Novel Singkat Jejak yang Tak Terlihat
Novel Singkat Jejak yang Tak Terlihat

Novel Singkat: Jejak yang Tak Terlihat

Liora, seorang jurnalis investigasi muda yang bertempat, menyamar sebagai pelayan di sebuah hotel mewah untuk menyelidiki kasus pembunuhan pengusaha terkenal yang penuh teka-teki. Di sana, ia bertemu Adrian Blackwood, seorang pria misterius yang ternyata memiliki hubungan langsung dengan kasus tersebut. Ketegangan meningkat saat Liora menemukan bahwa Adrian adalah putra seorang pengusaha besar yang terlibat dalam konspirasi global menggunakan teknologi untuk menghapus memori manusia.

Saat rahasia kelam terungkap, Liora dan Adrian harus bekerja sama untuk mengungkap kebenaran sambil ancaman mematikan yang terus memburu mereka. Namun, dibalik semua itu, Adrian menyimpan rahasia besar yang menguji kepercayaan mereka.

Bab 1: Awal Penyamaran

Liora memandangi gedung hotel yang menjulang megah di hadapannya. Lampu-lampu kristal di lobi memancarkan kemewahan, seakan mengundang siapa pun untuk masuk dan terpesona. Namun, bagi Liora, tempat ini adalah medan tempur. Hotel Crescent Grand bukan sekadar tempat menginap, melainkan pusat misteri yang harus ia ungkap.

Ia menarik napas dalam, merapikan seragam pelayan yang baru dikenakan, lalu melangkah masuk. Perannya kini adalah seorang pelayan magang. Identitas aslinya sebagai jurnalis investigasi harus disembunyikan rapat-rapat.

“Kamu baru, ya?” seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam manajer hotel menyapanya dengan senyum tipis. Namanya Pak Seno, kepala divisi layanan hotel. “Selamat datang di Crescent Grand. Saya harap kamu siap bekerja keras di sini.”

Liora mengangguk sambil tersenyum ramah. “Tentu, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik.”

Namun, di balik senyumnya, pikirannya terus menganalisis. Hotel ini adalah tempat terakhir di mana Nathaniel Arion, seorang pengusaha terkenal, terlihat hidup sebelum ditemukan tewas di luar kota. Kasusnya penuh kejanggalan—tidak ada saksi, tidak ada motif yang jelas, hanya misteri yang menggantung di udara. Selama beberapa minggu terakhir, polisi seakan kehilangan arah dalam penyelidikan. Liora memutuskan mengambil risiko ini sendiri.

Jam pertama Liora diisi dengan rutinitas sederhana: melayani tamu, mengantarkan pesanan ke kamar, dan belajar tata cara hotel yang serba rapi. Tapi, di sela-sela pekerjaannya, ia memperhatikan setiap detail—lorong-lorong panjang, kamera pengawas, bahkan interaksi para staf. Ia mencari petunjuk sekecil apa pun.

Saat malam menjelang, tugasnya adalah mengantar barang ke kamar penthouse, kamar yang dulunya dihuni oleh Nathaniel. Jantungnya berdegup kencang saat ia berdiri di depan pintu bernomor 2207. Ia mengetuk pelan.

“Masuk,” suara pria berat terdengar dari dalam.

Liora masuk dengan hati-hati. Ruangan itu luas, dengan pemandangan kota yang memukau dari balik jendela kaca. Namun, yang menarik perhatian Liora adalah pria yang berdiri di dekat meja. Tinggi, berambut hitam, dengan sorot mata tajam. Ia mengenakan jas rapi, tapi ada sesuatu yang membuatnya tampak mencurigakan. Pria itu memperhatikannya sejenak, seolah menilai.

“Kamu staf baru di sini?” tanyanya, dengan nada suara yang datar.

“Iya, Pak. Saya baru mulai hari ini,” jawab Liora, berusaha terdengar biasa saja. Tapi ada sesuatu pada tatapan pria itu yang membuatnya merasa gelisah, seperti ia bisa membaca pikiran Liora.

Pria itu tersenyum kecil, tetapi dingin. “Hati-hati bekerja di sini. Kadang, hotel ini bisa menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.”

Kalimat itu menghantam Liora seperti petir. Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, pria itu berbalik, meninggalkannya dalam diam. Nama di tag koper yang ia lihat sepintas adalah Adrian Blackwood.

Malam itu, Liora menyadari satu hal: misteri yang ia coba selesaikan baru saja menjadi lebih rumit. Adrian bukan hanya tamu biasa. Ia pasti menyembunyikan sesuatu. Dan entah mengapa, tatapan pria itu mengisyaratkan bahwa ia tahu Liora bukan sekadar pelayan.

Bab 2: Pertemuan Tak Terduga

Liora menghabiskan malam itu dengan pikiran yang terus mengembara. Nama Adrian Blackwood berputar di kepalanya seperti gema yang tak mau hilang. Siapa pria itu sebenarnya? Dan apa maksud dari peringatannya tentang hotel ini? Ia tahu bahwa ini bukan kebetulan. Adrian tahu sesuatu, dan itu bisa menjadi petunjuk penting dalam kasus Nathaniel Arion.

Keesokan paginya, Liora memulai hari dengan rutinitas biasa. Sebagai pelayan baru, ia lebih banyak diberikan tugas-tugas kecil seperti membersihkan meja atau mengantarkan pesanan ke kamar tamu. Namun, otaknya terus bekerja, memikirkan cara untuk mendapatkan lebih banyak informasi. Fokus utamanya adalah Adrian.

Saat siang tiba, kesempatan itu datang. Liora ditugaskan mengantarkan teh ke ruang perpustakaan hotel, sebuah ruangan mewah dengan dinding penuh rak buku dan jendela besar yang menghadap ke taman. Saat ia masuk membawa nampan, Adrian sedang duduk di salah satu sofa, membaca sebuah buku.

“Silakan, Pak. Ini tehnya,” ujar Liora dengan nada sopan.

Adrian mendongak, dan senyumnya yang dingin kembali muncul. “Terima kasih,” katanya singkat. Namun, saat Liora hendak pergi, suaranya menghentikan langkahnya. “Tunggu sebentar.”

Jantung Liora berdegup kencang. Ia berbalik, mencoba tetap tenang. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Adrian meletakkan bukunya. “Kamu bukan sekadar pelayan, kan?”

Kalimat itu membuat tubuh Liora menegang. Apa maksudnya? Apa ia telah dicurigai? Tapi ia tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

“Saya tidak mengerti maksud Bapak,” jawab Liora, memasang senyum kecil.

Adrian tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Jangan meremehkan saya. Tatapanmu itu berbeda. Kamu seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.”

Liora berusaha menahan diri untuk tidak panik. “Saya hanya seorang pelayan, Pak. Mungkin Anda salah menilai.”

Adrian berdiri, mendekatinya perlahan. “Mungkin. Tapi, jika kamu memang mencari sesuatu, berhati-hatilah. Hotel ini bukan tempat yang aman untuk menyimpan rahasia.” Ia berhenti beberapa langkah darinya, menatapnya dengan intens. “Bahkan rahasiamu sendiri.”

