Aurel dan Reynand selalu menjadi rival dalam segala hal—akademik, olahraga, bahkan popularitas di sekolah. Sejak kecil, mereka tak pernah akurat dan selalu berusaha mengalahkan satu sama lain. Namun, hidup mereka berubah drastis saat keluarga mereka mengumumkan bahwa mereka telah dijodohkan.
Bab 1: Rival Abadi
Matahari pagi bersinar cerah di langit biru, tapi bagi Aurel, hari ini bukan hari yang bisa dinikmati dengan santai. Ia menatap papan pengumuman di depan kelas dengan ekspresi tak percaya, jari-jarinya mengepal di samping tubuhnya. Di atas kertas putih yang tertempel rapi itu, tertulis nama peraih nilai tertinggi dalam ujian akhir semester.
Dan di posisi pertama, bukan namanya yang tertulis.
Reynand Wijaya – 98,7
Sementara namanya sendiri berada di urutan kedua, hanya selisih 0,3 poin di bawah Reynand.
Aurel menghela napas panjang. Sudah berkali-kali ini terjadi. Ia berusaha mati-matian belajar semalaman, tapi tetap saja, orang itu selalu selangkah lebih unggul darinya.
“Kelihatannya ada yang kecewa lagi.”
Sebuah suara yang sangat dikenalnya muncul dari belakang. Aurel tak perlu berbalik untuk tahu siapa pemilik suara menyebalkan itu.
Reynand berdiri dengan senyum puas, tangannya terselip di saku celana seragamnya. “Jujur aja, kamu udah berharap bisa ngalahin aku, kan?”
Aurel mendengus, berusaha menahan keinginan untuk menonjok wajah menyebalkan di depannya. “Cuma kebetulan aja kamu menang kali ini.”
“Ah, jadi nilai lebih tinggi itu kebetulan?” Reynand mengangkat alis dengan ekspresi mengejek. “Aku pikir ini soal kerja keras.”
Aurel mendelik. “Jangan sombong dulu, ya. Semester depan aku yang bakal di peringkat satu.”
Reynand hanya terkekeh. “Kita lihat aja nanti.”
Persaingan antara Aurel dan Reynand bukan sesuatu yang baru. Sejak mereka kecil, mereka selalu bersaing dalam segala hal. Mulai dari siapa yang bisa lari lebih cepat saat lomba 17 Agustus di kampung, siapa yang dapat nilai lebih tinggi, siapa yang lebih populer di sekolah—semuanya berubah jadi ajang kompetisi.
Mereka berdua seperti air dan minyak. Aurel yang perfeksionis dan pekerja keras, selalu ingin menjadi yang terbaik. Sementara Reynand, dengan caranya yang lebih santai tapi tetap unggul, selalu membuat Aurel frustrasi.
Dan ini bukan hanya soal akademik.
Di lapangan basket, mereka juga sering berhadapan. Aurel, sebagai kapten tim basket putri, sering kali bertemu Reynand, yang juga kapten tim basket putra, dalam berbagai kompetisi sekolah.
“Kalau kamu masih lemparan tiga angkamu nggak stabil kayak tadi, jangan harap bisa menang lawan tim sekolah lain.”
Aurel mendesis kesal saat mendengar komentar Reynand seusai latihan. “Nggak usah sok ngajarin, deh. Aku nggak butuh saran dari kamu.”
“Terserah kamu sih,” Reynand mengangkat bahu. “Cuma kasihan aja kalau nanti tim kamu kalah karena kesalahanmu.”
Aurel nyaris melempar bola basket ke wajahnya kalau saja pelatih mereka tidak lewat saat itu.
Pulang sekolah, Aurel masih kesal. Ia berjalan ke gerbang dengan langkah cepat, berharap bisa segera sampai rumah dan tidur untuk melupakan kekalahannya hari ini.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat mobil hitam yang familiar terparkir di depan sekolah.
Ia mengerutkan kening. Itu mobil ayahnya.
Kenapa ayah menunggunya di sekolah? Biasanya ia pulang sendiri atau dijemput sopir.
Aurel melangkah mendekat dan membuka pintu mobil. “Ayah, kenapa jemput aku?” tanyanya sambil duduk di kursi penumpang.
Ayahnya, seorang pria berwibawa dengan jas rapi, tersenyum kecil. “Ada sesuatu yang harus kita bicarakan di rumah. Ini penting.”
Nada suara ayahnya membuat Aurel merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ia hanya mengangguk pelan, membiarkan mobil melaju tanpa bertanya lebih lanjut.
Namun, satu hal yang tidak ia tahu—keputusan yang menunggunya di rumah akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 2: Kabar Mengejutkan
Sepanjang perjalanan pulang, Aurel diam saja. Bukan karena malas bicara, tapi lebih ke perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya. Ayahnya jarang menjemput langsung seperti ini. Biasanya kalau ada hal penting, ibunya yang akan bicara lebih dulu.
Begitu mobil memasuki halaman rumah, Aurel turun tanpa banyak tanya. Ia melihat ibunya sudah menunggu di ruang tamu bersama seorang pria yang juga sangat dikenalnya.
“Om Aditya?” Aurel mengerutkan kening, melihat pria paruh baya yang duduk di sofa. Om Aditya adalah teman lama ayahnya, bahkan bisa dibilang sahabat dekat keluarga mereka.
Saat Aurel duduk, ia langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Ibunya tersenyum canggung, sementara Om Aditya tampak santai, seolah tidak ada yang aneh.
“Kamu pasti kaget kenapa ayah jemput langsung, kan?” kata ayahnya, membuka pembicaraan.
Aurel mengangguk, lalu melirik ke arah Om Aditya. “Ada apa ya, Om?”
Pria itu tertawa kecil. “Tenang, ini kabar baik kok.”
Kabar baik?
Aurel menunggu, tapi saat ayahnya mulai berbicara lagi, seluruh tubuhnya langsung menegang.
“Aurel, kami ingin memberitahumu bahwa kamu sudah dijodohkan.”
Hening.
Aurel mengerjap, berpikir mungkin ia salah dengar.
“Tunggu…” Ia menatap ayahnya, lalu ibunya. “Dijodohkan? Maksudnya gimana?”
Ibunya tersenyum lembut. “Iya, sayang. Kami dan keluarga Om Aditya sudah sepakat. Ini adalah keputusan terbaik untuk masa depanmu.”
Aurel semakin bingung. Dijodohkan? Dengan siapa?
Lalu, saat ia menoleh ke arah Om Aditya, perasaan buruk mulai muncul di dadanya.
“Jangan bilang…” katanya dengan suara pelan, matanya mulai membesar.
Om Aditya tertawa kecil. “Iya, kamu akan dijodohkan dengan anak Om.”
Aurel membatu.
Anak Om Aditya. Yang berarti…
“TIDAK MUNGKIN!” Aurel langsung berdiri. “Reynand?! Aku dijodohkan sama Reynand?!”
Tidak. Ini pasti mimpi buruk.
Tidak mungkin ia, Aurel, yang sudah bertahun-tahun bersaing mati-matian dengan pria menyebalkan itu, tiba-tiba harus menikah dengannya?!
“Ini lelucon, kan?” Aurel menatap ayahnya dengan penuh harap. “Ayah cuma bercanda, kan?”
Tapi wajah ayahnya tetap serius. “Kami tidak main-main, Aurel.”
“Kenapa harus dia?! Dari sekian banyak orang, kenapa harus dia?!”
“Karena keluarga kami sudah lama berjanji.” Om Aditya menjelaskan dengan tenang. “Sejak dulu, kami sudah merencanakan ini. Jika kamu dan Reynand tumbuh besar dengan baik, kami ingin menjodohkan kalian.”
Aurel memijit pelipisnya. Ini gila. Ini benar-benar gila. “Tapi aku dan dia musuhan dari dulu! Mana mungkin kami—”
“Aurel.” Suara ayahnya terdengar lebih tegas. “Kami hanya meminta kamu mempertimbangkan ini. Tidak ada yang akan memaksamu sekarang. Tapi kami ingin kalian berdua mencoba dulu.”
Aurel ingin menolak mentah-mentah.
Tapi di sisi lain, ia tahu ayahnya bukan orang yang mudah digoyahkan keputusannya.
Dengan napas berat, Aurel hanya bisa meremas rok seragamnya.
Saat itu, hanya ada satu hal yang terlintas di kepalanya.
Reynand harus tahu soal ini. Dan lebih baik ia juga tidak setuju.
Bab 3: Misi Membatalkan Perjodohan
Aurel berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan ekspresi penuh frustrasi. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dijodohkan dengan Reynand? Itu gila!
“Ini harus dihentikan,” gumamnya.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan mengetik pesan cepat.
Aurel: Ketemuan di kafe depan sekolah besok. Penting.
Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan datang.
Reynand: Males. Nggak ada kepentingan sama kamu.
Aurel mendengus kesal. Dasar bocah tengil.
Aurel: Ini serius, tolol! Dateng atau lo bakal nyesel.
Setelah beberapa menit tanpa balasan, Aurel yakin Reynand pasti membaca pesannya. Dengan menggerutu, ia melempar ponselnya ke kasur dan berbaring.
Besok, ia akan memastikan Reynand juga menolak perjodohan ini.
Keesokan harinya, Aurel tiba di kafe lebih awal dari yang ia perkirakan. Ia duduk di dekat jendela, mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja dengan gelisah.
Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk dengan gaya santai.
Reynand…. Pria itu berjalan ke arahnya dengan ekspresi datar, mengenakan hoodie hitam di atas seragam sekolahnya yang tidak dikancing dengan rapi.
