Adrian, seorang pelaut muda yang bekerja sebagai navigator kapal dagang , menemukan seorang wanita misterius dengan rambut perak terapung di tengah badai laut. Wanita itu, yang kemudian ia memanggil Luna , kehilangan dan mengingatnya. Seiring waktu, Adrian menyadari bahwa Luna bukan manusia biasa—dia adalah putri dari kerajaan bawah laut yang sedang melarikan diri dari takdirnya.
Ketika Sang Ratu Laut datang untuk membawa kembali, Luna harus membuat pilihan sulit: kembali ke laut dan melupakan segalanya, atau tetap di dunia manusia dengan konsekuensi besar . Di tengah konflik antara dua dunia dan ancaman yang mengintai, Adrian dan Luna harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka mungkin tidak cukup untuk melawan takdir.
Bab 1: Ombak yang Membawa Takdir
Hujan turun deras malam itu, menyelimuti samudra dalam selubung gelap yang mencekam. Ombak bergulung-gulung, menghempaskan kapal-kapal kecil yang berusaha bertahan dari amukan laut. Angin kencang merobek layar, membuat para pelaut berjuang mati-matian agar tidak terbalik.
Di antara mereka, seorang pemuda bernama Adrian menggenggam erat kemudi kapalnya. Tubuhnya basah kuyup, tetapi tatapan matanya tajam, penuh determinasi. Dia sudah terbiasa menghadapi badai, namun kali ini, ombak terasa lebih buas dari biasanya—seolah lautan sedang murka.
Tiba-tiba, kilat menyambar langit, memperlihatkan sekilas pemandangan yang membuat Adrian menahan napas. Di antara ombak yang menggulung, dia melihat sesuatu terombang-ambing di permukaan air. Seseorang.
Adrian memicingkan mata. Itu bukan perahu atau puing kapal—itu tubuh manusia!
Tanpa pikir panjang, dia mengikat tali ke tiang kapal dan melompat ke dalam dinghy kecil yang terikat di buritan. Dengan sekuat tenaga, dia mendayung mendekati sosok yang mengapung di air. Ombak berusaha menyeretnya ke dalam kegelapan, tetapi Adrian tidak menyerah. Dengan tangan gemetar karena dingin, dia meraih tubuh tak bernyawa itu dan menariknya ke dalam perahu kecilnya.
Saat wajahnya terlihat di bawah kilatan petir, Adrian menahan napas. Itu seorang wanita—kulitnya pucat, rambut panjangnya yang berwarna perak keemasan basah kuyup, menempel di wajahnya yang tampak seperti porselen.
Adrian mendekatkan telinganya ke dada wanita itu. Jantungnya masih berdetak!
Tanpa membuang waktu, dia segera membawa wanita itu kembali ke kapalnya. Dengan susah payah, dia meletakkan tubuhnya di dek, lalu memeriksa apakah dia masih bernapas.
“Halo? Bisa dengar aku?” tanya Adrian, mengguncang bahunya pelan.
Tidak ada respons. Wanita itu tetap diam, bibirnya sedikit membiru karena kedinginan. Adrian bergegas melepas jaketnya dan menyelimutinya, lalu mencoba menggoyangkan tubuhnya lebih keras.
“Lawan, jangan mati di hadapanku!” desisnya, hampir berteriak.
Tiba-tiba, wanita itu tersedak dan batuk, mengeluarkan air dari mulutnya. Matanya terbuka perlahan—sepasang mata berwarna biru kehijauan yang berkilauan seperti permukaan laut.
Adrian terpaku.
Mata itu… terlalu indah, terlalu asing, dan Adrian sangat terpesona.
Namun, sebelum Adrian sempat bertanya lebih jauh, wanita itu membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar hanya suara serak yang tak jelas.
Dia mencoba lagi, tetapi tetap tidak ada kata yang terdengar.
“Hey, jangan dipaksakan dulu,” ujar Adrian, mencoba menenangkannya. “Kau aman sekarang.”
Wanita itu menatapnya, bibirnya sedikit bergetar. Ada kepanikan dalam matanya, tetapi juga rasa bingung yang mendalam.
Adrian menarik napas panjang. Malam itu, tanpa ia sadari, hidupnya baru saja berubah selamanya.
Bab 2: Misteri Wanita Bisu
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menghangatkan lautan. Kapal kecil Adrian mengayun lembut di permukaan air yang kini jauh lebih tenang setelah badai mengamuk semalaman. Namun, pikirannya masih berputar soal wanita misterius yang ia selamatkan.
Wanita itu duduk di sudut kabin kecilnya, memeluk lutut dengan wajah tertunduk. Dia tidak berbicara sejak semalam—bukan karena tidak mau, tetapi karena tidak bisa. Setiap kali ia mencoba mengeluarkan suara, hanya desahan lemah yang keluar dari bibirnya.
Adrian menuangkan secangkir teh hangat dan menyodorkannya.
“Minumlah. Kau pasti kedinginan.”
Wanita itu menoleh pelan, menatapnya dengan mata biru kehijauan yang terasa begitu asing tetapi sekaligus menenangkan. Dengan ragu, dia meraih cangkir itu dan mendekatkannya ke bibirnya.