Kalimat itu membuat Liora merinding. Ia hanya bisa membungkuk kecil dan cepat-cepat meninggalkan ruangan. Namun, saat ia berjalan kembali ke dapur, ia tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang menggelayutinya. Adrian jelas mencurigainya, tapi mengapa ia tidak melaporkannya ke manajer hotel? Apa yang sebenarnya ia inginkan?

Malam harinya, Liora kembali memeriksa dokumen-dokumen yang berhasil ia salin dari catatan investigasi polisi. Ia mencoba menyusun kembali kronologi kejadian saat Nathaniel Arion menginap di hotel ini. Namun, ada terlalu banyak celah yang tidak masuk akal. Salah satu hal yang paling mencurigakan adalah hilangnya rekaman CCTV pada malam Nathaniel dinyatakan hilang.

Saat ia tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara mengetuk pintu ruang staf tempatnya bekerja. Ia membuka pintu dan mendapati Adrian berdiri di sana, dengan ekspresi serius.

“Ada yang perlu kita bicarakan,” katanya tanpa basa-basi.

Liora mencoba bersikap biasa saja. “Maaf, Pak. Ini area staf. Tamu tidak diizinkan masuk.”

“Tapi aku tahu kau bukan hanya staf biasa,” balas Adrian tajam. “Aku tahu kau sedang mencari tahu soal Nathaniel Arion.”

Liora terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang. “Apa maksud Anda?”

Adrian mendekat, menurunkan suaranya hingga hampir berbisik. “Nathaniel adalah saudaraku. Aku datang ke sini untuk menemukan pembunuhnya. Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang terjadi, kita harus bekerja sama.”

Ucapan itu membuat Liora terperangah. Sebuah babak baru dari misteri ini baru saja dimulai. Namun, apakah Adrian benar-benar bisa dipercaya?

Bab 3: Jejak yang Hilang

Liora masih memutar ulang kata-kata Adrian di kepalanya. “Nathaniel adalah saudaraku. Jika kau ingin tahu apa yang terjadi, kita harus bekerja sama.” Segala hal tentang Adrian semakin rumit, tetapi ia tak punya pilihan selain memutuskan untuk mendengarkan penjelasannya.

Malam itu, mereka bertemu secara diam-diam di taman belakang hotel, jauh dari pengawasan kamera CCTV. Liora berdiri dengan gelisah, sementara Adrian tampak lebih tenang, meskipun tatapannya tajam.

“Kita harus cepat. Aku tidak tahu siapa yang memantau kita,” ucap Adrian, memulai pembicaraan.

Liora menyilangkan tangan di dadanya. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kau bisa saja bekerja untuk orang yang sama yang membunuh Nathaniel.”

Adrian menghela napas. “Kalau aku bekerja untuk mereka, aku sudah menyingkirkanmu sejak awal. Kau cukup pintar untuk menyadari itu.”

Liora tak bisa membantah. Nalurinya mengatakan bahwa Adrian tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatnya percaya bahwa ia tidak berbohong.

“Baiklah,” ujar Liora akhirnya. “Kalau begitu, ceritakan apa yang kau tahu.”

Adrian menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya bicara. “Nathaniel terlibat dalam sesuatu yang besar. Dia menemukan bukti bahwa perusahaan tempat dia bekerja, Argos Corporation, diam-diam menjual teknologi pengawasan kepada organisasi kriminal. Mereka memanfaatkan teknologi itu untuk melacak, memeras, bahkan menghilangkan orang-orang tertentu. Nathaniel berencana mengungkap semuanya, tapi sebelum dia sempat melakukannya, dia menghilang.”

Liora mencoba mencerna informasi itu. Argos Corporation adalah nama besar di dunia teknologi. Tidak mungkin perusahaan sebesar itu terlibat dalam hal-hal seperti ini, kecuali… ada pihak tertentu yang mengendalikannya dari bayang-bayang.

“Kalau kau tahu semua ini, kenapa tidak melapor ke polisi?” tanya Liora.

Adrian tersenyum sinis. “Polisi? Beberapa dari mereka sudah dibeli. Nathaniel tahu itu, dan sekarang aku tahu. Satu-satunya cara adalah menemukan bukti yang dia tinggalkan sebelum semuanya terlambat.”

Liora mengingat catatan yang sempat ia temukan di kamar Nathaniel beberapa hari lalu—catatan yang hilang sebelum ia sempat membaca isinya. “Aku sempat menemukan catatan di kamar penthouse,” ujarnya pelan. “Tapi sebelum aku bisa membacanya, catatan itu menghilang.”

Adrian tampak terkejut. “Catatan itu bisa jadi kunci dari semuanya. Apa kau tahu siapa yang mengambilnya?”

Liora menggeleng. “Tidak. Tapi aku yakin seseorang dari staf hotel yang mengambilnya. Ada terlalu banyak hal aneh yang terjadi di sini.”

Adrian mengangguk. “Kalau begitu, kita mulai dari situ. Kita cari tahu siapa yang memiliki akses ke kamar itu malam itu.”

Keesokan harinya, Liora memulai penyelidikannya di antara staf hotel. Ia berpura-pura mengobrol santai dengan beberapa pelayan senior, mencoba menggali informasi tanpa menimbulkan kecurigaan.

“Sebenarnya,” kata seorang pelayan bernama Dina, “ada sesuatu yang aneh malam itu. Aku melihat salah satu staf keamanan hotel masuk ke kamar penthouse setelah Nathaniel menghilang.”

“Siapa?” tanya Liora cepat.

Dina tampak ragu, tapi akhirnya menjawab. “Pak Arman. Tapi jangan bilang siapa-siapa aku yang ngomong, ya. Aku nggak mau kena masalah.”

Liora tersenyum samar, meski hatinya berdegup kencang. Pak Arman, kepala keamanan hotel. Jika dia memang terlibat, ini bisa menjadi bukti penting. Namun, sebelum ia sempat bertindak lebih jauh, ia mendapati seseorang memerhatikannya dari jauh. Sosok itu adalah Adrian.

Setelah shift kerjanya selesai, Liora menemui Adrian di tempat biasa. Ia menceritakan temuan barunya, dan Adrian terlihat semakin tegang.

“Pak Arman punya reputasi buruk,” kata Adrian. “Aku mendengar dia pernah dipecat dari pekerjaannya sebelumnya karena terlibat kasus penggelapan. Jika dia terlibat, dia bisa menjadi jalan masuk untuk mengungkap semuanya.”

“Tapi aku tidak bisa langsung menuduhnya,” ujar Liora. “Kita butuh bukti.”

Adrian tersenyum tipis, kali ini dengan aura misterius yang membuat Liora waspada. “Kau benar. Dan untungnya, aku tahu cara mendapatkan bukti itu.”

Malam itu, Adrian membawa Liora ke ruang pengawasan di hotel. Mereka menyelinap masuk dengan hati-hati, memanfaatkan akses Adrian yang entah bagaimana bisa ia dapatkan. Di sana, Adrian menunjukkan monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari beberapa hari lalu.

“Ini dia,” katanya sambil menunjuk layar. Liora menahan napas saat melihat rekaman itu—Pak Arman memang masuk ke kamar penthouse setelah Nathaniel menghilang. Namun, rekaman itu terputus beberapa detik kemudian.

“Dia memotong rekaman itu,” gumam Liora. “Dia mencoba menyembunyikan sesuatu.”

Adrian mengangguk. “Ini baru permulaan. Kita harus mencari tahu apa yang dia sembunyikan.”

Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan, pintu ruang pengawasan terbuka dengan keras. Liora dan Adrian membalikkan badan, dan mereka mendapati Pak Arman berdiri di sana dengan tatapan tajam. Di tangannya, sebuah senjata terlihat mencolok di bawah cahaya lampu.

“Kalian pikir bisa bermain-main di sini?” katanya dingin.

Liora merasakan darahnya membeku. Mereka telah terjebak, dan tak ada jalan keluar.

Bab 4: Kedekatan yang Membahayakan

Liora menatap Pak Arman dengan tatapan campur aduk antara takut dan berani. Di belakangnya, Adrian tetap tenang, meski tubuhnya sedikit bergeser, seperti bersiap menghadapi sesuatu. Senjata yang dipegang Pak Arman tampak kokoh, mengancam keduanya untuk tidak bergerak.

“Kalian pikir kalian siapa, berani-beraninya mengacak-ngacak ruang pengawasan?” Pak Arman melangkah lebih dekat, matanya menyipit penuh amarah. “Apa yang kalian cari, hah?”

Liora mencoba menenangkan diri, menelan ludah sebelum menjawab. “Kami hanya… hanya menjalankan tugas. Ada laporan tentang kesalahan sistem CCTV, dan kami diperintahkan untuk memeriksa.”

Pak Arman tertawa kecil, namun tawa itu dingin. “Kalian pikir aku bodoh? Aku tahu siapa kalian sebenarnya. Dan kalian sudah salah besar menyentuh hal-hal yang seharusnya tidak kalian sentuh.”

Liora merasakan tubuhnya kaku, tetapi Adrian dengan sigap membuka mulut. “Kalau kau tahu siapa kami, maka kau juga tahu bahwa kami bukan orang biasa. Jika kau menyentuh kami, orang-orang di atasmu akan tahu.”

Ucapan Adrian membuat Pak Arman tampak ragu sejenak. Matanya menyipit, mencoba membaca Adrian. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Tapi kau lupa satu hal—di tempat ini, aku yang berkuasa.”

Tanpa peringatan, Pak Arman mengangkat senjatanya, tetapi sebelum ia sempat bertindak, Adrian melangkah cepat ke arahnya. Dalam hitungan detik, ia menendang tangan Pak Arman, membuat senjatanya terlepas dan jatuh ke lantai. Suara logam yang beradu memenuhi ruangan.

“Liora, lari!” teriak Adrian.

Namun, bukannya lari, Liora merunduk cepat dan mengambil senjata yang terjatuh, lalu mengarahkannya ke Pak Arman. Tangannya gemetar, tetapi ia mencoba terlihat tegas.

“Jangan bergerak,” katanya, suaranya bergetar.

Pak Arman mendengus, mengangkat tangannya perlahan. “Beraninya kau… kau bahkan tidak tahu apa yang sedang kau hadapi.”

“Katakan apa yang kau sembunyikan,” potong Adrian dengan nada tegas. “Apa yang kau lakukan di kamar Nathaniel malam itu?”

Pak Arman tersenyum sinis, meski dalam posisi terpojok. “Kalian tidak akan bisa menang. Apa pun yang kalian cari, itu tidak akan pernah keluar dari tempat ini. Mereka akan menemukan kalian sebelum kalian sempat bernapas lega.”

Liora mengernyit. “Mereka? Siapa ‘mereka’?”

Namun, Pak Arman tidak menjawab. Sebelum mereka sempat mendapatkan informasi lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar mendekat dari lorong di luar. Adrian menyadari situasinya semakin genting.

“Kita harus pergi sekarang,” kata Adrian sambil menarik Liora. “Tinggalkan dia di sini.”

“Tapi—”

“Tidak ada waktu!” Adrian memotong. Dengan cepat, ia menonaktifkan kamera di ruangan itu dan membawa Liora keluar melalui pintu belakang.

Mereka berlari melintasi lorong-lorong hotel yang sepi, mencari tempat yang aman. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah ruangan penyimpanan di lantai bawah tanah. Nafas Liora tersengal, dan tangannya masih gemetar karena kejadian barusan.

“Adrian… apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyanya dengan suara pelan.

Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Pak Arman jelas bekerja untuk seseorang yang ingin menutupi kematian Nathaniel. Dia bagian dari jaringan yang lebih besar, seperti yang kuduga.”

“Tapi dia menyebut tentang ‘mereka’… siapa yang dia maksud?” Liora mengusap pelipisnya, merasa pusing dengan semua informasi ini.

Adrian menatapnya dengan ekspresi serius. “Aku punya dugaan. Jaringan ini tidak hanya melibatkan Argos Corporation, tapi juga pihak-pihak yang berada di dalam pemerintahan. Mereka menggunakan hotel ini sebagai titik pertemuan dan tempat transaksi ilegal. Itu sebabnya Nathaniel menjadi target—karena dia tahu terlalu banyak.”

Kata-kata Adrian membuat Liora merinding. Ia sadar bahwa kasus ini jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Namun, ada sesuatu yang mengganggunya.

“Kenapa kau tidak memberitahu polisi atau pihak lain? Kau tahu semua ini, tapi kau memilih menghadapinya sendiri,” tanya Liora.

Adrian terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena aku tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Bahkan orang-orang yang seharusnya ada di pihak kita bisa saja terlibat. Dan aku… aku punya alasan pribadi untuk menyelesaikan ini sendiri.”

Liora menatap Adrian, mencoba memahami pikirannya. Meski ia tidak mengatakannya, ia bisa melihat ada beban besar yang ditanggung pria itu. Di balik sikap dingin dan misteriusnya, Adrian tampak seperti seseorang yang terluka.

“Aku akan membantumu,” kata Liora akhirnya. “Kalau kita ingin mengungkap kebenaran, kita harus melakukannya bersama.”

Adrian tersenyum tipis. “Kau tidak perlu terlibat lebih jauh, Liora. Ini terlalu berbahaya.”

“Terlalu terlambat untuk mundur,” balas Liora. “Aku sudah terlibat sejak awal.”

Namun, ketika mereka berencana melangkah ke tahap selanjutnya, sebuah pesan misterius muncul di ponsel Liora. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: “Berhenti sekarang, atau kau akan bernasib sama seperti Nathaniel.”

Wajah Liora memucat. Seseorang sedang memantau mereka. Dan ini baru permulaan dari teror yang akan mereka hadapi.

Bab 5: Kejaran Mematikan

Liora masih menatap layar ponselnya, tubuhnya gemetar membaca pesan ancaman itu. Pesan yang hanya berisi satu kalimat, namun mampu membuat pikirannya kacau: “Berhenti sekarang, atau kau akan bernasib sama seperti Nathaniel.”

Adrian mendekat, menatap layar ponsel itu dengan ekspresi gelap. “Mereka tahu kita,” ucapnya pelan, tapi tegas. “Kita tidak aman di sini.”

Liora mengangguk, meskipun napasnya masih terasa sesak. “Apa yang harus kita lakukan? Jika mereka memantau kita, mereka bisa saja menyerang kapan saja.”

Adrian berpikir cepat, menatap sekeliling ruangan penyimpanan tempat mereka bersembunyi. “Kita harus keluar dari hotel ini, tapi tidak melalui pintu utama. Mereka pasti sudah mengawasi setiap sudut.”

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Liora.

Adrian membuka pintu kecil di belakang ruangan penyimpanan, yang ternyata mengarah ke lorong sempit di area pelayanan hotel. “Lorong ini. Aku pernah melihatnya saat mencari jalan keluar. Ini mengarah ke tempat pembuangan sampah di belakang hotel.”

Liora mengangguk ragu, tapi ia tak punya pilihan. Dengan cepat, mereka berdua menyelinap melalui lorong gelap itu. Bau lembap dan udara pengap memenuhi ruang sempit, namun mereka terus bergerak, langkah kaki mereka nyaris tanpa suara.

Saat mereka hampir sampai di ujung lorong, suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Liora menahan napas, tubuhnya tegang. Adrian menatap ke arah suara itu, lalu menarik Liora untuk bersembunyi di balik tumpukan kardus bekas.

Beberapa detik kemudian, dua pria berbadan besar dengan seragam staf hotel muncul. Namun, ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak membawa alat kerja, melainkan senjata kecil yang terselip di pinggang mereka.

“Mereka jelas bukan staf biasa,” bisik Adrian di dekat telinga Liora. Suaranya tenang, meski situasinya jauh dari aman.

Liora mencoba tetap tenang, meskipun ia merasa tubuhnya hampir tak bisa bergerak. Pria-pria itu berbicara singkat dalam bahasa yang tidak ia mengerti, lalu melangkah pergi ke arah berlawanan. Saat mereka yakin situasi aman, Adrian memberi isyarat agar mereka keluar dari persembunyian.

Begitu sampai di tempat pembuangan sampah, mereka melihat sebuah truk kecil sedang parkir, menunggu untuk mengangkut limbah hotel. Adrian dengan cepat mengarahkan Liora untuk masuk ke bak belakang truk itu.

“Kita bisa menggunakan ini untuk keluar tanpa terlihat,” katanya. Liora ragu, tetapi ia mengikuti Adrian, memanjat ke dalam bak truk yang penuh dengan kantong sampah besar.

Tak lama kemudian, truk mulai bergerak. Meski bau busuk memenuhi udara, Liora merasa sedikit lega karena mereka akhirnya meninggalkan hotel tanpa terdeteksi. Namun, ia tahu pelarian ini hanya sementara. Ancaman masih membayangi.

Saat truk berhenti di luar area hotel, Adrian dan Liora menyelinap keluar dan berlari ke jalan utama. Adrian melambaikan tangan, menghentikan taksi yang lewat.

“Kita akan pergi ke tempat yang lebih aman,” ujar Adrian sambil masuk ke dalam taksi bersama Liora.

“Ke mana kita akan pergi?” tanya Liora, masih mencoba mengatur napasnya.

“Aku punya tempat persembunyian di pinggiran kota. Kita bisa merencanakan langkah selanjutnya di sana.”

Taksi melaju dengan cepat, membawa mereka keluar dari pusat kota yang gemerlap menuju area yang lebih sepi. Selama perjalanan, Liora mencoba menghubungkan semua yang terjadi. Pesan ancaman itu, keberadaan pria-pria bersenjata di hotel, dan keterlibatan Adrian dalam misteri ini—semuanya terasa seperti teka-teki yang semakin rumit.

“Apa kau yakin tempat ini aman?” tanya Liora, mencoba memastikan.

Adrian mengangguk. “Aku sudah mempersiapkan segalanya. Tidak ada yang tahu tempat ini, kecuali aku.”

Namun, begitu mereka tiba di lokasi yang dimaksud, sebuah rumah kecil di tengah hutan, Liora merasakan firasat aneh. Tempat itu terlalu sepi, terlalu gelap. Saat mereka mendekati pintu masuk, Adrian berhenti mendadak, tubuhnya tegang.

“Ada sesuatu yang salah,” bisiknya.

Sebelum Liora sempat bertanya, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Seseorang ada di sana. Adrian menarik Liora untuk bersembunyi di balik pohon terdekat, lalu mengeluarkan pisau kecil dari kantongnya.

“Siapa pun mereka, mereka pasti sudah menunggu kita,” ujar Adrian.

“Bagaimana bisa mereka tahu tempat ini?” bisik Liora dengan panik.

“Entahlah,” jawab Adrian. “Tapi kita akan mencari tahu.”

Malam itu, ketegangan mencapai puncaknya. Liora menyadari bahwa siapa pun yang ada di dalam rumah itu, mereka bukanlah sekadar ancaman. Mereka adalah bagian dari jaringan yang siap melakukan apa saja untuk menjaga rahasia mereka tetap terkubur.

Bab 6: Konspirasi di Balik Layar

Liora bersembunyi di balik pohon dengan napas tertahan. Ia memandang Adrian yang memegang pisau kecil dengan ketenangan luar biasa, meski ketegangan jelas terpancar dari sorot matanya. Suara langkah kaki di dalam rumah semakin jelas. Ada lebih dari satu orang di sana.

“Kita harus cari cara untuk masuk tanpa ketahuan,” bisik Adrian sambil menatap Liora.

“Tunggu,” bisik Liora, tangannya gemetar. “Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana kalau mereka tahu kita di sini?”

Adrian menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu. Percayalah.”

Liora hanya mengangguk, meski hatinya masih berdegup kencang. Adrian memberi isyarat untuk tetap diam, lalu mulai bergerak pelan menuju pintu samping rumah. Ia menekan pegangan pintu dengan hati-hati, dan ternyata tidak terkunci. Namun, ia tak langsung masuk. Sebaliknya, ia mengintip terlebih dahulu, memastikan situasi di dalam.

“Ada dua orang,” bisiknya. “Mereka tampaknya sedang memeriksa file-fileku.”

Liora merasa panik. Jika file Adrian sampai jatuh ke tangan mereka, segala rencana bisa berantakan. Tapi sebelum ia sempat memikirkan langkah selanjutnya, salah satu pria di dalam rumah berbicara dengan suara keras.

“Semua dokumen ini berisi data sensitif. Kalau Adrian menyebarkan ini, kita semua tamat.”

Liora menelan ludah. Apa yang dimaksud pria itu? Dokumen macam apa yang Adrian simpan di tempat ini?

Adrian menarik napas dalam, lalu menoleh pada Liora. “Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau cari cara untuk mengambil dokumen yang mereka pegang.”

Liora menggeleng. “Itu terlalu berbahaya.”

“Aku tidak akan membiarkan mereka membawa bukti ini. Ini satu-satunya cara untuk melawan mereka,” balas Adrian tegas.

Sebelum Liora bisa menolak lagi, Adrian sudah masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. Ia langsung menarik perhatian kedua pria itu.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini,” ucapnya dengan nada dingin.

Pria-pria itu terkejut, namun segera mengambil sikap defensif. Salah satu dari mereka tertawa kecil. “Adrian Blackwood. Akhirnya kau muncul juga.”

Adrian tersenyum tipis, tapi tatapannya penuh ancaman. “Kalau kalian berpikir bisa mencuri sesuatu dariku, kalian salah besar.”

Sementara Adrian berbicara dengan pria-pria itu, Liora menyelinap masuk melalui jendela kecil di sisi lain ruangan. Ia melihat sebuah meja penuh dengan dokumen berserakan. Salah satu folder tampak berbeda, dengan label bertuliskan “Operasi Argos”. Jantungnya berdegup kencang. Folder itu pasti berisi informasi penting.

Liora dengan hati-hati mengambil folder itu, berusaha tidak menimbulkan suara. Namun, salah satu pria melihat bayangan Liora di dinding.

“Hey, ada orang lain di sini!” serunya.

Adrian langsung bereaksi, menyerang pria itu dengan pisau kecilnya, sementara Liora mencoba melarikan diri dengan folder di tangannya. Pria kedua berusaha mengejar, tetapi Adrian menghadangnya, melemparkan kursi ke arah pria tersebut untuk menghalangi jalannya.

“Lari, Liora!” teriak Adrian.

Dengan napas tersengal, Liora berlari keluar rumah, menyusuri hutan gelap dengan folder erat di pelukannya. Ia bisa mendengar suara langkah kaki yang mengejarnya. Namun, ia tidak berani menoleh ke belakang. Hanya satu hal yang ada di pikirannya: ia harus menyelamatkan dokumen ini.

Setelah beberapa menit berlari tanpa arah, Liora akhirnya menemukan sebuah jalan kecil yang menuju ke kota. Namun, langkah kakinya berhenti ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Jendela mobil itu turun, dan seorang wanita berambut pendek dengan tatapan tajam menatapnya.

“Masuk,” kata wanita itu. “Aku di pihak Adrian.”

Liora ragu, tetapi tidak punya waktu untuk berpikir panjang. Ia masuk ke dalam mobil, dan kendaraan itu melaju cepat menjauh dari hutan. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Emily, salah satu rekan Adrian yang bekerja secara diam-diam untuk membongkar konspirasi Argos Corporation.

“Apa yang terjadi pada Adrian?” tanya Liora dengan napas tersengal.

Emily menatapnya melalui kaca spion. “Dia tahu risikonya. Aku yakin dia akan menemukan jalan keluar.”

Liora ingin mempercayai itu, tetapi rasa bersalah menghantamnya. Ia meninggalkan Adrian untuk menyelamatkan dokumen ini. Apa ia membuat keputusan yang benar?

Setelah mereka mencapai sebuah tempat aman, Emily mulai memeriksa dokumen dalam folder yang dibawa Liora. Wajahnya berubah serius saat ia membaca isinya.

“Ini lebih buruk dari yang kami duga,” ujar Emily. “Argos Corporation tidak hanya menjual teknologi pengawasan. Mereka juga melakukan uji coba ilegal pada manusia, menghapus dan memanipulasi ingatan.”

Liora tertegun. “Menghapus ingatan? Seperti… menghapus sebagian dari kehidupan seseorang?”

Emily mengangguk. “Ya. Nathaniel tahu tentang ini. Itu sebabnya dia dibunuh. Dan itu sebabnya mereka mengejar Adrian. Mereka ingin menghancurkan siapa pun yang tahu terlalu banyak.”

Liora merasa mual mendengar semua itu. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Emily menerima pesan di ponselnya. Pesan itu dari Adrian. “Aku selamat. Temui aku di lokasi yang sudah kita sepakati.”

Liora merasa lega, tetapi ia tahu, ini baru permulaan. Perjalanan mereka untuk mengungkap kebenaran dan melawan konspirasi besar ini masih panjang.

Bab 7: Konspirasi di Balik Layar

Setelah menerima pesan dari Adrian, Liora merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu segera tergantikan oleh ketegangan baru. Mereka harus bertemu Adrian di lokasi yang disebutkan—sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat yang menurut Emily cukup aman dari pengawasan Argos Corporation.

Selama perjalanan, Liora tak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja ia dengar. Argos Corporation melakukan uji coba ilegal pada manusia? Menghapus dan memanipulasi ingatan? Itu terdengar seperti cerita fiksi, tetapi sekarang ia menyadari bahwa dunia yang ia kenal tidak sebersih yang ia pikirkan.

“Apakah ini benar-benar mungkin? Menghapus ingatan seseorang?” tanya Liora pada Emily, yang sibuk mengemudi dengan mata waspada.

“Lebih dari itu,” jawab Emily tanpa menoleh. “Mereka bisa memilih ingatan mana yang ingin dihapus, dan bahkan menanamkan ingatan palsu. Bayangkan dampaknya—mereka bisa mengontrol siapa pun. Inilah kenapa Nathaniel mati. Dia tahu terlalu banyak, dan mereka tak bisa membiarkannya hidup.”

Liora terdiam, berusaha mencerna semuanya. Jika Argos Corporation benar-benar memiliki teknologi itu, mereka bukan hanya ancaman bagi individu, tetapi juga bagi dunia.

Saat mereka tiba di gudang, Adrian sudah menunggu di dalam. Wajahnya penuh luka kecil, tetapi ia tampak lega melihat Liora.

“Aku senang kau selamat,” katanya sambil menatapnya dengan intens. “Dan kau membawa dokumennya.”

Liora mengangguk, menyerahkan folder itu kepada Adrian. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya mencoba menyelamatkan ini.”

Adrian mengambil folder itu, lalu menatap Liora dengan senyuman samar. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Kau menyelamatkan sesuatu yang sangat penting.”

Emily melangkah maju, menyela momen itu. “Kita tidak punya banyak waktu. Argos pasti sudah tahu bahwa kita membawa dokumen ini. Apa rencanamu, Adrian?”

Adrian membuka folder dan membalik-balik isinya. Di sana terdapat daftar nama, lokasi uji coba, dan bahkan catatan tentang beberapa korban yang ingatannya telah dihapus. Ia menatap Emily dengan serius. “Kita harus memublikasikan ini. Kita butuh bantuan media, jurnalis yang bisa dipercaya.”

Liora menegakkan tubuhnya. “Aku seorang jurnalis. Aku bisa membantu kalian menyebarkan ini.”

Adrian menatapnya dengan ragu. “Ini bukan tugas yang mudah, Liora. Jika kau melakukannya, mereka akan memburu kita sampai mati. Kau yakin siap menghadapi itu?”

Liora mengangguk dengan mantap. “Aku sudah terlalu jauh untuk mundur. Ini adalah kebenaran yang harus diungkapkan, apa pun risikonya.”

Adrian menghela napas panjang, seakan memikirkan keputusan besar. Akhirnya, ia menyerahkan folder itu pada Liora. “Baiklah. Tapi kita harus berhati-hati. Tidak semua media bisa dipercaya. Mereka mungkin sudah punya koneksi di sana.”

Emily menambahkan, “Ada satu tempat yang bisa kita tuju. Seorang editor bernama Hendra Kusuma, pemimpin redaksi media independen. Dia dikenal karena integritasnya. Kalau kita bisa menghubunginya, dia mungkin mau membantu.”

Rencana pun dibuat. Mereka memutuskan untuk bertemu Hendra secara langsung, menghindari komunikasi elektronik yang bisa dilacak. Namun, saat mereka bersiap untuk pergi, suara kendaraan mendekat dari kejauhan. Adrian memandang Emily dengan tatapan tegang.

“Mereka menemukan kita,” katanya singkat.

Liora melihat keluar jendela kecil gudang dan mendapati tiga SUV hitam berhenti di depan. Beberapa pria berpakaian serba hitam keluar, masing-masing membawa senjata.

“Kita harus pergi sekarang!” seru Emily.

Adrian menarik Liora, membimbingnya ke pintu belakang gudang. Mereka keluar dengan cepat, berlari menuju hutan kecil di belakang gudang. Namun, suara langkah kaki dan perintah tegas dari para pria itu semakin mendekat.

“Jangan biarkan mereka lolos!” teriak salah satu pria.

Liora hampir kehabisan napas, tetapi ia terus berlari, mengikuti Adrian dan Emily. Namun, salah satu pria bersenjata berhasil mendekati mereka. Ia mengangkat senjatanya, bersiap menembak.

Saat itulah Adrian berbalik, dengan cepat melemparkan pisau kecil ke arah pria itu, tepat mengenai tangannya. Senjata pria itu jatuh, dan ia berteriak kesakitan. Adrian menarik Liora lagi, mendorongnya untuk terus berlari.


Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, mereka akhirnya tiba di sebuah jalan besar. Emily melambai pada truk yang lewat, dan supir truk itu, seorang pria tua, menghentikan kendaraannya.

“Tolong, kami butuh tumpangan!” kata Emily dengan nada mendesak.

Supir itu ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka bertiga segera masuk ke dalam bak truk, bersembunyi di antara tumpukan peti kayu.

Saat truk mulai bergerak, Liora akhirnya bisa bernapas lega. Namun, ia tahu ini hanya jeda sementara. Mereka mungkin selamat malam ini, tetapi konspirasi besar di balik Argos Corporation masih memburu mereka.

Adrian menatap Liora. “Kita harus cepat. Sebelum mereka bisa menutup semua jalan, kita harus menyebarkan kebenaran ini.”

Liora mengangguk, meski ia tahu risikonya. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun, jika ia bisa mengungkap kebenaran ini ke dunia, semua akan sepadan.

Bab 8: Pengkhianatan yang Menyakitkan

Setelah perjalanan panjang yang penuh ketegangan, Liora, Adrian, dan Emily akhirnya tiba di sebuah tempat aman di luar kota—sebuah rumah tua milik salah satu kenalan Emily yang dipercaya. Mereka tahu waktu mereka tidak banyak. Argos Corporation bisa kapan saja menemukan mereka jika mereka ceroboh.

Adrian menyusun rencana untuk bertemu Hendra Kusuma, editor media independen yang dikenal integritasnya. Mereka yakin Hendra adalah kunci untuk membawa dokumen rahasia ini ke publik. Namun, di tengah suasana yang mencekam, Liora merasa ada sesuatu yang aneh. Sejak insiden di gudang, Emily tampak gelisah, seolah menyembunyikan sesuatu.

Malam itu, saat Adrian dan Emily sedang berdiskusi, Liora memutuskan untuk menyendiri di ruang tamu rumah. Ia membuka kembali dokumen yang mereka bawa, membaca nama-nama yang tercantum di dalamnya. Salah satu nama menarik perhatiannya: Darren Blackwood—ayah Adrian.

Ia langsung teringat percakapan sebelumnya dengan Adrian. Pria itu tak pernah menyebut keluarganya, kecuali Nathaniel yang ia akui sebagai saudara tirinya. Mengapa nama ayahnya ada di dokumen ini? Apa artinya Darren terlibat dalam konspirasi ini?

Saat Liora sedang larut dalam pikirannya, suara pintu berderit membuatnya tersentak. Emily berdiri di sana, menatapnya dengan wajah serius.

“Kau tidak seharusnya membaca itu sendirian,” kata Emily, suaranya dingin.

Liora menutup dokumen itu dengan cepat. “Aku hanya mencoba memahami semuanya.”

Emily berjalan mendekat, lalu duduk di hadapannya. “Kau tahu, Liora, ini bukan hanya tentang Argos Corporation. Ini tentang kekuasaan. Tentang siapa yang bisa mengendalikan dunia. Jika kau tidak cukup kuat, kau akan dihancurkan.”

Liora mengernyit. “Apa maksudmu?”

Sebelum Emily menjawab, Adrian muncul dari pintu lain. Ia menatap keduanya dengan sorot mata curiga. “Ada yang terjadi di sini?”

Emily tersenyum tipis, lalu berdiri. “Tidak, hanya obrolan biasa.” Namun, nada suaranya membuat Liora semakin curiga. Ada sesuatu yang salah dengan Emily.

Keesokan harinya, mereka bersiap menemui Hendra di sebuah lokasi rahasia di tengah kota. Adrian meminta Liora membawa dokumen itu, sementara Emily bertugas mengatur transportasi dan memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

Namun, di tengah perjalanan menuju lokasi pertemuan, Liora merasa sesuatu tidak beres. Mobil yang mereka naiki tiba-tiba berhenti di tengah jalan yang sepi. Adrian mengerutkan dahi, menoleh ke arah Emily yang duduk di kursi pengemudi.

“Kenapa kita berhenti?” tanyanya tegas.

Emily tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. Dalam hitungan detik, suara langkah kaki terdengar dari luar mobil. Liora menoleh dan melihat beberapa pria bersenjata mendekati mereka.

“Kau mengkhianati kami?” tanya Adrian dengan nada bergetar, meskipun ia berusaha terlihat tenang.

Emily menatap Adrian dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku tidak punya pilihan, Adrian. Mereka mengancam keluargaku. Jika aku tidak menyerahkan kalian, mereka akan membunuh semuanya.”

“Kau seharusnya memberi tahu kami!” teriak Liora. “Kita bisa mencari solusi bersama!”

Emily menunduk, tetapi sebelum ia sempat menjawab, para pria bersenjata itu membuka pintu mobil dan menyeret mereka keluar. Adrian berusaha melawan, tetapi salah satu dari mereka memukulnya hingga tersungkur.

“Bawa mereka,” perintah salah satu pria, suaranya dingin.

Liora, Adrian, dan Emily dibawa ke sebuah gudang besar di pinggiran kota. Di sana, mereka dihadapkan pada seorang pria berjas hitam dengan tatapan dingin. Wajahnya terlihat familiar, tetapi Liora tidak bisa mengingat dari mana ia mengenalnya.

“Selamat datang,” katanya sambil tersenyum tipis. “Aku sudah menunggu kalian.”

Adrian menatap pria itu dengan penuh kebencian. “Kau… Darren Blackwood.”

Liora terkejut. Pria ini adalah ayah Adrian? Apa hubungannya dengan Argos Corporation?

“Ayahku,” ujar Adrian dengan suara dingin. “Jadi ini semua ulahmu? Kau membunuh Nathaniel? Kau menjalankan semua ini?”

Darren tertawa kecil. “Nathaniel terlalu banyak bertanya. Dia melupakan tempatnya. Dan kau, Adrian, seharusnya juga tahu kapan harus berhenti.”

Adrian mengepalkan tinjunya, tetapi ia terlalu lemah untuk melawan. Darren mendekat ke arah Liora, menatapnya dengan mata penuh rasa ingin tahu.

“Kau pasti Liora, jurnalis pemberani yang mencoba mengungkap semuanya. Aku harus mengakui, kau cukup cerdas untuk sampai sejauh ini.”

Liora menatapnya tajam. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Darren tersenyum dingin. “Aku hanya ingin memastikan dokumen itu tidak pernah keluar. Dan kau, bersama Adrian, akan menjadi pelajaran bagi siapa pun yang mencoba melawan kami.”

Liora merasakan tubuhnya gemetar. Ia tahu ini adalah titik kritis. Jika mereka tidak menemukan cara untuk melarikan diri, semuanya akan berakhir di sini.

Namun, sebelum Darren sempat memberikan perintah kepada anak buahnya, sebuah ledakan kecil terdengar dari luar. Asap memenuhi ruangan, dan suara tembakan menggema di udara. Dalam kekacauan itu, seseorang menarik Liora keluar dari tempatnya.

“Cepat, ikut aku!” seru suara yang familiar.

Itu adalah Hendra Kusuma. Ia datang bersama sekelompok orang bersenjata yang tampaknya adalah tim penyelamat yang ia bawa. Liora, Adrian, dan bahkan Emily dibantu keluar dari gudang.

Saat mereka mencapai kendaraan yang menunggu di luar, Hendra menoleh ke Liora. “Kita harus pergi sekarang. Mereka akan mengejar kita.”

Liora mengangguk, tetapi pikirannya masih terpaku pada Darren. Konspirasi ini jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Pertarungan mereka baru saja dimulai.

Bab 9: Kebenaran Adrian

Perjalanan mereka dari gudang menuju tempat persembunyian terasa panjang dan penuh ketegangan. Di dalam kendaraan, Hendra Kusuma, yang kini menjadi sekutu mereka, menjelaskan bahwa ia telah mengikuti perkembangan kasus ini sejak lama. Namun, ia tidak pernah memiliki bukti konkret hingga Liora dan Adrian datang dengan dokumen rahasia Argos Corporation.

“Aku sudah lama curiga bahwa Argos Corporation menyembunyikan sesuatu,” ujar Hendra sambil menatap dokumen di tangannya. “Tapi aku tidak menyangka mereka berani sejauh ini—mengontrol ingatan manusia. Ini bukan sekadar teknologi, ini senjata yang bisa menghancurkan dunia.”

Liora mengangguk, meski pikirannya masih sibuk memikirkan kejadian di gudang. Darren Blackwood, ayah Adrian, ternyata adalah dalang utama di balik semua ini. Ia memimpin jaringan yang menggunakan teknologi penghapusan ingatan untuk menjaga kekuasaan dan menyingkirkan siapa pun yang menjadi ancaman.

Adrian duduk di pojok kendaraan, diam dengan pandangan yang sulit ditebak. Liora menyadari bahwa pria itu terlihat lebih dingin dan terpukul sejak pertemuan dengan Darren.

“Kau baik-baik saja?” bisik Liora, mencoba membuka percakapan.

Adrian menoleh, lalu mengangguk singkat. “Aku baik. Tapi aku tidak bisa diam saja. Darren harus dihentikan, apa pun risikonya.”

Liora mengerti rasa marah Adrian, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa bahwa Adrian menyembunyikan sesuatu.

Setelah tiba di tempat persembunyian, sebuah rumah kecil di tengah hutan, mereka segera memulai diskusi. Hendra menjelaskan bahwa ia memiliki koneksi dengan media internasional yang dapat membantu menyebarkan dokumen ini ke seluruh dunia. Namun, mereka harus melakukannya dengan hati-hati karena jaringan Darren memiliki pengaruh besar di berbagai sektor, termasuk media.

“Aku akan menghubungi kontakku malam ini,” kata Hendra. “Tapi kita butuh lebih dari sekadar dokumen ini. Kita butuh bukti tambahan, sesuatu yang tidak bisa disangkal.”

Adrian berdiri dari kursinya. “Ada satu tempat yang mungkin memiliki semua jawaban yang kita butuhkan—markas utama Argos Corporation.”

Semua mata tertuju padanya. Emily yang duduk di sudut ruangan menggeleng pelan. “Itu gila, Adrian. Markas itu pasti dilindungi dengan keamanan tingkat tinggi. Kau tidak bisa masuk begitu saja.”

“Tapi itu satu-satunya cara,” jawab Adrian tegas. “Jika kita bisa mengambil data dari server utama mereka, kita bisa membongkar semuanya. Termasuk siapa saja yang terlibat.”

Liora menatap Adrian dengan khawatir. “Adrian, ini terlalu berbahaya. Mereka pasti sudah siap menghadapi siapa pun yang mencoba mendekati markas itu.”

Adrian menatap Liora dengan intens. “Aku tahu risikonya. Tapi ini bukan hanya tentang kebenaran. Ini tentang membayar harga untuk semua yang mereka lakukan, termasuk kematian Nathaniel.”

Malam itu, saat semua orang sedang mempersiapkan rencana, Liora mendapati Adrian berdiri sendirian di luar rumah, menatap bintang-bintang. Ia mendekatinya pelan.

“Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?” tanya Liora dengan suara lembut. “Aku tahu ada sesuatu yang kau tidak katakan pada kami.”

Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Darren bukan hanya ayahku. Dia adalah orang yang mengontrol seluruh hidupku sejak aku kecil. Dia menciptakan versi diriku yang ia inginkan—seseorang yang patuh, seseorang yang bisa ia kendalikan.”

Liora terkejut. “Apa maksudmu?”

Adrian menghela napas panjang. “Aku adalah salah satu subjek uji coba pertama Argos Corporation. Mereka menghapus sebagian besar ingatanku, termasuk ingatan tentang ibuku. Darren mengklaim itu dilakukan demi kebaikanku, tetapi aku tahu itu hanya alasan untuk memastikan aku tetap berada di bawah kendalinya.”

Liora terdiam, merasa terhimpit oleh kebenaran yang baru saja ia dengar. “Jadi, kau juga korban dari teknologi ini?”

Adrian mengangguk. “Itu sebabnya aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Nathaniel berusaha menghentikan ini, dan dia mati karenanya. Aku tidak akan membiarkan Darren menang.”

Keesokan harinya, mereka menyusun rencana untuk menyusup ke markas Argos Corporation. Emily, yang merasa bersalah karena pengkhianatannya sebelumnya, menawarkan diri untuk membantu mereka masuk dengan memanfaatkan koneksi lamanya di perusahaan itu. Adrian akan menjadi orang yang mengambil data dari server utama, sementara Liora dan Hendra akan memastikan bahwa data tersebut segera disebarkan ke media.

Namun, saat mereka bersiap-siap, Hendra memperingatkan mereka. “Ini mungkin akan menjadi misi terakhir kita. Jika kita gagal, tidak ada jalan keluar.”

Liora menatap Adrian, yang tampak tenang meski ada kegelisahan di matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah segalanya bagi Adrian. Dan meski ia takut, ia memutuskan untuk tetap berada di sisinya, apa pun yang terjadi.

“Kalau begitu,” ujar Liora dengan suara tegas. “Kita pastikan bahwa kita tidak gagal.”

Dengan rencana yang telah disusun, mereka meninggalkan tempat persembunyian, menuju markas Argos Corporation. Namun, di tengah perjalanan, Liora merasa bahwa ini bukan hanya tentang membongkar konspirasi. Ini tentang menyelamatkan Adrian dari masa lalunya yang gelap.

Bab 10: Akhir yang Tak Terduga

Markas besar Argos Corporation berdiri megah di pusat kota, sebuah bangunan kaca dengan sistem keamanan yang canggih. Namun, di balik kemewahannya, tempat itu menyimpan rahasia gelap yang menjadi pusat konspirasi global. Malam itu, Adrian, Liora, Emily, dan Hendra memulai langkah terakhir mereka—misi yang akan menentukan segalanya.

Mereka berhasil menyusup ke dalam markas melalui terowongan bawah tanah yang digunakan untuk transportasi logistik. Emily menggunakan identitas lamanya sebagai mantan karyawan untuk membuka akses pintu keamanan, sementara Adrian dan Liora mengikuti di belakangnya dengan hati-hati.

“Aku tidak yakin berapa lama kita bisa tetap tak terdeteksi,” bisik Emily. “Kita harus bergerak cepat.”

Adrian mengangguk. “Kita langsung menuju ruang server.”

Ruang server Argos berada di lantai bawah tanah terdalam, dilindungi oleh pintu baja besar yang hanya bisa dibuka dengan akses biometrik. Emily mengetikkan serangkaian kode, lalu menempelkan sidik jarinya pada sensor.

“Kau yakin ini akan berhasil?” tanya Liora, jantungnya berdegup kencang.

Emily menarik napas dalam. “Kita hanya punya satu kesempatan.”

Pintu baja terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan penuh dengan rak-rak server yang berisi data rahasia Argos Corporation. Adrian segera bergerak menuju konsol utama, menghubungkan drive eksternal untuk menyalin data.

“Berapa lama?” tanya Liora, berdiri di dekatnya untuk berjaga-jaga.

“Lima menit,” jawab Adrian sambil mengetik cepat di keyboard. “Aku menyalin semua file tentang teknologi penghapusan ingatan, eksperimen manusia, dan daftar orang-orang yang terlibat.”

Namun, sebelum proses selesai, alarm berbunyi. Lampu merah berkedip di seluruh ruangan.

“Mereka tahu kita di sini!” seru Emily. “Kita harus bersiap!”

Liora menatap Adrian. “Kau harus cepat!”

Adrian tetap tenang meski situasinya semakin mencekam. “Hampir selesai. Lindungi aku sampai ini selesai.”

Tak lama kemudian, pintu ruang server terbuka dengan keras. Beberapa pria bersenjata masuk, dipimpin oleh Darren Blackwood sendiri. Wajahnya dingin, namun ada senyuman kecil yang mengintimidasi.

“Adrian, aku seharusnya tahu kau akan sampai sejauh ini,” kata Darren sambil melangkah maju. “Kau selalu menjadi anak yang keras kepala.”

Adrian berdiri, menatap Darren tanpa gentar. “Dan kau selalu menjadi monster, bahkan terhadap keluargamu sendiri.”

Darren mengangkat alisnya. “Aku melakukan apa yang perlu dilakukan untuk melindungi kekuasaan kita. Tapi kau… kau memutuskan untuk menjadi pengkhianat.”

Adrian tertawa dingin. “Kekuasaan? Kau menyebut ini kekuasaan? Apa kau sadar berapa banyak nyawa yang telah hancur karena teknologi ini? Termasuk hidupku.”

Darren menghela napas. “Adrian, kau tidak mengerti. Dunia ini tidak bisa dibiarkan bebas. Hanya mereka yang kuat yang berhak menentukan segalanya. Teknologi ini adalah masa depan.”

“Teknologi ini adalah kutukan,” balas Adrian tegas. “Dan aku akan menghancurkannya.”

Sementara mereka berdebat, Liora dan Emily menggunakan momen itu untuk menyerang pria-pria bersenjata. Emily berhasil melumpuhkan salah satu dari mereka, sementara Liora melindungi Adrian yang masih menyalin data. Namun, Darren tiba-tiba mengeluarkan pistol, mengarahkannya langsung ke Adrian.

“Kau pikir aku akan membiarkan ini berakhir seperti ini?” kata Darren dengan nada dingin. “Berhenti sekarang, atau aku akan menembak.”

Adrian berdiri diam, menatap ayahnya tanpa rasa takut. “Lakukan saja. Tapi itu tidak akan menghentikan apa yang telah dimulai.”

Sebelum Darren sempat menarik pelatuknya, Liora melompat ke arahnya, mencoba merebut pistol itu. Dalam perkelahian singkat, sebuah tembakan terdengar. Semuanya berhenti.

Liora terjatuh, memegangi lengan kirinya yang terkena peluru. Adrian berlari menghampirinya, sementara Darren tampak terkejut, meski masih memegang pistol.

“Kau tidak harus melakukan ini,” kata Adrian kepada Darren, nadanya penuh emosi. “Hentikan sekarang, sebelum kau kehilangan segalanya.”

Darren menatap putranya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Untuk pertama kalinya, ia terlihat ragu. Namun, sebelum ia bisa membuat keputusan, Emily melumpuhkannya dengan pukulan keras di belakang kepala, membuatnya jatuh pingsan.

“Dia terlalu banyak bicara,” ujar Emily sambil menghela napas.

Data akhirnya selesai disalin. Adrian menarik drive eksternal itu dan memberikan salinannya kepada Hendra, yang sudah menunggu di luar.

“Kita harus segera menyebarkan ini,” kata Hendra. “Kalau kita berhasil, Argos tidak akan bisa menutupi ini lagi.”

Namun, sebelum mereka pergi, Adrian memutuskan untuk melakukan satu hal terakhir. Ia mengatur sistem server untuk menghancurkan semua data yang tersisa, memastikan bahwa teknologi penghapusan ingatan tidak akan pernah bisa digunakan lagi.

“Adrian, apa yang kau lakukan?” tanya Liora, menahan rasa sakit di lengannya.

“Aku harus memastikan semuanya berakhir di sini,” jawab Adrian. “Mereka tidak akan punya kesempatan kedua.”

Adrian menekan tombol terakhir, dan seluruh server mulai terbakar, dihancurkan oleh sistem penghancur internal. Mereka semua berlari keluar dari gedung saat alarm darurat berbunyi.

Beberapa hari kemudian, data rahasia Argos Corporation tersebar luas melalui media internasional. Dunia terkejut mengetahui kejahatan yang telah dilakukan perusahaan itu, dan para pelaku mulai ditangkap satu per satu. Darren Blackwood ditahan, namun ia tetap membisu selama interogasi.

Adrian, Liora, dan Emily akhirnya mendapatkan sedikit kedamaian, meski mereka tahu hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. Di sebuah tempat yang tenang, Liora menatap Adrian.

“Kau akhirnya bebas,” katanya lembut.

Adrian tersenyum tipis. “Ya, tapi dengan harga yang mahal.”

Liora menggenggam tangannya. “Tapi kau membuat perubahan. Nathaniel pasti bangga padamu.”

Adrian menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada harapan di tengah kegelapan. Perjalanan mereka mungkin telah berakhir, tetapi kisah mereka baru saja dimulai.

(TAMAT).

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *