka. Wajahnya cantik, tapi terlihat lelah. Rambut panjangnya dikuncir seadanya, dan ada sedikit kantung mata yang menunjukkan bahwa ia kurang tidur.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, suaranya terdengar tenang tapi sedikit waspada.

Naira menelan ludah. “Dinda?”

Wanita itu mengerutkan kening. “Ya. Siapa kalian?”

Naira mengatur napasnya sebelum berkata, “Aku… tunangan Raka.”

Dinda terdiam. Sorot matanya berubah. Ada sesuatu yang berkedip di sana—kejutan, kesedihan, atau mungkin… rasa bersalah?

Setelah beberapa detik hening, Dinda melangkah ke samping, memberi isyarat agar mereka masuk.

“Silakan masuk,” katanya pelan.

Naira dan Dion bertukar pandang sebelum melangkah masuk.

Apartemen itu sederhana. Nyaman, tapi tidak terlalu banyak perabotan. Seperti tempat seseorang yang tidak terlalu ingin menetap lama.

Dinda duduk di sofa dan mempersilakan mereka duduk di seberangnya. Ia menatap Naira dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Apa yang kalian ingin tahu?” tanyanya langsung.

Naira menarik napas dalam.

“Aku menerima surat dari Raka,” katanya. “Dia menulis bahwa dia pernah mencintai seseorang sebelum aku. Dan dia bertemu lagi dengan wanita itu sebelum kami bertunangan.”

Dinda terdiam. Tidak membantah, tidak menyangkal.

“Itu kamu, kan?”

Dinda menundukkan kepala, menghela napas. “Ya,” jawabnya akhirnya. “Aku wanita itu.”

Dada Naira terasa sesak, meski sebenarnya ia sudah menduganya.

“Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?” tanyanya, suaranya bergetar.

Dinda menatap Naira dengan mata yang penuh luka. “Aku dan Raka pernah bersama selama hampir tiga tahun. Kami putus karena… keadaan yang tidak bisa kami kendalikan. Dia memilih pergi, dan aku tidak mengejarnya.”

Naira menggigit bibirnya. “Tapi kalian bertemu lagi.”

“Ya.” Dinda tersenyum pahit. “Secara kebetulan. Aku tidak tahu bahwa dia sudah bersamamu saat itu. Kami hanya berbicara sebentar. Aku pikir semuanya sudah selesai di antara kami, tapi…”

“Tapi?” Naira mendesak.

Dinda menatapnya dengan ragu, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.

“Tapi dia terlihat ragu,” akhirnya Dinda berkata. “Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sudah move on. Tapi aku bisa melihatnya. Ada sesuatu yang masih mengikat kami.”

Kata-kata itu menusuk Naira seperti belati.

“Jangan salah paham,” lanjut Dinda cepat. “Aku tidak mencoba merebutnya kembali. Aku tahu dia sudah memilihmu. Aku hanya…” Ia menghela napas. “Aku hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar bahagia.”

Naira mengepalkan tangannya di pangkuannya.

“Dan menurutmu… dia bahagia?”

Dinda terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku tidak tahu.”

Hati Naira mencelos.

Ia tidak tahu apakah ini jawaban yang ia harapkan atau justru yang paling ia takuti.

Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Dinda bangkit dari sofa dan berjalan ke sebuah rak kecil di sudut ruangan. Ia mengambil sesuatu—sebuah kotak kecil—dan menyerahkannya kepada Naira.

“Apa ini?” tanya Naira.

“Dua minggu sebelum kecelakaan itu,” kata Dinda pelan, “Raka menitipkan ini padaku.”

Naira menatap kotak itu dengan perasaan tak menentu. Perlahan, ia membuka tutupnya.

Di dalamnya, ada beberapa lembar surat… yang ditulis dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya.

Tulisan tangan Raka.

Surat-surat lain yang tak pernah sampai padanya.

Dada Naira terasa semakin sesak.

“Kenapa dia menitipkannya padamu?” tanyanya dengan suara nyaris berbisik.

Dinda menatapnya dengan mata sendu.

“Karena dia tahu… bahwa dia mungkin tidak akan sempat mengirimkannya sendiri.”

Bab 4: Kebenaran yang Tak Seharusnya Diketahui

Naira menatap kotak kecil di tangannya dengan jantung berdebar cepat. Surat-surat di dalamnya terasa begitu berat, seakan setiap lembaran kertas itu membawa beban rahasia yang belum ia ketahui.

“Kenapa dia menitipkan ini padamu?” tanyanya dengan suara hampir berbisik.

Dinda menatapnya dengan sorot mata penuh keraguan, seolah sedang memutuskan apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

“Karena dia tahu… bahwa dia mungkin tidak akan sempat mengirimkannya sendiri,” jawabnya akhirnya.