Adrian memperhatikannya dengan seksama. Ada sesuatu yang ganjil tentang wanita ini. Kulitnya begitu pucat, hampir seperti mutiara. Rambutnya yang panjang berkilau keperakan saat terkena sinar matahari, berbeda dengan rambut pirang biasa. Dan yang paling membuat Adrian penasaran adalah tatapannya—seolah dia baru pertama kali melihat dunia ini.
“Kau dari mana?” tanya Adrian perlahan.
Wanita itu menatapnya sejenak, lalu menunduk. Jemarinya gemetar, seolah ingin menjawab tetapi tidak tahu caranya.
“Namamu?” Adrian mencoba lagi.
Wanita itu menggigit bibirnya. Sesaat kemudian, dia mengambil sepotong kertas kosong di atas meja dan sebuah pensil, lalu mulai menulis dengan tangan gemetar.
Luna.
“Luna?” ulang Adrian, membaca tulisan itu. Nama yang terdengar lembut dan misterius—sesuai dengan auranya.
Luna mengangguk pelan.
“Baik, Luna,” kata Adrian, bersandar di kursinya. “Aku Adrian. Aku seorang pelaut.”
Luna menatapnya, seolah menyerap informasi itu, lalu kembali menulis sesuatu di kertas. Kali ini, tulisannya sedikit lebih panjang:
Di mana aku?
“Kau di kapalku,” jawab Adrian. “Aku menemukanku terombang-ambing di laut tadi malam. Hampir saja kau tenggelam.”
Luna menggigit bibirnya lagi, ekspresinya terlihat bingung. Seolah ia tidak mengingat bagaimana dirinya bisa ada di tengah badai.
“Kau sendirian di sana?” tanya Adrian lagi.
Luna tampak ragu sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Ada yang bersamamu?”
Dia tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang Adrian terima.
Sejenak, keheningan menyelimuti kabin kecil itu. Adrian menghela napas, mencoba menyusun pertanyaan yang lebih mudah.
“Kau tidak bisa berbicara sejak lahir, atau ini baru terjadi?”
Luna tampak sedikit tegang. Kali ini, dia tidak langsung menulis jawaban, tetapi menatap jari-jarinya yang pucat. Setelah beberapa saat, dia hanya menulis satu kata:
Hilang.
“Hilang?” ulang Adrian, mengerutkan kening. “Maksudmu, suaramu tiba-tiba menghilang?”
Luna mengangguk.
Adrian semakin bingung. Apakah ini akibat trauma? Atau ada alasan lain yang lebih misterius?
Saat dia tengah berpikir, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar kapal—bunyi air yang bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang berenang di sekitar kapal.
Adrian menoleh ke jendela.
Air laut tampak jernih, tetapi dia merasa ada sesuatu di bawah sana.
Ketika ia kembali menatap Luna, ia melihat ekspresi gadis itu berubah. Ketakutan.
“Luna?” panggil Adrian, tetapi wanita itu menggenggam erat bajunya, matanya terbelalak seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Saat itulah Adrian menyadari satu hal:
Luna tidak hanya sekadar kehilangan suara. Dia juga menyimpan rahasia yang jauh lebih besar dari yang bisa Adrian bayangkan.
Bab 3: Suara yang Hilang
Malam turun dengan cepat di lautan, membawa serta angin lembut yang berhembus melewati layar kapal. Suara deburan ombak terdengar menenangkan, tetapi tidak bagi Adrian. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban.
Di depannya, Luna duduk diam di tepi kapal, menatap lautan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Cahaya bulan memantulkan warna keperakan di rambutnya yang basah, membuatnya tampak semakin misterius.
Adrian mengamati wanita itu dalam diam. Ada sesuatu yang aneh tentangnya—bukan hanya karena dia ditemukan di tengah badai, atau karena dia tidak bisa berbicara, tapi karena setiap gerak-geriknya terasa tidak biasa.
“Luna,” panggilnya pelan.
Luna menoleh, matanya berkilauan dalam cahaya remang.
“Aku tidak ingin menekanmu,” lanjut Adrian. “Tapi aku butuh jawaban. Bagaimana kau bisa terdampar di laut? Dan kenapa kau kehilangan suaramu?”
Luna menatapnya sejenak sebelum menunduk, jari-jarinya yang ramping mencengkeram ujung rok panjang yang masih sedikit basah. Setelah beberapa saat, dia meraih buku catatan yang telah Adrian siapkan untuknya dan mulai menulis.
Aku tidak ingat semuanya. Tapi aku tahu sesuatu telah diambil dariku.
Alis Adrian berkerut saat membaca tulisan itu.
“Apa maksudmu?” tanyanya, bingung.
Luna menggigit bibirnya, lalu kembali menulis:
Suara itu… bukan hanya hilang. Aku merasa ada yang mencurinya.
Adrian menatapnya lekat-lekat, mencoba memahami kata-kata itu.
“Mencuri suara?” ulangnya dengan nada ragu. “Bagaimana bisa seseorang mencuri suara seseorang?”
Luna tidak menjawab. Dia hanya menatap lautan, ekspresinya semakin kelam.
Adrian menghela napas. Mungkin wanita ini mengalami trauma yang sangat besar hingga sulit mengingat kejadian yang sebenarnya. Atau mungkin… memang ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.
Suara air kembali terdengar di sekitar kapal, samar tapi jelas. Adrian menajamkan telinganya. Bukan suara ombak biasa—lebih seperti sesuatu yang bergerak di bawah permukaan laut.
Dengan cepat, dia berdiri dan menatap air di bawahnya. Bulan menerangi permukaan laut yang tenang, tetapi ada bayangan besar yang melintas di bawah kapal.
“Luna, kau melihat itu?” bisiknya.
Luna menegang. Dia tidak menoleh, tetapi tubuhnya sedikit bergetar.
Adrian menunggu beberapa saat, tapi bayangan itu sudah menghilang.
“Luna,” panggilnya lagi. “Kau tahu sesuatu, kan?”
Luna tetap diam. Tetapi kali ini, dia menggenggam tangan Adrian—erat, seolah ingin menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata.
Untuk sesaat, Adrian bisa merasakan ketakutannya.
Dan dia tahu, malam ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Bab 4: Rahasia di Bawah Laut
Malam itu, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Langit gelap tanpa bintang, hanya bulan pucat yang menggantung sendirian di langit. Adrian masih terjaga, duduk di buritan kapal sambil memperbaiki tali layar yang sempat rusak akibat badai semalam. Tapi pikirannya terus melayang pada Luna.
Sejak dia menyelamatkannya, banyak hal aneh terjadi. Wanita itu muncul begitu saja di tengah badai, kehilangan suaranya secara misterius, dan lebih aneh lagi—seakan takut pada lautan. Bagaimana mungkin seseorang yang ditemukan di tengah laut justru tampak begitu ketakutan setiap kali menatap air?
Adrian melirik ke arah Luna yang duduk di ujung kapal, memeluk lututnya sambil menatap lautan yang bergelombang lembut. Cahaya bulan menerpa wajahnya, membuatnya tampak seperti sosok dari dunia lain.
“Luna,” panggil Adrian pelan.
Luna menoleh, mata birunya berkilauan seperti permukaan laut.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
Luna menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya mengambil buku catatannya dan mulai menulis. Tangannya sedikit gemetar, seolah-olah kata-kata yang akan dituliskannya terlalu berat untuk diungkapkan. Setelah selesai, dia menyerahkan buku itu kepada Adrian.
Aku berasal dari laut.
Adrian mengerutkan kening. Dia membaca tulisan itu berulang kali, memastikan bahwa dia tidak salah baca.
“Kau bercanda?” tanyanya, setengah tidak percaya.
Luna menggeleng pelan, lalu menuliskan sesuatu lagi.
Aku tidak bisa kembali. Ada sesuatu yang hilang dariku.
Adrian menatapnya tajam. “Kau bilang suaramu dicuri. Apakah itu yang membuatmu tidak bisa kembali?”
Luna menatapnya dengan ekspresi sedih, lalu mengangguk pelan.
Saat itu juga, suara gemuruh terdengar dari bawah kapal. Adrian refleks berdiri, matanya menyapu sekeliling, mencari sumber suara. Air laut mulai beriak, seolah ada sesuatu yang besar bergerak di bawahnya.
“Luna, apa itu?” tanyanya, suara sedikit tegang.
Luna meremas jemarinya, lalu berdiri perlahan. Tatapannya berkabut, seakan menyadari sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, sebuah cahaya biru berpendar dari dalam laut.
Adrian membelalakkan mata. Dari kedalaman, sesuatu naik ke permukaan—sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia manusia.
Sosok makhluk laut dengan tubuh berkilauan muncul dari dalam air.
Makhluk itu memiliki mata tajam dan tubuh yang bersinar kehijauan. Sisik peraknya berkilauan di bawah cahaya bulan, dan rambutnya yang panjang melayang di air seperti alga.
Adrian menahan napas. “Apa… itu?”
Luna tampak semakin ketakutan. Dia berpegangan erat pada pagar kapal, matanya penuh kepanikan.
Makhluk itu mengangkat tangannya dan, seolah berbicara tanpa suara, menatap Luna dengan ekspresi tajam.
“Kau seharusnya tidak ada di sini.”
Kata-kata itu tidak terdengar, tetapi Adrian bisa merasakannya—seperti bergema langsung di dalam pikirannya.
Luna menggigit bibirnya, lalu berlari ke arah Adrian dan menuliskan sesuatu dengan cepat di bukunya.
Adrian membacanya dan jantungnya berdegup kencang.
“Mereka datang untuk membawaku kembali. Tapi jika aku pergi, aku tidak akan pernah mengingat dunia ini lagi.”
Adrian menatap Luna, lalu ke arah makhluk laut yang kini semakin mendekat.
Dia menyadari bahwa malam ini, dia harus membuat keputusan—membiarkan Luna kembali ke laut dan kehilangan segalanya, atau melawannya untuk mempertahankan sesuatu yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.
Bab 5: Perasaan yang Tak Terucapkan
Laut berkilauan dengan cahaya biru kehijauan yang berasal dari makhluk laut yang muncul dari kedalaman. Angin malam bertiup lebih dingin, membuat bulu kuduk Adrian meremang. Dia berdiri di antara Luna dan sosok yang kini menatap mereka dengan mata tajam penuh kewaspadaan.
Luna menggenggam lengan Adrian erat, tubuhnya sedikit gemetar. Dia tidak menulis apa pun kali ini, tetapi tatapannya cukup untuk membuat Adrian mengerti: Dia takut.
Makhluk laut itu mendekat, dan tanpa perlu berbicara, suara berbisik terdengar di benak Adrian.
“Putri, kau telah melanggar batas. Kembalilah sebelum semuanya terlambat.”
Adrian menoleh ke arah Luna dengan ekspresi bingung. Putri?
“Luna… apa yang mereka maksud?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.
Luna menunduk, jemarinya mengepal. Dia meraih buku catatannya dan menulis dengan cepat.
“Aku… bukan manusia.”
Adrian menahan napas. Meskipun sejak awal dia merasa ada yang aneh, dia tidak pernah berpikir bahwa Luna bukan berasal dari dunia manusia.
Luna menulis lagi, lebih cepat kali ini, seolah ingin menyampaikan semuanya sebelum terlambat.
“Aku adalah putri dari kerajaan laut. Aku datang ke daratan demi mencari sesuatu yang hilang. Tapi… aku kehilangan suaraku, dan sekarang mereka ingin membawaku kembali.”
Adrian membaca kata-kata itu dengan hati yang berdegup kencang.
“Lalu apa yang terjadi jika kau kembali?” tanyanya.
Luna menggigit bibirnya, lalu dengan tangan gemetar, menulis sesuatu yang membuat Adrian merasakan ketakutan yang sama seperti yang dirasakan Luna.
“Jika aku kembali, aku akan melupakan semuanya. Aku tidak akan mengingat dunia manusia… termasuk kau.”
Adrian membeku. Kata-kata itu menembus dadanya lebih dalam daripada gelombang ombak yang pernah menerjang kapalnya.
“Jadi, kau akan kehilangan segalanya?” suaranya bergetar.
Luna mengangguk perlahan.
Makhluk laut itu kembali berbicara dalam pikirannya.
“Waktunya hampir habis. Jika dia tidak kembali sekarang, dia akan terperangkap di dunia manusia selamanya, tanpa bisa kembali menjadi dirinya yang sebenarnya.”
Adrian mengepalkan tangannya. Hatinya berteriak menolak.
Dia tahu mereka baru bertemu, tetapi perasaan aneh yang berkembang dalam dirinya terlalu nyata untuk diabaikan. Sejak dia menemukan Luna, dunianya berubah. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin melindunginya, ingin menjaganya dari apa pun yang ingin memisahkan mereka.
Dia menatap Luna dalam-dalam.
“Kau ingin kembali?” tanyanya pelan.
Luna terdiam. Tatapan matanya dipenuhi kebingungan, seolah dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Untuk pertama kalinya, Adrian melihat ketakutan yang lebih dalam dari sekadar kehilangan suara—ketakutan akan kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
Adrian mengambil langkah maju, berdiri di antara Luna dan makhluk laut itu.
“Tidak. Dia tidak akan pergi.”
Makhluk laut itu tampak terkejut, lalu mengerutkan kening. “Manusia, ini bukan urusanmu.”
“Tapi ini urusan Luna,” balas Adrian tegas. “Biarkan dia memilih sendiri.”
Luna terkejut mendengar kata-kata itu. Matanya membesar, dan sejenak, dia menatap Adrian dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Makhluk laut itu mendengus. “Dia telah memilih sejak lahir. Dia bukan milik duniamu.”
“Tapi dia juga bukan milik kalian. Jika dia ingin tetap di sini, biarkan dia tinggal.”
Luna tampak semakin bimbang. Dia menatap ke laut, lalu ke Adrian. Ada pertempuran dalam dirinya—sebuah pertarungan antara dunianya yang lama dan sesuatu yang baru yang mulai ia rasakan di dunia manusia.
Makhluk laut itu menatapnya tajam. “Putri, kau tahu apa konsekuensinya.”
Luna menunduk, lalu dengan hati-hati, dia menulis satu kalimat terakhir di buku catatan itu.
“Aku tidak tahu apakah aku ingin kembali… atau tetap di sini. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin memilih sendiri.”
Adrian menatap tulisan itu dengan perasaan yang campur aduk. Dia tahu apa pun pilihan Luna, itu akan mengubah segalanya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia takut kehilangan seseorang yang baru saja masuk ke dalam dunianya.
Bab 6: Ultimatum Sang Ratu Laut
Angin laut bertiup lebih kencang, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ombak di sekitar kapal Adrian mulai beriak tak wajar, seolah ada sesuatu yang sedang bangkit dari dasar laut.
Luna masih berdiri di sampingnya, memeluk erat buku catatannya, sementara makhluk laut yang tadi muncul semakin mendekat. Tapi sebelum ada yang sempat berbicara, sesuatu terjadi—
Permukaan laut mulai bercahaya.
Cahaya biru keemasan berpendar dari dalam laut, membentuk siluet besar yang perlahan muncul ke permukaan. Adrian terkejut saat melihat sesosok wanita tinggi dan anggun melayang di atas air, jubah transparannya berkilauan seperti sisik ikan, rambut panjangnya melayang seperti ombak yang bergerak lembut.
Matanya tajam, penuh wibawa, dan begitu mirip dengan mata Luna.
Luna menegang, matanya membesar. Adrian bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar.
“Ibu…”
Suara lembut bergema di pikirannya. Tidak, bukan hanya di pikirannya—Adrian yakin itu terdengar di seluruh lautan.
Wanita itu menatap Luna dengan ekspresi datar, tetapi ada sorot tajam yang sulit diartikan.
“Luna, kau telah melanggar batas. Aku memberimu kebebasan sesaat, tetapi kau sudah terlalu lama di dunia manusia.”
Adrian menelan ludah. Wanita ini pasti Ratu Laut.
Luna menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata ibunya.
Sang ratu melirik Adrian. Sejenak, Adrian merasa seperti tubuhnya tiba-tiba tenggelam ke dalam lautan yang luas—tatapannya terlalu kuat, terlalu mendominasi.
“Dan kau… manusia. Kau telah mencampuri urusan yang bukan milikmu.”
Adrian mengepalkan tangan, tetapi dia tetap berdiri tegak. “Luna berhak memilih sendiri.”
Sang ratu menatapnya lebih dalam. “Kau tidak mengerti. Jika dia tidak kembali sekarang, dia akan kehilangan semua ingatan tentang lautan. Selamanya.”
Jantung Adrian berdetak kencang. Dia menoleh ke arah Luna yang tampak terpukul.
Luna dengan tangan gemetar mulai menulis sesuatu di bukunya dan memperlihatkannya pada ibunya.
“Aku tidak bisa kembali begitu saja.”
Sang ratu mengangkat alisnya.
“Kau tahu apa konsekuensinya?”
Luna mengangguk pelan.
Sang ratu mendekat. Ombak bergerak seiring langkahnya, seolah air laut adalah bagian dari dirinya.
“Jika kau memilih tinggal di dunia manusia, kau akan kehilangan suaramu… dan juga kenanganmu tentang lautan, keluarga, dan siapa dirimu sebenarnya. Kau akan menjadi manusia biasa. Tidak akan ada jalan untuk kembali.”
Luna menahan napas. Matanya bergetar, seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
Adrian menatapnya, hatinya mencelos. “Luna…”
Luna menoleh ke arah Adrian, dan tanpa perlu kata-kata, Adrian bisa merasakan pergolakan batinnya.
Jika Luna pergi, Adrian akan kehilangannya selamanya. Tapi jika dia tetap di sini, dia akan kehilangan jati dirinya.
Sang ratu menatap putrinya dengan dingin. “Pilih sekarang, Luna. Kembalilah ke laut dan biarkan dunia manusia menjadi kenangan… atau tetaplah di sini dan lupakan siapa dirimu.”
Adrian ingin mengatakan sesuatu, ingin menghentikan semua ini, tetapi ini bukan keputusannya. Hanya Luna yang bisa memilih.
Luna menutup matanya. Jemarinya mengepal erat buku catatannya.
Dan kemudian, dengan tangan gemetar, dia mulai menulis…
Keputusan yang akan mengubah segalanya.
Bab 7: Perpisahan yang Menyakitkan
Luna menatap buku catatannya, jemarinya gemetar saat pensil menyentuh kertas. Pilihan di hadapannya begitu besar—kembali ke laut dan melupakan dunia manusia, atau tetap di sini dan kehilangan jati dirinya selamanya.
Adrian menahan napas, menunggu. Angin laut bertiup kencang, membawa suara deburan ombak yang semakin kuat. Sang ratu masih berdiri di atas air, menunggu keputusan putrinya dengan ekspresi tak terbaca.
Akhirnya, Luna menuliskan sesuatu dan menunjukkan buku itu pada ibunya.
“Aku ingin tetap di sini.”
Adrian hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Hatinya berdegup kencang.
Sang ratu menatap tulisan itu dalam diam. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin.
“Luna, kau tahu ini bukan hanya tentang dirimu.”
Luna menggigit bibirnya, lalu menulis lagi.
“Aku tahu… tapi aku merasa ada sesuatu yang harus aku temukan di sini. Aku tidak bisa kembali tanpa mengetahui alasan mengapa aku merasa dunia manusia begitu penting bagiku.”
Sang ratu menutup matanya sesaat, lalu mendekati Luna dengan langkah ringan di atas air. Tangannya terulur ke arah wajah putrinya, seolah ingin menghafal setiap detailnya sebelum segalanya berubah.
“Jika itu keputusanmu, maka biarlah takdir yang menyelesaikan sisanya.”
Kemudian, dengan suara yang bergetar lembut namun penuh kuasa, sang ratu berbisik:
“Maka laut akan melupakanmu… dan kau akan melupakan laut.”
Saat itu juga, cahaya biru yang mengelilingi sang ratu mulai meredup. Ombak yang tadi bergelombang tenang seketika menggila, seolah lautan sendiri sedang menangis.
Luna tersentak, tubuhnya melemas. Matanya membesar saat cahaya di sekelilingnya mulai menyerap ke dalam dirinya.
Adrian bergerak cepat, menangkap tubuh Luna sebelum dia jatuh ke dek kapal.
“Luna!”
Luna membuka mulutnya, seolah ingin berbicara—tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi:
Matanya perlahan kehilangan kilauan biru lautnya.
Adrian menatapnya dengan panik. “Luna, bertahanlah!”
Namun, Luna hanya menatapnya balik dengan kebingungan. Sekilas, matanya kosong—seperti seseorang yang baru bangun dari tidur panjang tanpa mengingat mimpinya.
Sang ratu menghela napas panjang, lalu berbalik.
“Jagalah dia, manusia. Dia kini sepenuhnya milik duniamu.”
Tanpa menunggu jawaban, sang ratu perlahan tenggelam kembali ke dalam lautan. Ombak yang tadi mengamuk tiba-tiba menjadi tenang, seolah semuanya kembali seperti semula.
Tapi bagi Adrian, tidak ada yang sama lagi.
Dia menatap Luna yang masih ada dalam dekapannya. Gadis itu mengerjap pelan, seolah mencoba memahami apa yang terjadi.
“Luna… apa kau baik-baik saja?” bisik Adrian.
Luna mengerutkan kening, lalu menatapnya dengan bingung.
“Siapa… kau?”
Adrian merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Luna benar-benar melupakan segalanya.
Bukan hanya laut… tapi juga dirinya.
Bab 8: Pengkhianatan di Antara Ombak
Adrian menatap Luna dengan mata yang sulit percaya. Kata-katanya masih menggema di pikirannya—“Siapa… kau?”
Luna benar-benar melupakan segalanya. Bukan hanya laut, tetapi juga dirinya.
Dia mencoba tetap tenang. “Luna… ini aku, Adrian,” ujarnya, berharap ada secercah pengakuan di mata gadis itu.
Namun, Luna hanya menatapnya dengan bingung, seolah dia benar-benar baru pertama kali melihatnya. Adrian merasa dadanya sesak. Apakah ini konsekuensi dari keputusan Luna?
Dia mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa berat. “Tidak apa-apa… kita bisa pelan-pelan memulihkan ingatanmu.”
Luna menunduk, tangannya mencengkeram buku catatannya, tetapi kini dia bahkan tidak tahu untuk apa benda itu.
Beberapa hari berlalu, dan Luna tetap kehilangan semua ingatan tentang kehidupannya di laut. Dia seperti manusia biasa sekarang—tidak ingat siapa dirinya, tidak memiliki ingatan tentang kerajaan bawah laut, dan yang lebih menyakitkan… tidak ingat Adrian.
Namun, Adrian tidak menyerah. Dia berusaha membuat Luna merasa nyaman di kapal, mengajaknya berkeliling, mengenalkan laut padanya lagi—meskipun dia tidak tahu bahwa Luna dulu adalah bagian dari laut itu sendiri.
Tapi ada satu hal yang mengganggunya.
Sejak kejadian itu, dia merasa kapalnya diawasi. Kadang, di malam hari, dia mendengar suara gemericik air yang aneh. Kadang, dia melihat bayangan bergerak di bawah permukaan laut.
Dan kemudian, sesuatu terjadi.
Suatu sore, saat Adrian sedang berada di kabin, dia mendengar suara gaduh dari luar. Dia segera keluar dan mendapati Luna tidak ada.
Jantungnya berdetak kencang.
Dia berlari ke buritan kapal, dan saat itulah dia melihat seorang pria asing berdiri di dek, memegang tangan Luna.
Pria itu tinggi, berambut hitam panjang, dan memiliki mata yang begitu tajam seperti pisau. Dia mengenakan mantel hitam panjang, dan ekspresinya dingin, nyaris mengintimidasi.
Adrian langsung mengenali auranya. Dia bukan manusia.
“Lepaskan dia!” bentak Adrian, bergerak cepat ke arah mereka.
Pria itu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi, manusia.”
Adrian tidak peduli. Dia meraih tangan Luna dan menariknya menjauh dari pria itu. “Siapa kau?”
Pria itu mendekat dengan santai. “Aku adalah seseorang yang sudah lama menunggu saat ini. Kau tidak seharusnya ikut campur, Adrian.”
Adrian terkejut mendengar namanya disebut. “Bagaimana kau tahu namaku?”
Pria itu tersenyum. “Aku tahu banyak hal. Termasuk fakta bahwa Luna… seharusnya tidak ada di dunia ini.”
Adrian mengepalkan tinjunya. “Dia sudah memilih untuk tinggal di sini!”
Pria itu tertawa kecil. “Oh, ya? Tapi apakah dia benar-benar memilih dengan sadar? Atau… kau hanya mengambil keuntungan dari ingatannya yang hilang?”
Adrian terdiam.
Pria itu melangkah mendekati Luna, yang kini tampak kebingungan, seolah dia merasa familiar dengan pria ini tetapi tidak tahu kenapa.
“Luna, tidakkah kau merasa ada sesuatu yang hilang darimu?”
Luna menatap pria itu dengan mata bingung. “Aku… aku tidak tahu.”
Pria itu tersenyum tipis. “Karena mereka mencurimu dari duniamu yang sebenarnya. Tapi aku bisa membantumu mengingat.”
Adrian langsung merasakan firasat buruk.
“Kau mencoba membawanya kembali, bukan?”
Pria itu mengangguk santai. “Tentu saja. Karena Luna adalah kunci yang selama ini dicari.”
Adrian tidak mengerti maksudnya, tetapi dia tidak akan membiarkan pria ini menyentuh Luna.
Tanpa berpikir panjang, dia melayangkan pukulan ke arah pria itu.
Namun, sebelum tinjunya mengenai wajah pria itu, sesuatu yang luar biasa terjadi—
Air laut di sekeliling kapal tiba-tiba naik seperti dinding, lalu menabrak Adrian dengan kekuatan dahsyat.
Adrian terhempas ke dek dengan keras, tubuhnya basah kuyup.
Dia batuk, berusaha bangkit, tetapi pria itu sudah lebih dulu berdiri di depan Luna, menyentuh dahinya dengan jemari pucatnya.
Cahaya biru berpendar di sekeliling mereka.
Luna menegang. Matanya tiba-tiba melebar.
Adrian merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Luna…!”
Namun, gadis itu kini hanya berdiri diam, menatap kosong ke depan.
Pria itu tersenyum puas. “Nah, sekarang kita lihat apakah dia masih ingin tetap di sini.”
Adrian merasa seolah dunia di sekelilingnya mulai runtuh.
Karena Luna… mungkin akan melupakannya lagi.
Bab 9: Harga Sebuah Cinta
Adrian berusaha bangkit dari dek kapal, tubuhnya masih terasa lemah setelah dihantam ombak. Air laut menetes dari rambutnya, tetapi dia tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Luna.
Gadis itu berdiri diam di depan pria asing yang baru saja muncul, tubuhnya seakan membeku, dan matanya yang tadi dipenuhi kebingungan kini terlihat kosong.
Adrian menggertakkan giginya. “Apa yang kau lakukan padanya?”
Pria itu hanya tersenyum tipis. “Aku hanya membantunya mengingat.”
Adrian terkejut. “Mengingat…? Apa maksudmu?”
Pria itu melangkah mendekati Luna, menatapnya dengan penuh rasa superior. “Luna adalah putri dari kerajaan laut, tapi lebih dari itu… dia adalah kunci yang bisa membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia laut.”
Jantung Adrian berdegup kencang. Kunci? Gerbang antara dua dunia?
Pria itu menatap Adrian sekilas. “Tentu saja kau tidak tahu. Para manusia tidak pernah tahu betapa rapuhnya keseimbangan antara dunia mereka dan dunia kami.”
Adrian mengepalkan tangan. “Kalau begitu, kenapa dia melupakan semuanya?”
Pria itu mendesah seolah menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana. “Karena sang ratu menghapus semua ingatannya, agar dia tidak bisa digunakan. Tapi aku baru saja membuka kembali sebagian dari ingatannya.”
Adrian melihat Luna masih terdiam, ekspresinya kosong seperti boneka yang kehilangan jiwanya.
“Luna…?”
Gadis itu perlahan menoleh, tetapi matanya tidak lagi sama seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat Adrian merasa seolah gadis yang ia kenal telah pergi.
“Aku ingat…” Luna berbisik pelan, suaranya untuk pertama kalinya terdengar.
Adrian terkejut. Luna bisa berbicara?
Luna melanjutkan dengan suara datar. “Aku ingat lautan… kerajaan… dan siapa aku sebenarnya.”
Adrian merasa dadanya sesak. “Dan… aku?” tanyanya, berharap Luna mengingatnya juga.
Namun, Luna hanya menatapnya kosong.
“Aku tidak ingat siapa kau.”
Kata-kata itu menghantam Adrian lebih keras daripada ombak yang pernah menyeret kapalnya.
“Luna…”
Pria asing itu terkekeh puas. “Seperti yang kuduga. Ingatannya tentang lautan kembali, tetapi ingatan tentang manusia sudah menghilang.”
Adrian mengepalkan tangannya. “Kau sengaja melakukan ini.”
Pria itu mengangkat bahu. “Aku hanya menunjukkan kebenaran padanya. Bukankah lebih baik dia kembali ke tempat yang seharusnya?”
Adrian merasakan amarah membakar dadanya. “Tidak! Dia memilih tinggal di sini! Kau yang mencoba memanipulasinya!”
Luna tampak ragu sejenak. Dia menatap kedua pria di hadapannya—satu pria asing yang entah kenapa terasa familiar, dan satu pria lain yang matanya dipenuhi kesedihan yang anehnya membuat dadanya terasa sakit.
“Luna, aku tahu kau tidak mengingatku, tapi… aku ingat kau,” kata Adrian dengan suara gemetar. “Aku ingat bagaimana kau menulis di buku catatanmu, bagaimana kau menatap laut dengan ketakutan, bagaimana kau memilih untuk tetap di sini meskipun itu berarti kehilangan segalanya…”
Luna menatapnya tanpa ekspresi.
Adrian berusaha mendekat, tetapi pria asing itu menghalanginya.
“Dia bukan milikmu, manusia.”
Adrian mengabaikannya dan menatap Luna langsung. “Aku tahu kau merasakan sesuatu saat memilih tinggal di sini. Kau mungkin tidak ingat aku, tapi aku tahu hati tidak pernah berbohong.“
Luna tampak bingung, jemarinya mencengkeram lengan bajunya sendiri, seolah sedang bertarung dengan sesuatu di dalam dirinya.
“Luna, tolong… pilih sendiri, jangan biarkan orang lain yang memilih untukmu,” kata Adrian putus asa.
Pria asing itu mendengus dan melirik Luna. “Ayo, kita kembali ke laut. Itu tempatmu yang sebenarnya.”
Adrian melihat Luna mengerjap, seolah tersadar dari sesuatu. Untuk pertama kalinya, ekspresi datarnya berubah. Ada sesuatu dalam matanya—keraguan.
Dan kemudian, Luna mengulurkan tangannya ke arah Adrian.
Pria asing itu terkejut. “Luna, apa yang kau lakukan?”
Luna menggigit bibirnya, lalu dengan suara lirih berkata, “Aku… aku tidak tahu. Tapi aku merasa tidak ingin pergi.”
Adrian merasakan harapan menyala di dalam dadanya.
“Luna…”
Pria asing itu tampak marah. Dia melangkah ke depan, hendak menarik Luna pergi, tetapi sebelum dia bisa menyentuhnya, sesuatu terjadi—
Air laut di sekitar mereka mulai bergemuruh.
Langit berubah kelam, dan angin bertiup lebih kencang. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, seolah sesuatu yang besar sedang mendekat.
Pria asing itu mengumpat. “Tidak… Ini terlalu cepat…”
Adrian menatapnya dengan bingung. “Apa yang terjadi?”
Pria itu berbalik, ekspresinya kini serius. “Keseimbangan telah terganggu.”
Dan sebelum Adrian bisa memahami maksudnya, ombak besar muncul dari kejauhan, lebih tinggi dari kapal mereka.
Adrian hanya bisa menatap dengan mata melebar.
Mereka semua akan tersapu oleh lautan—
Dan mungkin, ini adalah akhir dari segalanya.
Bab 10: Keajaiban di Bawah Cahaya Bulan
Ombak raksasa bergerak cepat menuju kapal Adrian, membawa badai yang mengguncang lautan. Langit yang gelap semakin mencekam, seakan alam sedang murka.
Adrian memegang erat tali kapal, mencoba menyeimbangkan dirinya, tetapi pikirannya hanya terfokus pada Luna.
Gadis itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar di antara dua pilihan besar—dunia manusia yang sudah mulai terasa akrab, atau dunia laut yang pernah menjadi rumahnya.
Pria asing yang berdiri di depan mereka tampak gelisah, ekspresinya jauh dari sikap dinginnya yang biasa.
“Ini buruk,” gumamnya. “Gerbang antara dunia manusia dan laut mulai runtuh.”
Adrian menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Pria itu menoleh, matanya berkilauan di bawah cahaya bulan. “Luna seharusnya tidak boleh tinggal di dunia manusia. Keputusan yang tidak pasti membuat keseimbangan terganggu.”
Luna tampak kebingungan. “Aku… tidak mengerti.”
Pria itu menggertakkan giginya. “Jika kau tetap berada di dunia manusia, laut akan kehilangan bagian dari dirinya. Jika kau kembali tanpa kehendak sendiri, kau juga akan kehilangan jiwamu. Keseimbangan dua dunia ini akan hancur!”
Adrian mengepalkan tangan. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Saat itulah ombak raksasa menerjang kapal.
Adrian refleks menarik Luna ke dalam pelukannya, mencoba melindunginya dari dampak hantaman air. Kapal berguncang keras, air laut membanjiri dek, dan langit seolah pecah dengan kilatan petir yang menyambar di kejauhan.
Luna terbatuk, tubuhnya gemetar dalam dekapan Adrian. Dia menatapnya dengan mata yang kini dipenuhi ketakutan dan kesedihan.
“Aku tidak ingin kehilangan ini…” bisiknya pelan.
Adrian menatapnya dalam-dalam. “Luna, ini pilihanmu. Aku tidak bisa memutuskan untukmu. Tapi aku akan berada di sisimu, apa pun yang terjadi.”
Luna menggigit bibirnya. Untuk pertama kalinya, dia mendengar suara hatinya sendiri.
Lalu, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Cahaya biru mulai berpendar dari tubuhnya.
Pria asing itu tersentak. “Itu…!”
Laut yang tadi menggila perlahan mulai tenang. Cahaya dari tubuh Luna semakin terang, seperti bintang yang jatuh ke tengah lautan.
Adrian merasakan kehangatan aneh yang mengelilinginya. Dia menatap Luna, matanya melebar saat menyadari sesuatu—
Ingatan Luna mulai kembali.
“Aku ingat…” bisiknya. “Aku ingat siapa aku, dan aku ingat…”
Dia menatap Adrian, air mata menggenang di matanya.
“Aku ingat kau.“
Adrian merasa jantungnya berdegup lebih kencang.
Luna menatap laut, lalu ke Adrian, lalu ke pria asing itu.
“Aku bukan hanya milik laut, dan aku bukan hanya milik dunia manusia. Aku… adalah bagian dari keduanya.”
Cahayanya semakin terang.
Pria asing itu tampak terkejut, tetapi kemudian tertawa kecil. “Begitu rupanya… Kau bukan kunci antara dua dunia, Luna. Kaulah keseimbangan itu sendiri.”
Ombak yang tadi ganas perlahan mereda, badai pun mulai menghilang. Langit yang gelap kembali diterangi bulan.
Luna mengulurkan tangannya ke permukaan air. Cahaya biru mengalir dari jemarinya, mengisi lautan dengan kedamaian yang belum pernah ada sebelumnya.
Pria asing itu menatapnya kagum. “Jadi… kau telah memilih.”
Luna mengangguk.
“Aku memilih untuk menjadi diriku sendiri dan tidak akan meninggalkan laut, tetapi juga tidak akan meninggalkan dunia manusia. Aku akan berada di antara keduanya, menjaga keseimbangan yang seharusnya ada sejak awal.”
Adrian menatap Luna dengan penuh kebanggaan.
“Dan aku akan bersamamu,” katanya pelan.
Luna tersenyum, kali ini dengan keyakinan penuh.
Angin laut bertiup lembut, membawa harapan baru.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang bersinar terang, dua dunia yang hampir hancur menemukan keseimbangan kembali.
Dan di antara ombak yang tenang, cinta yang tak terucapkan akhirnya menemukan tempatnya.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.