“Jadi, apaan sih yang penting banget?” katanya, langsung menjatuhkan diri ke kursi di depan Aurel.
Aurel melipat tangannya. “Lo udah tahu belum?”
“Tahu apaan?” Reynand mengambil menu, santai seperti tidak ada masalah besar yang akan dibahas.
Aurel menatapnya tajam. “Tentang perjodohan ini.”
Jemari Reynand yang sedang membolak-balik menu berhenti sejenak. Ia mendongak, menatap Aurel dengan kening berkerut.
“Perjodohan?”
Aurel menghela napas, lalu menjelaskan semuanya. Tentang perjanjian antara keluarga mereka, keputusan yang sudah dibuat sejak mereka kecil, dan bagaimana orang tua mereka ingin mereka setidaknya “mencoba” sebelum benar-benar menolak.
Reynand mendengarkan dengan wajah sulit ditebak, sebelum akhirnya bersandar di kursinya dengan tawa kecil.
“Lo serius?”
Aurel mengangguk.
Reynand malah tertawa semakin keras. “Gila. Ini konyol banget.”
Aurel menatapnya dengan kesal. “Gue nggak butuh lo buat ketawa. Kita harus cari cara buat batalin ini.”
Reynand mengangkat alis. “Kenapa harus batal?”
Aurel nyaris tersedak minumnya. “Hah?! Lo bercanda?”
Reynand mengangkat bahu. “Nggak juga. Kalau dipikir-pikir, lo lumayan sih. Peringkat dua terus, kapten basket putri, dan, yah, lumayan cantik kalau lo nggak lagi nyebelin.”
Aurel memukul meja. “Lo gila, ya?! Gue nggak mau dijodohin sama lo, ngerti?!”
Reynand terkekeh, tampak menikmati kemarahan Aurel. “Santai, gue juga nggak tertarik dijodohin sama cewek yang kerjaannya nyindir gue tiap hari.”
“Bagus!” Aurel menunjuknya dengan tatapan tajam. “Jadi, kita harus kerja sama buat bikin orang tua kita batalin ini.”
Reynand berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Oke, setuju. Tapi gimana caranya?”
Aurel tersenyum licik. “Gue ada beberapa ide. Kita bakal bikin mereka yakin kalau kita berdua adalah pasangan terburuk yang pernah ada.”
Reynand menyeringai. “Kedengarannya seru.”
Aurel tidak tahu apakah ini akan berhasil atau tidak. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak dalam perjodohan konyol ini.
Tidak peduli seberapa jauh ia harus berusaha.
Bab 4: Kenangan yang Terlupakan
Aurel dan Reynand sudah memulai rencana mereka untuk menggagalkan perjodohan.
Hari pertama, mereka pura-pura bertengkar di depan orang tua mereka. Saat makan malam bersama, Aurel dengan sengaja menjatuhkan jus jeruk ke baju Reynand, dan pria itu membalas dengan menjatuhkan sendok penuh saus ke piring Aurel. Hasilnya? Orang tua mereka hanya tertawa kecil dan mengatakan, “Kalian ini kayak anak kecil. Makin mirip pasangan suami istri yang bertengkar.”
Hari kedua, Aurel mengabaikan pesan dari ibunya yang memintanya jalan dengan Reynand. Ia berpikir kalau Reynand juga akan melakukan hal yang sama. Namun, ketika ia pulang, ibunya malah tersenyum dan berkata, “Reynand tadi mampir ke sini, ngajak ngobrol ayah kamu. Anak yang sopan, ya.”
Aurel nyaris pingsan. Apa-apaan ini?
Seiring berjalannya waktu, mereka sadar rencana mereka tidak semudah yang dikira.
Namun, di tengah kekacauan itu, ada satu hal yang mulai berubah.
Sore itu, setelah berdebat panjang soal strategi baru mereka, Aurel dan Reynand pulang bersama karena rumah mereka memang satu komplek.
Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang khas. Jalanan masih sepi, hanya ada suara langkah kaki mereka di trotoar yang sedikit licin.
“Tunggu sebentar,” kata Reynand tiba-tiba, menghentikan langkahnya.
Aurel menoleh, bingung. “Kenapa?”
Reynand berjalan ke arah pohon besar di dekat taman kecil di tengah komplek mereka. Setelah beberapa detik, ia tersenyum dan menepuk batang pohon itu. “Masih ada.”
Aurel mendekat dan melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
Di sana, terukir dua huruf kecil dengan goresan kasar: A & R
Ingatan lama tiba-tiba muncul di kepalanya.
Dulu, saat mereka masih kecil, mereka sering bermain di taman ini. Salah satu kenangan yang paling melekat adalah ketika mereka saling menantang siapa yang bisa memanjat pohon ini lebih tinggi. Reynand selalu menang, tapi suatu hari, Aurel akhirnya berhasil sampai di cabang tertinggi.
Saat itu, dalam euforia kemenangan, mereka mengukir inisial mereka di batang pohon sebagai tanda “perjanjian.”
“Kalau lo kalah sama gue lagi, lo harus jadi teman gue selamanya,” kata Aurel kecil dengan penuh semangat.
Reynand kecil hanya tertawa. “Gue bakal tetep menang selamanya, jadi lo nggak perlu khawatir.”
Kenangan itu terasa jauh.
Aurel menghela napas, menyentuh ukiran di pohon itu. “Gue hampir lupa soal ini.”
Reynand bersandar di batang pohon, memasukkan tangannya ke saku. “Gue juga.”
Hening.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka tidak merasa seperti rival atau musuh bebuyutan. Hanya dua orang yang pernah saling mengenal lebih dari siapapun, berdiri bersama dalam diam, mengingat masa kecil mereka.
“Gue nggak nyangka kita bisa sejauh ini,” kata Aurel pelan.
Reynand menoleh. “Maksud lo?”
Aurel tersenyum kecil. “Dari dua bocah yang dulu rebutan menang panjat pohon, sampai sekarang dijodohin sama orang tua kita.”
Reynand terkekeh. “Iya, hidup bisa segila itu.”
Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat, tanpa kata-kata.
Sesuatu dalam diri Aurel terasa berbeda. Ia masih tidak ingin perjodohan ini, tapi untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya—apakah benar selama ini ia hanya membenci Reynand? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang ia abaikan?
Namun, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, Reynand menepuk bahunya ringan.
“Ayo pulang. Sebelum hujan turun lagi.”
Aurel mengangguk dan berjalan di sampingnya.
Ia tidak tahu ke mana semua ini akan membawanya. Tapi satu hal yang pasti perasaan di hatinya mulai goyah.
Bab 5: Orang Ketiga Muncul
Hari-hari berlalu, dan Aurel mulai merasakan sesuatu yang aneh. Rencana mereka untuk menggagalkan perjodohan belum juga membuahkan hasil. Orang tua mereka justru semakin yakin kalau mereka pasangan yang “cocok.”
Dan yang lebih parah lagi, Aurel mulai sadar kalau hubungannya dengan Reynand tidak sesederhana dulu.
Namun, ia mencoba mengabaikan semua itu dan tetap fokus pada satu tujuan: membatalkan perjodohan ini.
Hingga akhirnya, hari itu datang.
“Kalian dengar belum? Ada siswa baru di kelas sebelah!”
Aurel yang sedang duduk di kantin bersama sahabatnya, Rina, hanya mengangkat bahu. “Terus kenapa?”
Rina menyenggol lengannya dengan penuh semangat. “Katanya dia ganteng banget, tinggi, terus jago olahraga juga! Gila, banyak anak cewek yang udah ngecengin dia.”
Aurel tertawa kecil. “Kayaknya gue nggak tertarik.”
“Tapi lo harus lihat dulu!” Rina menunjuk ke arah pintu kantin. “Itu dia!”
Aurel secara refleks menoleh.
Dan saat itu juga, ia sedikit terpaku.
Seorang pria dengan postur tegap berjalan masuk ke kantin dengan langkah santai. Rambutnya hitam dengan potongan rapi, wajahnya memiliki garis tegas, dan senyumnya sedikit menawan. Ia memakai seragam dengan gaya yang lebih rapi daripada kebanyakan anak laki-laki di sekolah ini.
Ganteng? Oke, dia memang ganteng.
Rina menepuk bahunya dengan heboh. “Aurel! Dia ngeliat ke arah lo!”
Aurel langsung tersadar dan buru-buru menunduk. Ah, sial. Kenapa harus menoleh tadi?
Tanpa diduga, pria itu berjalan ke arahnya.
“Hei,” sapanya dengan suara ramah. “Kamu Aurel, kan?”
Aurel mengerjap. “Iya?”
Pria itu tersenyum. “Aku Davin. Aku baru pindah ke sini.”
“Oh,” Aurel mengangguk. “Selamat datang di sekolah ini.”
Davin terkekeh. “Thanks. Ngomong-ngomong, aku dengar kamu kapten tim basket putri?”
Aurel sedikit terkejut. “Dari mana kamu tahu?”
“Ada yang bilang kalau kamu pemain basket terbaik di sekolah ini,” jawabnya santai. “Aku juga main basket. Bisa nggak kalau aku gabung latihan tim putra nanti?”
Aurel merasa ada yang aneh. Seorang siswa baru yang tahu namanya, tahu dia kapten basket, dan sekarang tertarik untuk bergabung?
Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, seseorang tiba-tiba muncul dan menyandarkan lengannya di bahu Aurel.
“Hei, bro,” suara Reynand terdengar santai, tapi ada sedikit nada aneh di dalamnya. “Kayaknya lo nggak butuh izin dari dia buat gabung ke tim basket. Itu urusan pelatih.”
Davin menoleh dan tersenyum. “Kamu Reynand, ya? Kapten tim basket putra?”
Reynand mengangguk, matanya menatap Davin dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Davin tersenyum lebih lebar. “Keren, berarti nanti kita bakal sering ketemu di lapangan.”
Aurel menatap Reynand, merasa ada ketegangan di antara mereka.
Dan di saat itu juga, ia sadar sesuatu. Reynand tidak suka kehadiran Davin.
Bukan sebagai rival di basket. Tapi karena alasan lain, Aurel tidak yakin bagaimana perasaannya tentang hal itu.
Bab 6: Perasaan yang Tidak Dikenali
Sejak kemunculan Davin, suasana di sekolah terasa sedikit berbeda—setidaknya bagi Aurel.
Siswa baru itu dengan cepat menjadi populer. Tidak hanya karena wajahnya yang tampan, tetapi juga karena kepribadiannya yang ramah dan mudah bergaul. Dalam beberapa hari saja, ia sudah akrab dengan banyak orang, termasuk tim basket.
Namun, ada satu orang yang jelas tidak menyukainya.
Reynand.
Aurel mulai memperhatikan perubahan sikap Reynand sejak hari pertama Davin datang. Reynand yang biasanya santai dan penuh percaya diri, kini lebih sering diam setiap Davin ada di sekitar mereka.
Dan anehnya, Aurel juga mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Siang itu, Aurel dan Davin duduk bersama di taman sekolah, berbicara santai tentang basket.
“Aku lihat permainanmu kemarin, kamu jago juga,” kata Davin dengan senyum kecil.
Aurel tertawa. “Makasih, tapi aku masih harus banyak latihan. Apalagi lemparan tiga angka gue masih nggak stabil.”
Davin mengangguk. “Kalau mau, aku bisa bantu latihan.”
Aurel menatapnya dengan sedikit terkejut. “Serius?”
“Tentu,” Davin tersenyum. “Kita bisa latihan bareng setelah pulang sekolah. Aku yakin kalau kamu sering latihan dengan teknik yang tepat, akurasi tembakanmu bakal jauh lebih baik.”
Aurel hampir berkata ‘iya’, sampai tiba-tiba suara yang sangat familiar terdengar dari belakang mereka.
“Nggak perlu.”
Aurel dan Davin menoleh. Reynand berdiri di sana, menyilangkan tangan dengan ekspresi datar.
“Dia nggak butuh latihan dari lo,” lanjutnya santai. “Gue yang bakal bantuin dia.”
Davin mengangkat alis. “Oh ya? Kenapa nggak biarin Aurel yang pilih sendiri?”
Aurel mengerjap. Situasi ini terasa aneh. Seakan-akan… mereka sedang berebut sesuatu.
Atau lebih tepatnya, berebut seseorang.
Davin menoleh ke Aurel. “Gimana?”
Aurel merasa terjebak. Ia menatap Reynand, lalu kembali ke Davin. Kenapa tiba-tiba suasananya jadi seperti ini?
Sebelum ia bisa menjawab, Reynand lebih dulu berbicara. “Lo mau latihan bareng orang yang bahkan baru kenal lo beberapa hari, atau sama gue yang udah tahu kelemahan lo dari dulu?”
Aurel terdiam. Ia tidak bisa membantah itu. Reynand memang mengenal permainannya luar dalam.
Davin tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu. Gue nggak akan maksa.”
Setelah mengucapkan itu, ia melambai ringan lalu berjalan pergi.
Aurel masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ia menoleh ke Reynand, yang kini duduk di bangku taman dengan wajah yang sulit ditebak.
“Lo kenapa sih?” tanya Aurel akhirnya.
Reynand mengangkat bahu. “Nggak kenapa-kenapa.”
Aurel menghela napas. “Lo jelas kelihatan nggak suka sama Davin.”
Reynand mendengus pelan. “Gue cuma nggak suka sama gaya sok akrabnya.”
“Atau lo cemburu?”
Reynand terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. “Ngimpi.”
Tapi Aurel bisa melihat sesuatu di matanya. Untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya—apakah selama ini Reynand benar-benar hanya menganggapnya sebagai rival?
Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang bahkan Reynand sendiri tidak sadari?
Bab 7: Ketidakpastian dan Cemburu
Sejak kejadian di taman sekolah, Aurel mulai menyadari satu hal: Reynand berubah.
Dia bukan lagi si cowok menyebalkan yang selalu bersaing dengannya tanpa alasan. Setiap kali ada Davin di sekitarnya, Reynand jadi lebih diam, lebih tajam dalam memandang, dan sering kali melontarkan komentar sarkastik.
Dan yang paling mengganggu?
Aurel mulai memikirkan Reynand lebih dari yang seharusnya.
“Aurel!”
Aurel menoleh saat mendengar suara Davin memanggilnya dari ujung koridor.
Cowok itu berjalan santai ke arahnya, senyumnya tetap sama seperti biasa—tenang dan penuh percaya diri.
“Latihan bareng sore ini? Kita bisa coba teknik baru buat lemparan tiga angka.”
Aurel ragu sejenak. Jujur saja, latihan dengan Davin itu menarik. Cowok itu memang jago, dan dia bukan tipe orang yang cuma asal bicara.
Tapi sebelum Aurel bisa menjawab, suara lain tiba-tiba terdengar.
“Nggak bisa.”
Aurel menghela napas dalam hati. Reynand. Lagi-lagi muncul di saat yang tidak diharapkan.
Davin menoleh dengan tenang. “Kenapa nggak bisa?”
“Karena kita ada latihan tim,” jawab Reynand dengan santai. “Dan dia butuh fokus ke itu, bukan latihan pribadi yang nggak penting.”
Aurel mendengus. “Gue bisa latihan dua-duanya, tahu?”
Reynand menatapnya sekilas sebelum berbalik lagi ke Davin. “Tapi dia bagian dari tim. Kalau dia capek sebelum latihan tim, itu bakal ngaruh ke performanya.”
Davin hanya mengangkat bahu. “Ya udah, gue nggak maksa. Kapan-kapan aja kalau lo ada waktu, Aurel.”
Cowok itu tersenyum sebelum melangkah pergi.
Aurel memutar bola matanya dan berbalik ke Reynand. “Lo kenapa sih selalu ikut campur?”
Reynand memasukkan tangannya ke saku celana, menatapnya dengan ekspresi datar. “Gue cuma nggak suka ngelihat lo latihan sama orang lain.”
Aurel terdiam.
Dia tidak tahu apakah itu hanya komentar biasa atau ada makna yang lebih dalam. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, Reynand sudah lebih dulu berjalan pergi.
Beberapa hari berlalu, tapi sikap Reynand tidak berubah, itu semakin jelas saat ada kejadian di kantin sekolah.
Saat itu, Aurel sedang mengobrol dengan Davin di meja kantin. Semuanya berjalan santai sampai tiba-tiba seorang cewek muncul dan duduk di samping Reynand.
Aurel mengenal cewek itu. Clara. Salah satu siswi paling populer di sekolah yang dikenal selalu mengejar cowok-cowok keren.
Clara menyandarkan lengannya di meja, mendekati Reynand dengan ekspresi menggoda. “Rey, kamu udah janji mau makan bareng aku, ingat?”
Reynand yang sedang sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat bahu. “Hmm? Gue janji?”
Clara tertawa kecil. “Yaa, lebih ke kode sih. Tapi kan aku tahu kamu nggak bakal nolak kalau aku yang ngajak.”
Aurel tidak tahu kenapa, tapi entah kenapa dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu.
Davin yang duduk di depannya tampak memperhatikan ekspresinya. “Kamu nggak apa-apa?”
Aurel tersentak. “Hah? Eh, iya, nggak apa-apa.”
Tapi nyatanya, dia tidak baik-baik saja.
Dia tidak mengerti kenapa, tapi melihat Reynand dengan cewek lain membuatnya… tidak nyaman.
Dan di saat itu juga, Aurel menyadari sesuatu.
Apakah dia cemburu?
Bab 8: Pertarungan Hati
Aurel masih belum bisa menghilangkan perasaan aneh yang mengganggunya sejak kejadian di kantin.
Melihat Reynand dengan Clara membuat dadanya terasa sesak, tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa mengabaikan perhatian Davin yang semakin jelas.
Hatinya mulai berantakan.
Apakah ini cemburu? Atau hanya ego karena selama ini ia selalu menganggap Reynand miliknya—bukan dalam arti romantis, tapi sebagai seseorang yang selalu ada di sekitarnya, sebagai rival yang tak tergantikan?
Dan yang lebih parah lagi, ia tidak bisa menghentikan perasaan itu.
Saat jam pelajaran selesai, Aurel memutuskan untuk pergi ke lapangan basket. Ia ingin menenangkan diri.
Namun, saat tiba di sana, ia justru menemukan pemandangan yang tidak ingin ia lihat.
Reynand berdiri di dekat ring, sementara Clara berdiri di depannya, tertawa kecil sambil menyentuh lengannya.
Aurel menggigit bibirnya. Kenapa hatinya terasa panas?
“Hei.”
Aurel tersentak saat mendengar suara di sebelahnya.
Davin berdiri di sana dengan tangan dimasukkan ke saku celana, matanya mengikuti arah pandangan Aurel.
“Kamu suka dia, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Aurel tersentak. “Apa?”
Davin menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi nadanya terdengar serius. “Reynand. Kamu suka dia, kan?”
Aurel ingin membantah, ingin tertawa dan mengatakan bahwa Davin salah besar. Tapi mulutnya tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
Davin tersenyum kecil, seperti mengerti apa yang terjadi. “Kalau kamu nggak yakin, coba jawab pertanyaan ini. Kalau dia benar-benar jadian sama Clara, kamu bakal baik-baik aja?”
Aurel terdiam.
Dan di detik itu juga, ia tahu jawabannya.
Tidak. Ia tidak akan baik-baik saja.
Hari itu juga, orang tua Aurel mengundangnya untuk makan malam bersama keluarga Reynand.
Aurel tidak punya pilihan selain ikut. Ia tahu ini bagian dari rencana mereka untuk semakin mendekatkan dirinya dan Reynand.
Saat tiba di rumah Reynand, suasana terasa canggung. Biasanya, ia tidak pernah merasa seperti ini saat bertemu dengan Reynand. Tapi sekarang, setelah menyadari perasaannya sendiri, semuanya terasa lebih sulit.
Saat makan malam berlangsung, ayah Reynand tiba-tiba membuka pembicaraan yang membuat Aurel terkejut.
“Kami sudah berdiskusi. Jika kalian berdua masih merasa tidak cocok, perjodohan ini bisa kami batalkan.”
Hati Aurel berdebar.
Ini yang ia inginkan selama ini, bukan?
Namun, sebelum ia bisa merespons, Reynand berbicara lebih dulu.
“Gue nggak masalah.”
Semua mata langsung tertuju pada Reynand.
Reynand hanya mengangkat bahu dengan santai. “Gue nggak masalah sama perjodohan ini. Kalau Aurel juga setuju, gue nggak keberatan.”
Aurel merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu harus merasa senang atau semakin bingung.
Tapi satu hal yang ia tahu pasti—perasaan di hatinya semakin sulit untuk diabaikan.
Bab 9: Pengakuan yang Terlambat
Aurel tidak bisa tidur malam itu. Setelah mendengar jawaban Reynand di meja makan, pikirannya terus berputar.
“Gue nggak masalah sama perjodohan ini. Kalau Aurel juga setuju, gue nggak keberatan.”
Apa maksudnya?
Apakah Reynand benar-benar tidak keberatan karena dia memang tidak peduli? Atau… ada sesuatu yang lain?
Dan yang lebih mengganggu adalah dirinya sendiri. Dulu, ia selalu ingin perjodohan ini batal. Tapi kenapa sekarang, saat kesempatan itu datang, ia malah merasa ragu?
Aurel menghela napas panjang dan menatap langit-langit kamarnya.
Gue harus bicara sama Reynand.
Keesokan harinya, Aurel mencari Reynand di sekolah. Tapi sejak pagi, cowok itu tidak terlihat di mana-mana.
Saat jam istirahat, ia melihat Davin di lapangan basket.
“Davin!” panggilnya.
Davin menoleh dan tersenyum kecil. “Hei, kamu nyari Reynand?”
Aurel terkejut. “Kok kamu tahu?”
Davin hanya mengangkat bahu. “Karena kamu nggak pernah nyari aku dengan ekspresi kayak gitu.”
Aurel terdiam, merasa sedikit bersalah.
“Dia di atap sekolah,” lanjut Davin. “Sepertinya dia butuh waktu sendiri.”
Tanpa pikir panjang, Aurel langsung menuju ke sana.
Saat tiba di atap sekolah, ia menemukan Reynand sedang duduk bersandar di pagar, menatap langit.
Langkahnya terhenti sejenak.
Ini pertama kalinya ia melihat Reynand terlihat begitu… tenang. Tanpa aura kompetitif, tanpa senyum mengejek.
Hanya seorang cowok yang sedang memikirkan sesuatu.
Aurel mendekat, lalu duduk di sampingnya.
Reynand tidak langsung menoleh, tapi ia tahu Aurel ada di sana. “Kamu mau ngomong apa?”
Aurel menggigit bibirnya, mencoba merangkai kata-kata. “Kenapa lo bilang nggak keberatan sama perjodohan ini?”
Reynand terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berbicara.
“Gue udah mikir,” katanya pelan. “Dari dulu, kita selalu berusaha ngalahin satu sama lain. Tapi kenyataannya, kita selalu ada di hidup masing-masing, kan?”
Aurel menoleh, menatapnya dalam.
“Jadi gue pikir, mungkin selama ini gue terlalu sibuk buat menang, sampai gue nggak sadar kalau gue nggak mau kehilangan lo.”
Aurel merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Reynand akhirnya menoleh padanya, menatapnya dengan mata yang lebih serius dari biasanya. “Gue nggak tahu ini perasaan apa, tapi yang jelas… gue nggak bisa bayangin lo sama orang lain.”
Hening.
Aurel menggenggam rok seragamnya erat-erat. Dadanya terasa sesak, tapi juga hangat di saat yang bersamaan.
Selama ini, ia terlalu sibuk menolak perjodohan, menolak kemungkinan bahwa ada sesuatu di antara mereka.
Tapi sekarang, saat semuanya jelas… ia tidak bisa lagi menyangkal.
Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Aurel akhirnya mengaku.
“Gue juga.”
Mata Reynand membulat. “Apa?”
Aurel menghela napas dalam-dalam. “Gue juga nggak bisa bayangin lo sama orang lain.”
Hening lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.
Reynand tiba-tiba terkekeh kecil. “Jadi, lo cemburu kemarin?”
Aurel mendengus, pipinya memanas. “Jangan bikin gue nyesel ngomong barusan!”
Reynand tertawa pelan, lalu menatap Aurel dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Jadi kita nggak usah batalin perjodohan ini?” tanyanya.
Aurel diam sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kayaknya… nggak perlu.”
Reynand tersenyum, lalu mengacak rambutnya. “Baiklah, rival abadi gue. Kali ini, kita seri.”
Aurel tertawa kecil. “Ya, kali ini.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, tidak ada persaingan di antara mereka.
Hanya dua hati yang akhirnya menemukan satu sama lain.
Bab 10: Jodoh yang Tidak Pernah Pergi
Sejak hari itu, semuanya berubah.
Aurel dan Reynand tidak lagi berusaha membatalkan perjodohan mereka. Tidak ada lagi rencana-rencana konyol untuk membuat orang tua mereka kecewa, tidak ada lagi pertengkaran pura-pura di depan keluarga.
Namun, satu hal yang tetap sama—mereka masih sering berdebat.
“Bola itu jelas masuk!” protes Aurel saat latihan basket sore itu.
Reynand menyilangkan tangan dan menatapnya dengan ekspresi datar. “Nggak. Kena ring bagian luar dulu sebelum masuk. Harusnya nggak dihitung.”
Aurel mendesis kesal. “Gue kapten tim putri, gue yang lebih tahu.”
“Dan gue kapten tim putra, jadi kita setara,” balas Reynand santai.
Mereka bertatapan, saling menantang seperti biasa.
Sampai akhirnya Davin—yang berdiri di tepi lapangan, menyaksikan debat mereka sejak tadi—menghela napas panjang.
“Jadi, kalian pacaran atau masih musuhan?” tanyanya sambil menggeleng pasrah.
Aurel menoleh dengan pipi memanas. “Kita nggak musuhan!”
Reynand tersenyum miring. “Tapi nggak pacaran juga, kan?”
Davin tertawa kecil. “Ya, terserah kalian deh. Yang jelas, gue nggak pernah lihat pasangan yang lebih cocok buat satu sama lain selain kalian berdua.”
Aurel terdiam.
Dulu, ia tidak akan pernah membayangkan dirinya bersama Reynand. Baginya, cowok itu adalah rival, musuh bebuyutannya, orang yang selalu membuatnya kesal setiap saat.
Tapi sekarang, ia menyadari sesuatu.
Reynand adalah satu-satunya orang yang selalu ada di hidupnya. Tidak peduli seberapa keras mereka bertengkar, seberapa sering mereka mencoba saling mengalahkan—mereka selalu kembali ke titik yang sama.
Mungkin memang dari awal, mereka tidak pernah benar-benar saling membenci.
Mungkin, mereka hanya butuh waktu untuk menyadari bahwa jodoh mereka bukanlah sesuatu yang bisa mereka hindari.
Beberapa bulan berlalu, dan perjodohan mereka tidak lagi terasa seperti paksaan.
Orang tua mereka melihat perubahan itu. Mereka tidak lagi menekan, tidak lagi memberi batasan.
“Kalian tetap punya pilihan,” kata ayah Aurel suatu hari. “Kalau nanti kalian merasa tidak cocok, tidak ada yang akan memaksa kalian menikah.”
Aurel tersenyum. “Tapi kalau kami tetap bersama juga nggak masalah, kan?”
Ayahnya terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. “Tentu saja tidak.”
Di sampingnya, Reynand menyenggol bahunya pelan. “Jadi kita tetap lanjut?”
Aurel menoleh, menatap cowok itu.
Reynand yang dulu hanya ia lihat sebagai saingan, kini terasa lebih dari itu.
Ia mengangguk pelan. “Ya. Kita tetap lanjut.”
Dan Reynand, seperti biasa, hanya menyeringai santai. “Baiklah, kalau gitu kita masih punya banyak waktu buat saling ngalahin.”
Aurel tertawa kecil. “Ya, tapi kali ini gue yang bakal menang.”
Reynand menatapnya, lalu menggeleng. “Kita lihat aja nanti.”
Dan kali ini, tidak ada rasa ingin menang yang mendominasi.
Karena mereka tahu, dalam cerita mereka, tidak ada yang benar-benar kalah atau menang.
Mereka hanya dua orang yang akhirnya menemukan tempatnya masing-masing.
Saling melengkapi, saling memahami.
Dan yang terpenting, saling menerima bahwa jodoh yang datang terlambat tetaplah jodoh yang tidak akan pergi.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.