Dada Naira terasa sesak. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—kenyataan bahwa Raka masih menyimpan sesuatu darinya atau fakta bahwa ia mempercayakan surat-surat ini kepada wanita lain.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil salah satu surat di dalam kotak itu. Kali ini, amplopnya tidak berwarna coklat seperti yang pertama ia terima, melainkan putih polos, dengan namanya tertulis di bagian depan.

“Naira, sebelum kamu membacanya…” Dinda berbicara lagi, membuat Naira mengangkat wajahnya. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak tahu isi surat-surat itu. Aku hanya menyimpannya, seperti yang Raka minta.”

Naira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sebelum perlahan membuka surat pertama.

Naira,
Aku tidak tahu apakah aku bisa memberimu surat ini secara langsung. Tapi jika aku tidak bisa, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

Naira menggigit bibirnya. Raka sering mengatakan itu padanya, tapi mengapa kali ini rasanya berbeda?

Tapi aku juga ingin jujur. Ada bagian dari hidupku yang tidak pernah aku ceritakan padamu. Bukan karena aku tidak mempercayaimu, tapi karena aku takut. Takut kamu akan melihatku dengan cara yang berbeda. Takut kamu akan meninggalkanku.

Aku tidak sempurna, Naira. Aku menyimpan sesuatu darimu. Sesuatu yang mungkin akan membuatmu membenciku.

Tangannya mencengkeram surat itu lebih erat.

“Apa maksudnya ini?” suaranya bergetar saat menatap Dinda.

Dinda tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak tahu pasti. Tapi…” Ia menggigit bibirnya, seolah-olah sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. “Ada sesuatu yang Raka katakan kepadaku saat terakhir kali kami bertemu.”

“Apa itu?” desak Naira.

Dinda menghela napas panjang. “Dia bilang… kalau sesuatu akan terjadi padanya. Bahwa dia merasa seseorang mengawasinya.”

Naira mengerutkan kening. “Apa maksudnya?”

Dinda menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Saat itu aku pikir dia hanya lelah atau terlalu banyak berpikir. Tapi sekarang, setelah melihat surat itu… aku jadi merasa mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira.”

Naira merasa bulu kuduknya meremang.

Sesuatu yang lebih besar?

Tangannya bergerak membuka surat berikutnya, meski hatinya ragu apakah ia siap untuk membaca lebih lanjut.

Aku tidak bisa terus menyembunyikan ini darimu. Ada seseorang yang ingin aku jauhi, tapi dia terus kembali. Dia mengancam sesuatu yang sangat berharga bagiku. Aku tidak tahu harus bagaimana… Aku ingin melindungimu, tapi aku takut jika aku mengatakan sesuatu, kamu akan ikut terseret dalam masalah ini.

Jika sesuatu terjadi padaku, jangan percaya siapapun, Naira. Termasuk orang-orang yang menurutmu bisa kamu percayai.

Surat itu terlepas dari tangan Naira.

Dion, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Apa maksudnya ini?”

Naira menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu. Tapi… Raka sepertinya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar masa lalunya dengan Dinda.”

Dinda menatap mereka dengan ekspresi serius. “Kalian tidak berpikir… bahwa kecelakaannya bukan sekadar kecelakaan, kan?”

Tidak ada yang menjawab. Tapi dalam hati, mereka semua tahu—pertanyaan itu bukan tanpa alasan.

Naira menatap surat-surat lain yang masih belum dibuka.

Di dalam sana, mungkin ada kebenaran yang lebih besar.

Sebuah kebenaran yang seharusnya tidak pernah ia ketahui.

Bab 5: Jejak Terhapus di Antara Kita

Malam itu, Naira duduk di lantai apartemennya, surat-surat dari Raka berserakan di sekelilingnya. Hatinya masih berdebar tak menentu setelah percakapannya dengan Dinda dan Dion. Ia menatap surat berikutnya yang belum terbuka. Tangannya gemetar saat mengambilnya, tapi ia tahu ia harus melanjutkan.

Dengan napas berat, ia merobek amplopnya dan mulai membaca.

Naira,
Jika kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak ada. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya semua ini akan berakhir, tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku mencintaimu, lebih dari yang bisa kukatakan.

Aku tidak menyesal telah bertemu denganmu. Tapi ada sesuatu yang harus kamu ketahui. Sebelum semuanya menjadi lebih rumit…

Naira menggigit bibirnya. Kalimat Raka terasa seperti pesan perpisahan yang terlalu menyakitkan. Ia melanjutkan membaca.

Ada sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan. Jika kamu ingin mengetahui kebenaran, pergilah ke sana. Apartemen kecil di pinggiran kota. Tempat di mana semuanya dimulai dan berakhir.

Naira menelan ludah. Apartemen? Apa yang Raka maksud?

Ia meraih ponselnya dan mengetik pesan cepat kepada Dion.

“Aku menemukan sesuatu. Raka menyebut sebuah apartemen di suratnya. Aku harus ke sana.”

Tak butuh waktu lama sebelum Dion membalas.

“Aku akan menemanimu. Kirimkan alamatnya.”

Naira menghela napas. Ia tidak memiliki alamat yang jelas, hanya petunjuk samar dari Raka. Namun, ia merasa harus menemukan tempat itu, bagaimanapun caranya.

Dion mengendarai mobilnya perlahan di area pinggiran kota, sementara Naira duduk di sampingnya dengan surat Raka di tangannya. Ia membaca ulang kata-kata itu, mencari petunjuk yang mungkin terlewat.

“Apartemen kecil di pinggiran kota…” gumamnya pelan. “Raka tidak pernah menyebut punya tempat lain selain apartemennya sendiri.”

Dion mengangguk. “Aku juga baru dengar ini. Tapi kalau dia menyebutnya dalam surat, artinya tempat ini penting.”

Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan apartemen tua dengan cat yang mulai mengelupas. Lingkungannya sepi, hampir terasa menyeramkan.

“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Dion.

Naira mengangguk pelan. “Kita harus mencari tahu.”

Mereka masuk ke dalam gedung dan menaiki tangga menuju lantai dua. Naira memperhatikan setiap pintu yang dilewatinya, mencari sesuatu yang terasa familiar. Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan pintu dengan nomor 2B.

Naira merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tapi ragu.

“Biarkan aku saja,” kata Dion, lalu mengetuk tiga kali.

Tak ada jawaban.

Dion mencoba lagi. Kali ini, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu berderit terbuka, dan seorang wanita tua dengan wajah penuh keriput menatap mereka dengan tatapan penuh selidik.

“Ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

Naira menelan ludah. “Maaf, Bu… Saya ingin bertanya. Apa Anda mengenal seseorang bernama Raka?”

Wanita itu menatap mereka dengan ekspresi aneh sebelum akhirnya menghela napas. “Kalian temannya?”

Naira dan Dion saling berpandangan.

“Ya,” jawab Dion lebih dulu. “Kami temannya. Apa dia pernah tinggal di sini?”

Wanita tua itu mengangguk pelan. “Dia sering datang ke sini. Kadang sendirian, kadang bersama seorang wanita.”

Hati Naira mencelos.

“Seorang wanita?” ulangnya.

Wanita itu mengangguk lagi. “Ya. Tapi terakhir kali dia datang… aku melihatnya bertengkar dengan seseorang di depan gedung ini.”

Naira dan Dion menegang.

“Bertengkar dengan siapa?” tanya Dion cepat.

Wanita itu menggeleng. “Saya tidak tahu. Tapi laki-laki itu terlihat marah. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan, tapi setelah itu… saya tidak pernah melihat anak itu lagi.”

Darah Naira berdesir.

“Laki-laki itu… apakah Anda ingat wajahnya?” tanya Dion.

Wanita itu berpikir sejenak sebelum menggeleng. “Saya hanya melihatnya sekilas dari jendela. Tapi saya ingat satu hal… laki-laki itu mengenakan jas hitam dan terlihat sangat berkuasa.”

Naira merasa tubuhnya melemah.

Jas hitam? Orang berkuasa? Siapa yang bisa punya masalah sebesar itu dengan Raka?

Wanita itu menatap mereka dengan ragu sebelum akhirnya berkata, “Jika kalian ingin masuk, kalian boleh melihat-lihat. Raka menyewa tempat ini, tapi sekarang sudah kosong sejak kepergiannya.”

Naira dan Dion saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk.

Ruangan itu sederhana. Tidak ada banyak perabotan, hanya sebuah meja, kursi, dan kasur kecil di sudut ruangan. Sepertinya Raka tidak tinggal di sini secara permanen.

Naira berjalan ke tengah ruangan, jari-jarinya menyentuh meja kayu yang penuh dengan debu. Ada sesuatu yang terasa aneh di tempat ini.

“Dia menyewa tempat ini… tapi untuk apa?” gumam Dion.

Naira menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan di sini.”

Mereka mulai memeriksa ruangan itu. Dion membuka laci meja, sementara Naira berjalan ke dekat rak buku kecil di sudut. Matanya tertuju pada sebuah buku tua berwarna biru yang tampak sedikit berbeda dari yang lain.

Dengan hati-hati, ia menarik buku itu.

Dan saat ia melakukannya, sesuatu jatuh ke lantai.

Sebuah amplop.

Naira menatap Dion sebelum berjongkok dan mengambilnya. Tangan gemetar saat ia membuka amplop itu dan menarik isinya.

Di dalamnya ada foto.

Dan saat Naira melihatnya, napasnya tercekat.

Di foto itu, ada Raka… dan seorang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Mereka berdiri berdampingan, terlihat sedang berbicara serius. Tapi yang membuat Naira merinding adalah ekspresi wajah Raka—terlihat tegang dan waspada.

Dan di belakang mereka, ada siluet seseorang yang tampak mengawasi.

Dion mengambil foto itu dan mengernyit. “Siapa orang ini?”

Naira menggeleng. “Aku tidak tahu…”

Tapi firasatnya berkata bahwa orang ini ada hubungannya dengan kecelakaan Raka.

Dan mungkin… itu bukan kecelakaan biasa.

Bab 6: Luka yang Belum Sembuh

Naira menatap foto di tangannya dengan perasaan campur aduk. Raka berdiri berdampingan dengan pria asing, ekspresi wajahnya tegang seolah tengah membahas sesuatu yang serius. Namun yang paling mengganggunya adalah siluet seseorang di belakang mereka, seperti seseorang yang diam-diam mengawasi.

“Aku tidak pernah melihat pria ini sebelumnya,” gumam Naira pelan, matanya tetap terpaku pada foto itu.

Dion mengambil foto tersebut dan mengamatinya lebih dekat. “Aku juga enggak kenal. Tapi yang jelas, dari bahasa tubuhnya, mereka sedang membahas sesuatu yang penting.”

Naira menggigit bibirnya. “Apa mungkin dia ada hubungannya dengan kecelakaan Raka?”

Dion terdiam sejenak sebelum berkata, “Kalau benar begitu, berarti ada kemungkinan kecelakaan itu bukan sekadar kecelakaan biasa.”

Dada Naira mencelos.

Sejak menerima surat pertama dari Raka, perasaannya sudah tidak tenang. Sekarang, setelah menemukan surat-surat lain dan foto ini, hatinya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik kematian tunangannya.

Ia menatap sekeliling apartemen kecil itu. Tempat ini jelas disewa Raka untuk sesuatu yang penting. Tapi untuk apa?

Naira mendekati meja kecil di sudut ruangan dan membuka salah satu lacinya. Kosong. Ia mencoba laci lainnya dan menemukan sesuatu—sebuah kunci kecil berwarna perak.

“Kunci?” gumamnya.

Dion menoleh. “Mungkin untuk laci lain atau kotak penyimpanan?”

Naira menggenggam kunci itu erat. Jika Raka meninggalkan kunci ini di tempat yang tersembunyi, pasti ada sesuatu yang penting yang harus ditemukan.

Namun sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar apartemen.

Tap… tap… tap…

Naira dan Dion saling berpandangan.

Langkah kaki itu terdengar berhenti di depan pintu.

Jantung Naira berdegup kencang.

“Ada orang di luar,” bisik Dion.

Naira meraih foto dan kunci kecil itu, menyelipkannya ke dalam saku jaketnya. Dion perlahan melangkah mendekati pintu, lalu mengintip dari lubang pengintai.

“Hanya seorang pria,” bisiknya.

“Siapa?” tanya Naira pelan.

“Aku enggak tahu. Tapi dia terlihat seperti mencari sesuatu.”

Tiba-tiba, pria itu mengetuk pintu.

Tok… tok… tok…

Naira menahan napas.

“Apakah ada seseorang di dalam?” suara pria itu terdengar dalam dan tegas.

Dion menoleh ke Naira, bertanya apakah mereka harus menjawab atau tidak.

Namun sebelum Naira bisa memberikan jawaban, pria itu kembali berbicara.

“Aku tahu kalian ada di dalam. Kalian teman Raka, kan?”

Naira dan Dion sama-sama terkejut.

Dion membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat pria itu lebih jelas.

Ia adalah pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan jas hitam seperti yang digambarkan wanita tua tadi. Wajahnya serius, tapi tidak menunjukkan ekspresi bermusuhan.

“Siapa Anda?” tanya Dion, suaranya waspada.

Pria itu menghela napas. “Namaku Adrian. Aku teman lama Raka. Dan aku tahu bahwa kalian sedang mencari jawaban.”

Naira dan Dion bertukar pandang.

“Jika kalian ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita harus bicara,” lanjut Adrian. “Tapi tidak di sini.”

Naira merasakan firasatnya semakin tidak enak.

Namun, jika pria ini benar-benar mengenal Raka, mungkin dia bisa memberikan jawaban yang selama ini mereka cari.

Naira mengangguk pelan. “Baiklah. Kita bicara di tempat lain.”

Adrian tersenyum tipis. “Bagus. Ada banyak hal yang harus kalian ketahui.”

Naira menelan ludah.

Ia tidak tahu apakah ia siap mendengar kebenarannya.

Tapi ia tahu satu hal—ini adalah satu langkah lebih dekat untuk mengungkap misteri kematian Raka.

Bab 7: Antara Cinta dan Takdir

Mereka bertiga duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang dipilih Adrian untuk berbicara. Suasana di luar mulai gelap, hanya lampu jalan yang menerangi malam. Naira menatap pria di depannya dengan sorot mata penuh kewaspadaan.

Adrian terlihat tenang, meski ada sesuatu di matanya yang menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada yang ingin ia tunjukkan. Dion duduk di samping Naira, menjaga sikapnya tetap waspada.

“Katakan,” ujar Naira akhirnya. “Apa hubunganmu dengan Raka?”

Adrian menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku kenal Raka sejak lama. Kami dulu bekerja sama, dalam sesuatu yang… rumit.”

“Rumit seperti apa?” tanya Dion, nadanya curiga.

Adrian menatap mereka sejenak sebelum berkata, “Raka tidak hanya pria biasa yang kamu kenal. Dia pernah terlibat dalam urusan bisnis yang gelap. Tidak ilegal, tapi penuh risiko. Itu alasan dia menyewa apartemen kecil itu.”

Hati Naira mencelos.

“Urusan bisnis?” ulang Naira, suaranya bergetar. “Raka tidak pernah cerita soal ini.”

“Tentu saja tidak,” jawab Adrian. “Dia ingin melindungimu dari apa pun yang berhubungan dengan masa lalunya. Tapi yang dia tidak sadari adalah bahwa masa lalunya tidak pernah benar-benar pergi.”

Naira merasakan dadanya semakin sesak. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa Adrian salah. Namun, ia tidak bisa mengabaikan surat-surat Raka dan perasaan tidak tenang yang selama ini menghantui hatinya.

“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” tanya Naira, berusaha mengendalikan emosinya.

Adrian menatapnya dengan serius. “Raka terjebak di antara dua pilihan. Dia ingin melepaskan diri dari masa lalunya, tapi di saat yang sama, ada orang-orang yang tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja.”

“Siapa orang-orang itu?” tanya Dion tajam.

Adrian menggeleng pelan. “Aku tidak tahu nama mereka. Yang aku tahu, mereka adalah orang-orang berpengaruh yang merasa bahwa Raka tahu terlalu banyak. Mereka mengawasinya selama berbulan-bulan sebelum kecelakaan itu terjadi.”

Naira merasa seluruh tubuhnya melemah. Jadi, kecelakaan Raka memang bukan kecelakaan biasa?

“Apakah mereka… yang menyebabkan kecelakaannya?” tanya Naira, suaranya nyaris berbisik.

Adrian tidak langsung menjawab. Wajahnya berubah serius. “Aku tidak bisa memastikan. Tapi aku tahu satu hal: Raka tahu bahwa dia dalam bahaya. Itu sebabnya dia mulai menulis surat-surat itu. Dia ingin memastikan bahwa kamu mendapatkan jawabannya, bahkan jika dia tidak bisa memberikannya secara langsung.”

Naira menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. Raka mencoba melindunginya, tapi dengan cara yang membuatnya kehilangan kesempatan untuk memahami pria yang ia cintai sepenuhnya.

“Aku menemukan ini di apartemennya,” kata Naira, mengeluarkan kunci kecil berwarna perak dari sakunya. “Apa kamu tahu ini untuk apa?”

Adrian menatap kunci itu dengan alis terangkat. “Aku tidak yakin, tapi… Raka memiliki kotak penyimpanan di sebuah tempat. Mungkin itu kuncinya.”

“Kotak penyimpanan?” Dion mengulang.

Adrian mengangguk. “Dia pernah menyebutnya. Sebuah kotak yang ia gunakan untuk menyimpan sesuatu yang sangat penting. Aku tidak tahu apa isinya, tapi dia mengatakan bahwa jika sesuatu terjadi padanya, kotak itu adalah jawabannya.”

Naira menggenggam kunci itu lebih erat. Jika kotak itu adalah jawabannya, maka ia harus menemukannya.

“Di mana kotak itu?” tanya Naira.

Adrian berpikir sejenak. “Dia pernah menyebut sebuah bank kecil di pusat kota. Aku tidak tahu persis bank mana, tapi aku bisa membantumu mencarinya.”

Naira mengangguk pelan.

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara keras terdengar dari luar kafe.

BRAK!

Mereka semua menoleh ke arah jendela. Sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depan kafe. Dua pria berbadan besar keluar dari mobil, mengenakan pakaian serba hitam, tatapan mereka langsung mengarah ke dalam kafe.

Adrian langsung menegang. “Kita harus pergi. Sekarang.”

“Siapa mereka?” tanya Dion, panik.

Adrian berdiri, wajahnya penuh kekhawatiran. “Orang-orang yang tidak ingin kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Naira menahan napas. Hatinya berdebar kencang.

“Ikut aku,” ujar Adrian cepat.

Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga segera meninggalkan kafe melalui pintu belakang. Suasana mencekam, langkah kaki mereka terdengar tergesa-gesa di jalan kecil di belakang bangunan.

Saat mereka akhirnya sampai di sebuah gang sempit, Adrian berhenti dan menatap Naira.

“Ini lebih besar dari yang kamu kira,” katanya pelan. “Dan jika kamu ingin melanjutkan, kamu harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.”

Naira mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi keraguan dan ketakutan.

Namun satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan berhenti sampai kebenaran tentang Raka terungkap.

Bab 8: Rahasia di Balik Kecelakaan Itu

Naira berlari secepat yang ia bisa, mengikuti langkah Adrian dan Dion melewati gang sempit di belakang kafe. Nafasnya tersengal, tapi ketakutannya lebih besar daripada kelelahan yang ia rasakan. Suara langkah kaki terdengar semakin dekat di belakang mereka.

“Kita harus bersembunyi,” ujar Adrian, menarik Naira dan Dion masuk ke sebuah lorong gelap di antara dua bangunan.

Mereka menahan napas saat dua pria berbadan besar yang keluar dari mobil hitam tadi melintasi gang, mencari-cari mereka.

“Dua orang. Mereka bersenjata,” bisik Dion pelan.

Naira menggenggam kunci kecil di sakunya lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba-tiba mereka dikejar oleh orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal?

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, pria-pria itu akhirnya pergi.

“Kita harus segera keluar dari sini,” kata Adrian, suaranya lebih tegas. “Aku tahu tempat aman untuk sementara waktu.”

Mereka akhirnya bergerak menuju sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, tempat yang Adrian sebut sebagai safe house—tempat perlindungan bagi orang-orang yang sedang dalam bahaya.

Apartemen itu sederhana, hanya ada sofa tua, meja kecil, dan sebuah televisi tua di sudut ruangan. Adrian memastikan pintu terkunci rapat sebelum duduk di kursi kayu, menatap Naira dan Dion dengan ekspresi serius.

“Aku rasa sekarang waktunya untuk menceritakan semuanya,” kata Adrian.

Naira menatapnya tajam. “Katakan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raka.”

Adrian menghela napas sebelum berbicara. “Raka dan aku dulu bekerja di sebuah perusahaan konsultan investasi. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi. Perusahaan itu sebenarnya menjadi perantara bagi bisnis ilegal.”

Naira menegang. “Bisnis ilegal seperti apa?”

“Korupsi, pencucian uang, dan transaksi rahasia yang melibatkan orang-orang berpengaruh,” jawab Adrian. “Pada awalnya, Raka hanya seorang analis biasa. Tapi saat dia mulai menggali lebih dalam, dia menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui.”

Dion mengernyit. “Maksudmu, dia menemukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri?”

Adrian mengangguk. “Ya. Dia menemukan dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa perusahaan itu menggelapkan dana besar dari proyek-proyek pemerintah. Lebih buruknya lagi, dia menemukan bahwa beberapa orang penting di balik skandal ini adalah orang-orang yang memiliki koneksi kuat dengan pejabat dan pihak berwenang.”

Naira merasakan dadanya semakin sesak.

“Jadi, mereka membunuhnya?” bisiknya, hampir tidak bisa mengeluarkan suara.

Adrian menatapnya lama sebelum menjawab, “Aku tidak punya bukti. Tapi aku yakin kecelakaan Raka bukanlah kecelakaan biasa.”

Naira menundukkan kepalanya. Tangannya gemetar.

“Apa ini alasan dia menulis surat-surat itu?” tanyanya pelan.

“Ya,” jawab Adrian. “Dia tahu dia dalam bahaya. Tapi dia juga tahu bahwa jika dia tidak bisa mengungkapkan kebenaran sendiri, dia harus memastikan seseorang bisa melanjutkannya.”

Naira menelan ludah. “Apa ada yang tahu tentang dokumen-dokumen itu?”

Adrian mengangguk. “Itulah yang kita cari. Aku yakin kotak penyimpanan yang disebutkan Raka dalam suratnya berisi bukti yang bisa mengungkap semuanya.”

Naira mengeluarkan kunci kecil berwarna perak dari sakunya. “Jadi ini…”

Adrian menatap kunci itu dengan serius. “Ya. Aku rasa itu kunci untuk membuka kotak penyimpanan yang berisi semua bukti yang Raka simpan.”

Dion menatap Adrian curiga. “Lalu kenapa kita harus percaya padamu? Bisa saja kamu bagian dari mereka.”

Adrian menghela napas. “Aku juga ingin tahu kebenarannya, Dion. Raka adalah sahabatku. Dia mempercayaiku. Dan aku berhutang padanya untuk memastikan bahwa keadilan bisa ditegakkan.”

Naira menatap kunci di tangannya.

Jika ini benar, maka kotak penyimpanan itu bisa menjadi satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku ingin menemukan kotak itu,” kata Naira tegas.

Adrian mengangguk. “Aku bisa membantu. Tapi kita harus berhati-hati. Mereka pasti sedang mengawasi kita.”

Dion masih tampak ragu, tapi akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi kita harus bergerak cepat sebelum mereka menyadari apa yang kita lakukan.”

Naira menggenggam kunci itu erat.

Apapun yang terjadi, ia akan menemukan kebenaran tentang kematian Raka.

Bab 9: Kepergian yang Terlambat

Langit masih gelap ketika Naira, Dion, dan Adrian bergerak menuju pusat kota. Mereka bertiga duduk di dalam mobil Adrian, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Perjalanan mereka menuju bank kecil yang disebut Adrian terasa begitu panjang, meskipun waktu baru menunjukkan pukul lima pagi.

Naira menggenggam kunci kecil di sakunya, jari-jarinya berkeringat. Jika kotak penyimpanan itu benar-benar berisi dokumen-dokumen penting yang Raka simpan, maka ini adalah kunci utama untuk mengungkap kebenaran tentang kecelakaannya.

Namun, dalam benaknya masih ada satu pertanyaan besar mengapa Raka tidak pernah memberitahunya?

Seberapa besar bahaya yang ia hadapi hingga ia lebih memilih menyimpan rahasia ini sendirian?

Dion, yang duduk di kursi belakang, akhirnya membuka suara. “Jadi, apa rencananya? Kita masuk ke bank dan membuka kotak itu begitu saja?”

Adrian mengangguk. “Ya, selama tidak ada yang mencurigai kita. Aku sudah mencari tahu, bank ini memiliki sistem penyimpanan pribadi yang tidak terlalu ketat. Kita hanya butuh kunci dan identifikasi dari orang yang bersangkutan.”

Naira menatap Adrian. “Tapi Raka sudah tidak ada. Bagaimana kita bisa membukanya tanpa identifikasinya?”

Adrian tersenyum tipis. “Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk itu.”

Dion mengernyit. “Jangan bilang kamu punya identitas palsu?”

Adrian tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sambil terus menyetir.

Sesampainya di bank, mereka bertiga turun dengan hati-hati. Bank itu masih sepi karena baru akan buka dalam waktu beberapa menit.

Naira berdiri di depan pintu kaca, melihat ke dalam. Tempat ini terlihat seperti bank kecil biasa—ruang tunggu sederhana, beberapa teller di balik kaca, dan sebuah lorong menuju ruang penyimpanan pribadi.

“Baiklah, kita masuk,” kata Adrian.

Begitu mereka melewati pintu dan berjalan ke bagian penyimpanan pribadi, seorang pegawai wanita menyapa mereka.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”

Adrian maju selangkah. “Kami ingin membuka kotak penyimpanan atas nama Raka Pratama.”

Pegawai itu mengetik sesuatu di komputernya. “Mohon maaf, apakah Anda yang bersangkutan?”

Adrian mengangguk dan menyerahkan sebuah kartu identitas—sesuatu yang jelas bukan miliknya, melainkan identitas palsu atas nama Raka.

Pegawai itu melihatnya sekilas, lalu memeriksa di sistem. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Baik. Silakan ikuti saya.”

Naira menahan napas saat mereka berjalan menuju lorong kecil di belakang bank, di mana terdapat ruang penyimpanan dengan deretan kotak kecil berjejer di sepanjang dinding.

Pegawai itu berhenti di depan sebuah kotak dengan nomor A-17. “Silakan, Anda bisa membukanya sendiri.”

Naira meraih kunci dari sakunya dan, dengan tangan gemetar, memasukkannya ke dalam lubang kunci. Dengan satu putaran kecil, kotak itu terbuka.

Di dalamnya, ada sebuah amplop tebal dan sebuah USB drive.

Dada Naira berdebar keras saat ia mengeluarkan isinya. Amplop itu berisi beberapa lembar dokumen dengan stempel resmi.

Adrian membukanya cepat. Matanya menyipit saat membaca isinya. “Ini dia…”

Dion mendekat, ikut membaca. “Ini laporan keuangan? Tunggu… ada tanda tangan beberapa pejabat besar di sini.”

Naira menatap kertas-kertas itu, hatinya mulai memahami apa yang terjadi.

Raka memiliki bukti keterlibatan orang-orang berpengaruh dalam skandal pencucian uang besar.

Dan karena itu, dia dibunuh.

Mereka keluar dari bank dengan ekspresi penuh beban. Di dalam mobil, Naira menatap amplop di tangannya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya pelan.

Adrian menghela napas. “Kita harus mencari cara untuk mempublikasikannya. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan kita tidak sedang diawasi.”

Dion menoleh ke kaca spion. “Aku tidak yakin soal itu.”

Naira mengikuti arah pandangnya.

Sebuah mobil hitam sedang mengikuti mereka.

Adrian mempercepat laju mobilnya, mencoba mencari jalan keluar. Namun, mobil hitam itu tetap mengikuti mereka dengan ketat.

“Dion, cek dokumen-dokumen itu! Pastikan kita punya bukti yang cukup!” ujar Adrian sambil menyetir dengan kecepatan tinggi.

Dion membuka amplop itu lebih dalam dan menemukan sesuatu yang lain—sebuah catatan tulisan tangan dari Raka.

“Ada surat dari Raka!” serunya.

Naira menatapnya, perasaannya berkecamuk. “Apa isinya?”

Dion membaca keras-keras:

Jika kamu menemukan ini, berarti aku sudah tidak ada. Aku tahu aku seharusnya mengatakan semuanya lebih awal, tapi aku tidak ingin kamu terseret dalam bahaya ini.
Aku ingin memperbaiki semuanya, tapi aku terlalu takut. Maafkan aku, Naira.
Aku hanya ingin kamu tahu… bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu.

Air mata Naira jatuh tanpa ia sadari.

Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara klakson keras terdengar.

Mobil hitam itu semakin mendekat.

Adrian menggeram. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi dengan bukti ini.”

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar.

DOR!

Dion menunduk

Bab 10: Aku, Dia, dan Surat-Surat Tak Terkirim

DOR!

Suara tembakan menggema di antara deru mobil yang melaju kencang. Naira menahan napas, tubuhnya menegang saat peluru menghantam bagian belakang mobil mereka.

Adrian memacu mobilnya lebih cepat, mencoba keluar dari jalan utama. Dion merunduk di kursi belakang, sementara Naira menggenggam amplop berisi dokumen-dokumen Raka dengan erat.

“Kita harus keluar dari sini!” seru Adrian.

Dion menoleh ke belakang. Mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat, jendela pengemudinya terbuka sedikit, ujung pistol mengintai keluar.

“Sial!” Dion menggeram. “Mereka mau menembak lagi!”

Adrian membanting setir ke kanan, memasuki gang sempit di antara gedung-gedung tua. Mobil hampir tergelincir, tapi ia berhasil mengendalikan kemudi.

“Kita gak bisa lari selamanya!” ujar Naira panik.

“Kita gak perlu lari,” balas Adrian tajam. “Kita hanya butuh waktu!”

Mobil hitam itu tetap mengejar, tapi jalannya yang sempit membuatnya sedikit melambat. Adrian memanfaatkan kesempatan itu untuk berbelok tajam ke sebuah lorong kecil yang hanya bisa dilalui oleh mobil mereka.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, suara mobil hitam menghilang.

Mereka akhirnya berhenti di sebuah area parkir kosong di belakang gudang tua. Nafas mereka masih memburu, tubuh mereka masih gemetar karena adrenalin.

Dion menatap Naira dengan ekspresi serius. “Kita gak bisa menyimpan ini lebih lama. Kita harus mengungkap semuanya sekarang juga.”

Naira menatap amplop di tangannya, hatinya masih diliputi ketakutan. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu Dion benar.

Mereka bertiga berkumpul di sebuah kamar motel kecil, tempat yang cukup aman untuk sementara.

Adrian duduk di depan laptop, menghubungkan USB yang mereka temukan di kotak penyimpanan Raka. Sejumlah file muncul di layar—dokumen transaksi, rekaman percakapan, dan bahkan video pengakuan seseorang yang tampaknya adalah mantan rekan bisnis Raka.

“Ini lebih besar dari yang aku kira,” gumam Adrian. “Jika ini bocor ke publik, orang-orang yang bertanggung jawab pasti akan panik.”

Naira menatap layar dengan hati berdebar. “Kita harus menyebarkan ini ke media. Kita butuh jurnalis yang bisa dipercaya.”

Dion mengangguk. “Aku kenal seseorang.”

Mereka segera menghubungi seorang jurnalis investigasi dari media independen. Begitu bukti-bukti itu dikirimkan, semuanya mulai bergerak dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, berita tentang skandal besar yang melibatkan perusahaan tempat Raka dulu bekerja tersebar luas. Nama-nama besar mulai muncul, dan pihak berwenang akhirnya tidak bisa mengabaikan bukti yang telah disebarkan.

Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Naira.

Satu Minggu Kemudian

Naira duduk di bangku taman, menggenggam surat terakhir dari Raka. Angin malam berhembus pelan, membawa perasaan nostalgia yang menyakitkan.

Ia membaca surat itu lagi, kata demi kata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan.

Jika sesuatu terjadi padaku, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah menyesali satu pun momen yang kita lalui bersama.
Aku mungkin telah menyembunyikan banyak hal, tapi satu hal yang selalu benar adalah cintaku padamu.
Aku ingin kita punya masa depan bersama. Tapi jika takdir berkata lain, aku hanya berharap kamu tidak terus terjebak dalam masa lalu.
Jangan terlalu lama menangis untukku, Naira. Hidupmu masih panjang.
Aku mencintaimu. Selalu.

Air mata mengalir pelan di pipinya.

Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Naira merasa benar-benar mengerti.

Raka tidak pernah ingin ia terjebak dalam misteri ini. Raka ingin ia bahagia.

Tapi sekarang, setelah semuanya terungkap, setelah semua rahasia terbuka, Naira menyadari bahwa bagian dari dirinya akan selalu merindukan pria itu.

Ia menutup surat itu perlahan, lalu menghela napas panjang.

“Aku akan mencoba, Raka,” bisiknya. “Aku akan mencoba untuk hidup tanpa terus melihat ke belakang.”

Di kejauhan, matahari mulai terbenam, menyinari dunia dengan cahaya oranye keemasan.

Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Raka, Naira merasa hatinya mulai menerima kenyataan.

Ia akan selalu mengingatnya.

Tapi kini, ia siap melanjutkan hidupnya.

Tamat.. “

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *