Aline, seorang pustakawan, menemukan jam kuno yang memungkinkannya bertemu dengan Alaric, seorang pangeran dari masa lalu. Pertemuan mereka membuka kisah cinta yang tak terduga, tetapi jam itu perlahan merusak aliran waktu. Bersama, mereka berjuang mencari cara memperbaikinya, menghadapi bahaya dari Penjaga Waktu hingga pengorbanan besar.
Ketika cinta mereka melintasi batas ruang dan waktu, akankah mereka mampu menyelamatkan dunia tanpa kehilangan satu sama lain? Cerita penuh romansa, petualangan, dan keajaiban ini menggambarkan bahwa cinta sejati bisa bertahan bahkan melawan waktu.
Bab 1: Penemuan di Antara Debu
Aline menghela napas pelan, menatap langit-langit perpustakaan yang dipenuhi sarang laba-laba. Hari itu seperti hari-hari sebelumnya, sepi dan sunyi. Tidak banyak pengunjung yang datang ke perpustakaan tua itu. Hanya segelintir orang yang tertarik menjelajahi koleksi buku-buku antik yang berdebu, termasuk Aline sendiri.
Sebagai pustakawan, ia terbiasa menghabiskan waktu sendirian di sudut terpencil, menyusun buku atau mengorganisasi dokumen lama. Tapi hari itu, ada sesuatu yang mengusiknya. Sebuah lemari kayu besar di pojok ruang bawah tanah yang selama ini terkunci rapat.
“Kenapa tidak ada yang pernah membuka ini?” gumam Aline, membelai gagang pintu lemari yang usang. Kunci kecil menggantung di sisinya, seolah menantang untuk diputar. Dengan rasa penasaran yang menggelitik, ia mengambil kunci itu dan mencoba membukanya.
Terdengar suara klik. Lemari itu terbuka perlahan, mengeluarkan aroma kayu tua dan debu. Di dalamnya, Aline menemukan berbagai benda antik—lukisan, peralatan menulis kuno, dan di bagian paling bawah, sebuah jam kuno.
Jam itu berbentuk bulat dengan ukiran rumit di permukaannya. Jarum jamnya berhenti pada angka tiga belas, angka yang tidak lazim untuk sebuah jam. Di tengahnya, terdapat kristal kecil yang berkilauan samar, seolah menyimpan energi tersembunyi.
“Apa ini?” Aline berbisik, memegang jam itu dengan hati-hati. Ketika ia menyentuh permukaannya, rasa hangat menjalar melalui jemarinya. Tiba-tiba, ruangan terasa berputar.
Cahaya keemasan menyelimuti sekelilingnya. Buku-buku di rak seolah menghilang, berganti dengan pemandangan taman indah yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Suara burung berkicau menggema, dan udara terasa jauh lebih segar daripada di perpustakaan bawah tanah.
“Aku… di mana ini?”
Belum sempat ia menguasai dirinya, seorang pria muda dengan pakaian bangsawan berdiri tidak jauh darinya. Rambutnya berwarna cokelat keemasan, matanya tajam namun penuh kehangatan. Ia menatap Aline dengan ekspresi campuran antara keheranan dan kewaspadaan.
“Siapa kau?” suara pria itu dalam dan jelas, tetapi nada asing terdengar di telinganya.
Aline terpaku, tidak tahu harus berkata apa. Jam kuno di tangannya tiba-tiba bersinar lembut, seolah menjawab pertanyaan yang bahkan belum terucap.
“Apa kau dari masa depan?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.
Aline hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa ia telah melangkah ke dalam petualangan yang tidak pernah ia bayangkan.
Bab 2: Pertemuan Tak Terduga
Aline masih tertegun di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Udara di sekitarnya terasa begitu berbeda—segar dan wangi, dengan aroma bunga yang tak dikenalnya. Sementara itu, pria muda di hadapannya masih menatapnya dengan penuh selidik.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata pria itu, melangkah mendekat. Jubah panjangnya yang dihiasi bordiran emas menyapu rerumputan. “Siapa kau, dan bagaimana bisa kau ada di sini?”
Aline menelan ludah, berusaha merangkai kata. “Namaku… Aline. Aku… tidak tahu bagaimana aku sampai di sini. Aku hanya menyentuh ini.” Ia mengangkat jam kuno di tangannya, kristalnya masih bersinar lembut.
Mata pria itu membelalak ketika melihat jam tersebut. “Jam itu…” Ia terdengar seperti menahan napas. “Itu adalah artefak terlarang. Bagaimana bisa kau memilikinya?”
“Artefak terlarang?” Aline mengerutkan dahi. “Aku menemukannya di perpustakaan. Aku tidak tahu benda ini bisa… membawa aku ke sini.”
Pria itu mendekat, kini jarak mereka hanya beberapa langkah. Sorot matanya penuh campuran rasa ingin tahu dan kehati-hatian. “Aku adalah Pangeran Alaric, pewaris kerajaan ini. Jam yang kau bawa adalah bagian dari legenda kuno. Katanya, jam itu bisa melintasi waktu, tapi juga membawa kehancuran jika digunakan sembarangan.”
Kata-kata Alaric membuat Aline semakin bingung. “Melintasi waktu? Jadi… ini masa lalu?”
Alaric mengangguk perlahan. “Ini tahun 1623. Kau… benar-benar dari masa depan?”
Aline hanya bisa mengangguk. Alaric mengamati Aline dari kepala hingga kaki, seolah mencari tanda-tanda aneh. “Pakaianmu memang tidak seperti yang biasa kulihat. Tapi bagaimana kau bisa menemukan jam itu? Bukankah jam itu telah hilang selama berabad-abad?”
Aline menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya seorang pustakawan. Tapi… bagaimana mungkin jam ini milik masa lalu? Perpustakaan tempat aku menemukannya tidak pernah menyebutkan apa-apa soal itu.”
Alaric termenung sejenak, lalu memandang Aline dengan serius. “Kau harus berhati-hati. Jam itu tidak hanya sekadar alat perjalanan waktu. Legenda mengatakan, semakin sering kau menggunakannya, semakin besar risiko mengganggu aliran waktu. Dan ketika aliran waktu terganggu…”
“Ketika terganggu, apa yang terjadi?” potong Aline dengan cemas.
“Segalanya akan berhenti,” jawab Alaric, suaranya rendah namun tegas.
Aline merasa jantungnya berdegup kencang. “Berhenti? Maksudmu, waktu… tidak akan berjalan lagi?”
Alaric mengangguk. “Dan bukan hanya di satu masa. Semua masa—dari awal hingga akhir waktu—akan terhenti. Itu sebabnya jam itu disembunyikan, untuk melindungi dunia dari kehancuran.”
Keheningan meliputi mereka berdua. Hanya suara burung dan angin yang berdesir pelan.
“Aku tidak ingin menciptakan kekacauan,” kata Aline dengan lirih. “Bahkan aku tidak tahu jam ini punya kekuatan sebesar itu. Aku hanya ingin kembali ke tempatku.”
Alaric menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rasa iba, tetapi juga keteguhan. “Aku akan membantumu. Tapi kau harus bersiap, Aline. Tidak mudah memperbaiki aliran waktu, apalagi jika jam itu sudah teraktifkan.”
Aline memandangi Alaric, hatinya bercampur aduk. Ia tidak tahu apa yang akan menantinya, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak bisa melakukannya sendirian.
Dan di sanalah, di bawah matahari sore yang mulai meredup, sebuah perjanjian diam-diam terbentuk di antara mereka—seorang pustakawan dari masa depan dan seorang pangeran dari masa lalu, bertekad untuk memperbaiki apa yang telah dimulai oleh jam kuno itu.
Bab 3: Rahasia Jam Kuno
Aline duduk di bangku kayu di tengah taman istana, memandangi jam kuno yang sekarang terasa berat di tangannya. Alaric berdiri tidak jauh darinya, wajahnya serius saat ia melihat ke arah langit, seolah mencari jawaban.
“Jam ini benar-benar misteri,” gumam Aline, lebih kepada dirinya sendiri. “Bagaimana mungkin benda ini bisa memengaruhi aliran waktu? Dan kenapa aku yang menemukannya?”
Alaric mendekat, membawa sebuah buku tebal yang ia ambil dari perpustakaan kerajaan. Kulit buku itu tampak lusuh, dengan judul yang hampir pudar. “Ini satu-satunya buku yang menyebut tentang jam tersebut,” katanya sambil meletakkannya di meja kecil di samping Aline.
Buku itu terbuka pada sebuah halaman yang memperlihatkan sketsa jam yang sangat mirip dengan milik Aline. Di bawahnya tertulis: Lentera Waktu – Penjaga Dimensi dan Pemutus Aliran.
“Penjaga Dimensi dan Pemutus Aliran?” Aline membaca keras-keras. Ia memandang Alaric dengan bingung. “Apa maksudnya?”
Alaric menunjuk beberapa baris di bawahnya. “Legenda mengatakan bahwa jam ini diciptakan oleh seorang ilmuwan bernama Erasmus—seorang jenius yang hidup dalam bayang-bayang kerajaan. Ia percaya bahwa waktu bukanlah garis lurus, tetapi jaringan yang bisa dijelajahi. Namun, percobaannya terlalu berbahaya. Setelah ia menciptakan jam ini, aliran waktu mulai terganggu. Bencana hampir terjadi, dan Erasmus menghilang bersama jam tersebut.”
Aline merinding mendengar cerita itu. “Jadi… jam ini bukan hanya alat perjalanan waktu. Ini semacam… kunci untuk seluruh dimensi?”
Alaric mengangguk. “Benar. Tapi ada satu hal yang lebih menakutkan.” Ia menunjuk bagian lain di halaman itu. “Jam ini hanya bisa digunakan oleh orang yang dipilih oleh waktu itu sendiri. Tapi setiap kali digunakan, jam itu menyerap energi dari aliran waktu, dan itu membuat dunia semakin tidak stabil.”
Aline merasakan gelombang ketakutan. “Berarti, setiap kali aku menggunakan jam ini untuk kembali ke masaku, aku malah memperparah kerusakan?”
“Sayangnya, ya,” jawab Alaric. “Dan yang lebih buruk, begitu aliran waktu benar-benar rusak, segalanya akan berhenti—selamanya.”
Aline menatap jam itu dengan perasaan bercampur aduk. “Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus kembali ke duniaku. Aku tidak bisa hidup di sini.”
Alaric terdiam, lalu membuka halaman lain di buku itu. “Ada satu cara. Erasmus menciptakan sesuatu yang disebut ‘Obor Waktu’—sebuah alat yang bisa memperbaiki aliran waktu yang rusak. Tapi tidak ada yang tahu di mana itu sekarang. Beberapa mengatakan ia menyembunyikannya di dalam dimensi yang hanya bisa diakses oleh jam ini.”
“Jadi, kita harus mencari Obor Waktu itu?” Aline bertanya, mencoba mencerna informasi yang terasa semakin rumit.
Alaric mengangguk lagi. “Ya. Tapi perjalanannya tidak akan mudah. Setiap dimensi yang kita masuki mungkin punya bahayanya sendiri. Dan semakin lama kita menghabiskan waktu di sana, semakin besar risiko jam ini kehabisan energi dan menghancurkan segalanya.”
Aline menghela napas panjang. Ia memandang Alaric, mencoba mencari keyakinan dalam sorot matanya. “Kalau begitu, aku butuh bantuanmu. Aku tidak bisa melakukannya sendiri.”
Alaric tersenyum tipis. “Kita akan melakukannya bersama. Tapi kau harus siap untuk menghadapi apapun yang ada di depan.”
Aline mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, ia takut akan apa yang akan terjadi jika mereka gagal. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan segalanya berakhir begitu saja.
Malam itu, Aline dan Alaric memulai persiapan mereka—mempelajari buku-buku kuno, meneliti simbol-simbol di jam tersebut, dan mencoba memahami cara kerja dimensi waktu. Jam itu kini menjadi lebih dari sekadar benda; itu adalah harapan mereka untuk menyelamatkan dunia.
Namun, di tengah keheningan malam, Aline tidak bisa menahan pikirannya dari sebuah pertanyaan yang terus mengganggu: Kenapa aku yang dipilih?
Bab 4: Percikan di Balik Waktu
Aline berdiri di balkon istana, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Udara terasa dingin, tapi pikirannya jauh lebih kacau daripada cuaca di sekitarnya. Jam kuno itu ada di genggamannya, beratnya seperti mencerminkan beban yang kini harus ia tanggung.
“Tak bisa tidur?” Suara Alaric memecah keheningan. Ia berdiri di dekat pintu balkon, mengenakan mantel panjang yang melindunginya dari udara dingin.
Aline tersenyum kecil, tapi matanya masih memandang ke depan. “Aku hanya berpikir… bagaimana kalau kita gagal? Bagaimana kalau jam ini benar-benar menghancurkan semuanya?”
Alaric melangkah mendekat, berdiri di samping Aline. Ia menatap bintang-bintang sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita akan menemukan Obor Waktu, Aline. Kau tidak sendiri dalam hal ini.”
Kata-kata Alaric membuat Aline sedikit lega, tapi hatinya masih dipenuhi keraguan. “Tapi kenapa aku? Kenapa waktu memilihku? Aku hanya pustakawan biasa, Alaric. Aku bahkan tidak tahu cara menghadapi masalah sebesar ini.”
Alaric menoleh padanya, menatapnya dengan lembut. “Kau mungkin merasa biasa, tapi jam itu memilihmu karena suatu alasan. Mungkin karena hatimu, mungkin karena keberanianmu. Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan.”
Aline menunduk, menghindari tatapan Alaric yang terasa begitu dalam. “Kau terlalu percaya padaku. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa mempercayai diriku sendiri.”
“Ku tidak hanya percaya padamu,” kata Alaric, suaranya sedikit lebih rendah. “Aku juga percaya pada kita.”
Kata-kata itu membuat Aline terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sebuah rasa hangat yang tidak ia pahami, seolah-olah Alaric tidak hanya sekadar menjadi rekan perjalanan, tapi juga sesuatu yang lebih dari itu.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berbicara, membahas rencana perjalanan mereka ke dimensi lain. Tapi di sela-sela pembicaraan itu, ada percikan yang mulai tumbuh. Setiap senyuman, setiap tatapan, dan setiap kata yang terucap membawa mereka semakin dekat satu sama lain.
Keesokan harinya, Aline dan Alaric memulai langkah pertama mereka. Mereka kembali ke ruang bawah tanah istana, tempat Alaric menyimpan peta dan dokumen kuno. Ruangan itu gelap, hanya diterangi cahaya lilin. Di tengah ruangan, meja besar dipenuhi buku-buku dan peta lusuh.
“Ini dia,” kata Alaric sambil membuka sebuah peta tua. “Menurut legenda, dimensi pertama yang harus kita kunjungi adalah Dimensi Cahaya. Di sana, kita mungkin menemukan petunjuk pertama tentang lokasi Obor Waktu.”
Aline mengamati peta itu dengan seksama. Ada simbol-simbol aneh yang tidak ia pahami. “Dimensi Cahaya? Apa yang ada di sana?”
Alaric menggeleng. “Tidak ada yang tahu pasti. Legenda hanya menyebutkan bahwa dimensi itu penuh dengan keindahan, tapi juga penuh dengan ilusi. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa tersesat di dalamnya.”
Aline merasakan dadanya mengencang. “Ilusi? Bagaimana kita tahu apa yang nyata dan apa yang tidak?”
Alaric menatapnya dengan serius. “Itu sebabnya kita harus saling percaya. Ilusi hanya bisa menguasai kita jika kita ragu pada diri sendiri… atau satu sama lain.”
Aline mengangguk, meskipun rasa takut masih mengintainya. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
Ketika mereka menyiapkan segalanya, Aline memperhatikan cara Alaric bekerja—wajahnya penuh konsentrasi, tangannya cekatan mempersiapkan alat-alat yang mereka perlukan. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Aline merasa aman, meskipun bahaya besar menanti mereka.
“Alaric,” kata Aline pelan.
Alaric berhenti dan menoleh padanya. “Ya?”
“Terima kasih. Untuk… segalanya. Karena kau ada di sini, aku merasa aku bisa menghadapi ini.”
Alaric tersenyum hangat, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. “Dan aku berterima kasih karena kau mempercayaiku, Aline. Bersama, kita pasti bisa.”
Bab 5: Retakan di Aliran Waktu
Suasana Dimensi Cahaya lebih indah dari apa pun yang pernah dibayangkan Aline. Langitnya dipenuhi warna-warni aurora, dan setiap langkah mereka di atas tanah kristal mengeluarkan cahaya lembut. Pohon-pohon tinggi dengan daun berkilauan seperti berlian berdiri anggun di sekeliling mereka. Namun, keindahan itu membawa rasa cemas yang tidak bisa ia abaikan.
“Aku tidak percaya tempat seperti ini bisa ada,” gumam Aline sambil memandangi langit.
“Dimensi ini memang terkenal karena keindahannya,” jawab Alaric, matanya waspada meski bibirnya tersenyum. “Tapi kita tidak boleh terlalu terpesona. Ingat, ilusi bisa muncul kapan saja.”
Aline mengangguk, menggenggam jam kuno di tangannya dengan erat. Kristal di tengah jam itu bersinar redup, seolah menjadi kompas yang membimbing mereka ke arah yang benar.
Langkah mereka membawa mereka ke sebuah lembah, di mana sungai dengan air seperti kaca mengalir dengan tenang. Di tengah lembah itu berdiri sebuah altar batu tua yang dihiasi ukiran simbol-simbol kuno. Jam di tangan Aline mulai bersinar lebih terang.
“Sepertinya ini yang kita cari,” kata Aline sambil mendekati altar.
Alaric menahan langkahnya. “Tunggu.”
Aline berhenti, menoleh ke arahnya. “Kenapa?”
“Aku merasa sesuatu yang aneh di sini,” jawab Alaric, matanya mengamati sekeliling dengan tajam.
Sebelum Aline sempat merespons, udara di sekitar mereka mulai bergetar. Pohon-pohon di sekeliling altar berubah menjadi bayangan gelap, dan sungai yang sebelumnya jernih berubah menjadi merah seperti darah. Aline merasa jantungnya berdetak kencang.
“Ini ilusi?” bisiknya, suaranya gemetar.
“Ya,” jawab Alaric, menarik pedangnya dari sarungnya. “Tetap di dekatku.”
Tiba-tiba, sosok-sosok bayangan muncul dari kabut yang melingkupi mereka. Wajah mereka tidak jelas, tetapi suara-suara yang mereka keluarkan menyerupai bisikan ribuan orang.
Aline merasakan tubuhnya gemetar. Bisikan itu terdengar seperti memanggil namanya, membuat pikirannya berkabut. Ia ingin berlari, tetapi tubuhnya terasa kaku.
“Jangan dengarkan mereka, Aline!” seru Alaric, menggenggam tangannya. “Fokus padaku!”
Aline menatap Alaric, mencoba mengusir bisikan yang memenuhi kepalanya. Sentuhan hangat di tangannya membuat pikirannya sedikit jernih. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan bayangan yang semakin mendekat.
“Jam itu!” seru Alaric sambil menunjuk altar. “Letakkan jam itu di atas altar!”
Aline mengangguk, berlari menuju altar meski bayangan-bayangan itu semakin mendekat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan jam kuno di tengah altar. Begitu jam itu menyentuh permukaan batu, cahaya terang melesat keluar, menghancurkan bayangan-bayangan itu dalam sekejap.
Keheningan kembali meliputi mereka. Pohon-pohon dan sungai perlahan kembali ke bentuk semula, indah seperti sebelumnya. Jam di altar berhenti bersinar, tetapi kini di sampingnya muncul sebuah gulungan kecil yang terbuat dari emas.
“Apa ini?” tanya Aline, mengambil gulungan itu dengan hati-hati.
Alaric mendekat, memeriksa gulungan itu. “Ini peta,” katanya sambil membuka gulungan tersebut. “Peta menuju lokasi Obor Waktu.”
Mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka akhirnya memiliki harapan. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama.
Jam kuno di tangan Aline tiba-tiba mengeluarkan bunyi retakan kecil. Ia memandangnya dengan cemas.
“Alaric, jam ini…”
Alaric mengambil jam itu, memeriksanya dengan teliti. Ia tampak khawatir. “Aliran waktu mulai retak. Semakin lama kita menggunakan jam ini, semakin besar kerusakan yang kita sebabkan.”
Aline merasa dadanya sesak. “Apa artinya kita tidak punya cukup waktu?”
Alaric mengangguk, matanya serius. “Ya. Kita harus menemukan Obor Waktu secepat mungkin, atau segalanya akan hancur.”
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah gua kecil di tepian lembah. Aline duduk di dekat api unggun, memandangi peta emas di tangannya. Pikirannya dipenuhi kecemasan, tetapi juga tekad untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.
“Alaric,” panggil Aline pelan.
Alaric yang sedang mengasah pedangnya menoleh. “Ya?”
“Terima kasih sudah melindungiku tadi,” kata Aline. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”
Alaric tersenyum tipis, menatapnya dengan lembut. “Kita saling melindungi, Aline. Kau juga membantuku menemukan tujuan yang lebih besar dari diriku sendiri. Kita akan menyelesaikan ini bersama.”
Percakapan itu membuat Aline merasa sedikit lega, meski ia tahu perjalanan mereka masih jauh. Dengan retakan yang mulai muncul di jam kuno, waktu mereka semakin terbatas. Namun, ia percaya bahwa bersama Alaric, mereka memiliki peluang untuk memperbaiki segalanya.
Bab 6: Pengejaran oleh Penjaga Waktu
Fajar menyingsing saat Aline dan Alaric meninggalkan Dimensi Cahaya. Mereka mengikuti petunjuk dari peta emas, yang membimbing mereka ke celah dimensi berikutnya. Namun, perjalanan mereka tidak lagi tenang. Jam kuno di tangan Aline terus mengeluarkan retakan kecil, seolah-olah memperingatkan bahwa waktu semakin habis.
“Seberapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Aline, napasnya berat setelah berjalan cukup lama.
Alaric memeriksa peta di tangannya. “Menurut ini, celah dimensi berikutnya berada di puncak gunung itu.” Ia menunjuk sebuah puncak yang menjulang tinggi, diselimuti kabut tebal.
Aline menghela napas panjang. “Hebat, mendaki gunung. Itu yang kubutuhkan sekarang.”
Alaric tertawa kecil. “Kau mulai terbiasa dengan perjalanan ini. Kau bahkan bisa bercanda.”
Aline hanya tersenyum tipis, meski rasa lelah dan khawatir terus menghantuinya.
Setelah beberapa jam mendaki, mereka akhirnya mencapai dataran tinggi yang dipenuhi hamparan batu-batu runcing. Angin berhembus kencang, membuat Aline menggigil.
“Tunggu,” kata Alaric tiba-tiba, menghentikan langkahnya.
Aline menoleh. “Kenapa?”
Alaric tidak menjawab. Ia memandang sekeliling dengan tatapan tajam, tangannya perlahan meraih pedang di pinggangnya. “Kita tidak sendiri di sini.”
Seketika, udara di sekitar mereka terasa berubah. Dari balik kabut, muncul sosok-sosok tinggi berbalut jubah hitam dengan mata merah menyala. Mereka adalah Penjaga Waktu, entitas yang menjaga keseimbangan aliran waktu.
“Aline,” bisik Alaric. “Mereka datang untuk jam itu.”
Aline merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Kau lari ke celah dimensi,” kata Alaric sambil menghunus pedangnya. “Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”
“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!” protes Aline.
“Kau harus melakukannya!” seru Alaric tegas. “Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan jam itu, dan tanpa jam itu kita tidak bisa menyelamatkan aliran waktu.”
Aline ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Dengan berat hati, ia berlari menuju celah dimensi yang terlihat seperti pusaran cahaya biru di ujung dataran.
Sementara itu, Alaric menghadapi para Penjaga Waktu. Ia tahu bahwa melawan mereka adalah tugas yang hampir mustahil, tetapi ia harus memberi Aline cukup waktu untuk melarikan diri.
Salah satu Penjaga menyerang, tangannya berubah menjadi bilah tajam yang mengarah langsung ke Alaric. Dengan cekatan, Alaric menghindar dan membalas serangan dengan pedangnya. Namun, bilah itu hanya menembus kabut, tidak melukai Penjaga sama sekali.
“Mereka tidak nyata,” gumam Alaric. Ia menyadari bahwa Penjaga-penjaga itu lebih seperti bayangan daripada makhluk fisik. “Tapi mereka tetap bisa melukai.”
Di sisi lain, Aline berlari sekuat tenaga. Namun, salah satu Penjaga berhasil memisahkan diri dan mengejarnya. Aline merasa takut, tetapi ia tidak berhenti. Jam di tangannya bersinar semakin terang, seolah-olah merespons ancaman yang datang.
“Jangan biarkan mereka mengambil jam ini,” gumamnya, menggenggamnya erat.
Tepat saat Penjaga itu hampir menangkapnya, Aline melihat celah dimensi di depannya. Dengan keberanian yang tersisa, ia melompat ke dalam pusaran cahaya.
Aline terjatuh di sebuah tempat yang sangat berbeda. Tanahnya berupa pasir putih yang lembut, dan langit di atasnya dipenuhi dengan garis-garis cahaya berwarna emas. Namun, ia tidak sempat mengagumi tempat itu karena ia mendengar suara langkah di belakangnya.
Alaric muncul dari celah dimensi, napasnya terengah-engah. Wajahnya penuh luka, tetapi ia tersenyum lega saat melihat Aline selamat.
“Kau berhasil,” katanya, mendekati Aline.
“juga,” jawab Aline, menatapnya dengan cemas. “Kau terluka!”
“Aku baik-baik saja,” kata Alaric sambil menahan rasa sakit di lengannya. “Yang penting, kita berhasil lolos dari mereka.”
Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, jam di tangan Aline mulai bersinar lagi, kali ini lebih terang dari sebelumnya. Di sekitar mereka, pasir mulai bergerak, membentuk lingkaran yang mengelilingi mereka.
“Apa lagi sekarang?” tanya Aline dengan panik.
Alaric memandang sekeliling dengan waspada. “Mungkin ini ujian lain. Kita harus tetap tenang.”
Pasir yang bergerak perlahan berubah menjadi sosok seorang pria tua berjubah putih. Matanya bersinar seperti bintang, dan suaranya terdengar seperti gema ribuan suara.
“Kalian telah melanggar aturan waktu,” katanya dengan nada yang dalam dan berwibawa. “Apa yang membuat kalian berpikir bahwa kalian layak menyelamatkan aliran waktu?”
Aline dan Alaric saling berpandangan, tahu bahwa jawaban mereka akan menentukan nasib perjalanan mereka.
Bab 7: Pengorbanan Pangeran
Aline berdiri kaku di hadapan sosok pria tua berjubah putih yang mengambang di atas pasir. Matanya bersinar terang, menembus segala keraguan yang ia simpan. Di sampingnya, Alaric berdiri dengan pedang tergenggam erat, meski ia tahu senjata itu tak akan berguna menghadapi makhluk sekuat ini.
“Kalian telah melanggar aliran waktu,” ulang sosok itu dengan suara yang terdengar seperti gaung. “Setiap detik yang kalian habiskan di dimensi ini semakin mendekatkan kehancuran.”
Aline menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata. “Kami tidak berniat merusak aliran waktu. Kami hanya mencoba memperbaikinya!”
“Memperbaiki?” Sosok itu tersenyum tipis, tetapi nadanya penuh skeptis. “Apa yang membuatmu yakin bahwa tindakanmu tidak justru memperburuk segalanya?”
“Karena kami tidak punya pilihan lain,” sela Alaric dengan tegas. “Jika kami tidak melakukannya, waktu akan berhenti. Semua orang, termasuk aku dan Aline, akan kehilangan masa depan.”
Sosok itu terdiam, seolah merenungkan ucapan Alaric. Namun, cahayanya semakin terang, membuat Aline harus menutupi wajahnya dengan tangan.
“Aliran waktu bukanlah permainan. Setiap keputusan membawa konsekuensi. Jika kalian ingin melanjutkan perjalanan ini, salah satu dari kalian harus membayar harganya.”
“Harga?” tanya Aline, hatinya mencelos.
“Nyawa,” jawab sosok itu singkat.
Ruangan terasa membeku. Aline menatap Alaric dengan panik. “Kita tidak bisa! Tidak ada yang harus mati!”
Alaric menunduk, menghela napas panjang. “Jika ini satu-satunya cara, maka biarkan aku yang membayarnya.”
“Apa? Tidak!” Aline langsung menarik tangannya, mengguncang bahunya. “Alaric, kita pasti bisa menemukan jalan lain. Jangan lakukan ini!”
Alaric menatap Aline dengan lembut. “Aline, kau harus kembali ke duniamu. Kau yang dipilih oleh jam itu, bukan aku. Aku hanyalah pangeran dari masa lalu yang sudah kehilangan banyak hal. Tapi kau… kau adalah harapan.”
Air mata mulai mengalir di pipi Aline. Ia menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa meninggalkanku. Aku tidak akan melakukannya tanpamu.”
Sosok berjubah putih itu memandang mereka dengan dingin. “Pilihan ada di tangan kalian. Tetapi waktu tidak akan menunggu lebih lama.”
Jam di tangan Aline mulai bersinar lebih terang, retakannya semakin parah. Aline tahu bahwa setiap detik yang mereka habiskan membuat segalanya semakin tidak stabil. Namun, bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan perjalanan tanpa Alaric?
“Aku memilih untuk membayar harganya,” kata Alaric akhirnya, suaranya tegas meski ada kesedihan di dalamnya.
Sebelum Aline sempat berkata apa-apa, Alaric melangkah maju ke arah sosok itu. Cahaya putih menyelimuti tubuhnya, membuatnya perlahan memudar. Aline berteriak, mencoba menariknya kembali, tetapi sebuah kekuatan tak terlihat menahannya di tempat.
“Alaric!” teriak Aline, air matanya mengalir deras. “Tolong, jangan lakukan ini!”
Alaric menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya, tersenyum. “Kau harus melanjutkan ini, Aline. Selamatkan aliran waktu. Dan… jangan lupakan aku.”
Dalam sekejap, Alaric menghilang bersama cahaya putih itu. Suasana menjadi hening, dan hanya suara napas berat Aline yang terdengar. Ia jatuh berlutut di atas pasir, menggenggam jam yang kini bersinar lembut.
Sosok berjubah putih itu kembali berbicara, suaranya lebih tenang. “Pengorbanan telah dibuat. Kau kini memiliki jalan menuju Obor Waktu. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Aline mengangkat wajahnya, matanya penuh air mata, tetapi ada tekad yang mulai tumbuh di sana. “Aku akan menyelesaikan ini. Untukku. Untuk Alaric.”
Sosok itu mengangguk sebelum lenyap menjadi butiran cahaya. Aline bangkit dengan gemetar, menatap peta di tangannya. Dengan hati yang hancur tetapi semangat yang tak tergoyahkan, ia melangkah menuju tujuan berikutnya—Obor Waktu.
Bab 8: Petualangan Melawan Waktu
Langit di dimensi baru tampak gelap dan penuh badai petir berwarna ungu. Tanahnya berupa hamparan bebatuan tajam, dengan jurang-jurang yang tampak tak berdasar. Aline berdiri sendiri di tengah tempat asing ini, memeluk jam kuno di dadanya. Retakan pada jam itu masih terlihat jelas, meski kini cahayanya lebih stabil.
“Alaric…” bisiknya, suaranya bergetar diiringi desiran angin yang dingin.
Kesendirian itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Namun, ia tahu bahwa menyerah bukan pilihan. Alaric telah berkorban demi memberinya kesempatan ini, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Aline mengikuti peta emas yang ia bawa, yang kini bersinar samar seperti kompas. Langkahnya membawa dia ke tepi jurang besar, tempat angin bertiup kencang, hampir menjatuhkannya.
“Bagaimana aku bisa menyeberang?” gumamnya, memandang jurang yang terlalu lebar untuk dilompati.
Tiba-tiba, peta di tangannya bersinar lebih terang, dan sebuah jembatan batu perlahan muncul dari ketiadaan. Aline memandangnya dengan waspada, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan. Dengan hati-hati, ia mulai melangkah.
Namun, di tengah perjalanan, gemuruh terdengar dari bawah jurang. Dari bayangan gelap, muncul makhluk besar berbentuk seperti naga dengan tubuh berkilau seperti logam. Mata merahnya menatap Aline tajam.
“Apa lagi sekarang?” desah Aline, merasakan ketakutan merayapi tubuhnya.
Naga itu mengeluarkan raungan keras, suaranya bergema di seluruh dimensi. Sayap besarnya mengepak, menciptakan angin kencang yang hampir menjatuhkan Aline dari jembatan.
“Aku harus tenang,” katanya pada dirinya sendiri, menggenggam jam dengan erat. Ia tahu bahwa jam ini adalah kunci untuk mengatasi semua ini.
Saat naga itu mendekat, jam di tangan Aline mulai bersinar lagi. Cahaya itu berubah menjadi bentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya. Namun, naga itu tidak mundur. Dengan satu ayunan ekornya, ia menghantam jembatan, membuatnya retak.
Aline jatuh berlutut, hampir terlempar ke jurang. “Tidak! Aku tidak boleh menyerah!”
Dengan keberanian yang tersisa, ia berdiri dan mengangkat jam itu tinggi-tinggi. Cahaya dari jam itu semakin terang, hingga memenuhi seluruh area. Naga itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya perlahan larut menjadi butiran cahaya, menghilang bersama badai petir di langit.
Jembatan yang retak perlahan kembali utuh. Aline terengah-engah, tubuhnya gemetar. Tetapi ia tahu bahwa ini baru permulaan.
Setelah melewati jembatan, Aline menemukan dirinya di depan sebuah kuil kuno yang dikelilingi oleh pilar-pilar besar. Di tengah kuil, sebuah obor emas berdiri, menyala dengan api biru yang berkilauan.
“Obor Waktu…” bisiknya, berjalan mendekat dengan hati-hati.
Namun, ketika ia hampir mencapai obor itu, bayangan besar muncul di belakangnya. Suara berat yang familiar membuatnya berbalik.
“Alaric?”
Ia terkejut melihat Alaric berdiri di sana, tetapi tatapan Alaric berbeda. Wajahnya dingin, tanpa senyuman.
“Aline,” katanya, suaranya terdengar datar. “Berikan jam itu padaku.”
Aline mengerutkan dahi. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau… kau mengorbankan dirimu.”
“Aku kembali,” jawab Alaric singkat. “Tapi sekarang aku adalah bagian dari Penjaga Waktu. Mereka menghidupkanku kembali, tetapi dengan satu syarat: aku harus menghentikanmu.”
Aline tertegun. Hatinya hancur melihat Alaric yang ia kenal berubah menjadi sosok dingin tanpa emosi. “Tidak, ini tidak benar. Alaric, kau tidak seperti ini!”
“Ini tugas yang harus aku lakukan,” kata Alaric, berjalan mendekatinya dengan langkah mantap. “Berikan jam itu, dan semuanya akan selesai.”
Aline memeluk jam itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak akan menyerah. Kau mengorbankan dirimu agar aku bisa menyelesaikan ini. Aku tidak akan membiarkan itu sia-sia!”
Alaric berhenti, ekspresinya sedikit berubah. Untuk sesaat, Aline melihat kilasan keraguan di matanya.
“Kau tahu ini bukan dirimu,” lanjut Aline, mencoba mencapai hatinya. “Kau adalah Alaric yang melindungiku, yang percaya padaku. Tolong, jangan biarkan mereka mengendalikanmu.”
Dalam keheningan itu, obor emas di belakang Aline bersinar lebih terang, seolah merespons emosinya. Cahaya itu menerangi wajah Alaric, dan perlahan, ekspresinya mulai melunak.
“Aline…” bisiknya, suaranya penuh rasa sakit. “Aku… aku tidak bisa melawan mereka…”
“Kau bisa,” jawab Aline tegas. “Kita bersama dalam hal ini, ingat? Percayalah padaku.”
Jam di tangan Aline bersinar lebih terang, dan retakannya mulai menyatu kembali. Cahaya itu mengalir menuju Alaric, menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap, bayangan gelap yang menguasainya memudar, dan Alaric jatuh berlutut di depannya.
“Aline… aku minta maaf,” katanya, suaranya gemetar.
Aline tersenyum, membantu Alaric bangkit. “Kau kembali. Itu yang terpenting.”
Mereka berdua berdiri di depan Obor Waktu, cahaya biru dari api itu terasa hangat di kulit mereka.
“Ini akhirnya,” kata Alaric. “Kita bisa memperbaiki aliran waktu.”
Aline mengangguk, siap meletakkan jam kuno itu ke dalam api. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini belum benar-benar selesai.
Bab 9: Keputusan Akhir
Aline memegang jam kuno di tangannya, merasakan energi yang mengalir darinya. Cahaya dari Obor Waktu yang biru berkilauan memantul di permukaan jam, seolah mengisyaratkan bahwa waktunya telah tiba. Alaric berdiri di sampingnya, matanya penuh tekad meskipun wajahnya masih terlihat lelah setelah perjuangan panjang melawan kegelapan yang sempat menguasainya.
“Jam ini harus masuk ke dalam api,” kata Alaric dengan suara tegas. “Hanya dengan begitu, aliran waktu bisa dipulihkan.”
Aline mengangguk, tetapi hatinya terasa berat. “Tapi jika aku melakukannya, itu berarti aku tidak akan bisa kembali ke duniaku, bukan?”
Alaric terdiam. Ia tahu bahwa Aline benar. Jam kuno itu adalah satu-satunya alat yang bisa membuka jalan bagi Aline untuk kembali ke masa depan. Tanpa itu, ia akan terjebak di masa lalu selamanya.
“Aline,” kata Alaric pelan, menatap matanya. “Aku tidak ingin memaksamu. Kau sudah mengorbankan begitu banyak. Jika kau ingin kembali, aku akan mendukung keputusanmu.”
Air mata menggenang di mata Aline. Ia memandang jam itu, mengingat semua yang telah terjadi. Perjalanan yang penuh bahaya, pertemuannya dengan Alaric, dan semua pengorbanan yang telah mereka lakukan bersama.
“Jika aku kembali,” kata Aline lirih, “aku akan meninggalkanmu. Dan jika aku tetap di sini, aku akan kehilangan duniamu. Tapi satu hal yang pasti… aku tidak bisa membiarkan waktu berhenti.”
Alaric tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan di matanya. “Apa pun keputusanmu, aku akan selalu bersyukur karena pernah bertemu denganmu.”
Dengan tangan gemetar, Aline mengangkat jam itu, mendekatkannya ke api biru. Cahaya dari Obor Waktu semakin terang, hampir menyilaukan. Aline menarik napas panjang, lalu meletakkan jam kuno itu ke dalam api.
Begitu jam itu menyentuh api, cahaya biru melesat ke segala arah, mengisi ruangan dengan kehangatan yang luar biasa. Retakan di udara yang sebelumnya terlihat mulai menyatu, dan suasana yang semula tegang berubah menjadi damai.
Namun, efeknya juga langsung terasa pada Aline. Tubuhnya perlahan mulai memudar, seperti butiran cahaya yang tertiup angin.
“Alaric…” bisiknya, menatap pangeran itu dengan mata yang dipenuhi air mata.
“Apa yang terjadi?” tanya Alaric panik, mencoba meraih tangannya. Tetapi tangan Aline perlahan menjadi transparan.
“Aku pikir… ini harga yang harus aku bayar,” jawab Aline dengan suara gemetar. “Aku adalah bagian dari waktu masa depan. Tanpa jam itu, aku tidak bisa tetap di sini.”
“Tidak!” Alaric memeluknya erat, meskipun ia tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan apa yang sedang terjadi. “Aline, jangan pergi!”
Air mata Aline jatuh, tetapi ia tersenyum. “Aku tidak benar-benar pergi. Ingatlah, Alaric, waktu mungkin memisahkan kita, tetapi kenangan kita akan abadi.”
Dalam sekejap, tubuh Aline larut menjadi cahaya, meninggalkan Alaric berdiri sendiri di depan Obor Waktu yang masih menyala terang.
Di masa depan, Aline terbangun di perpustakaan tempat semuanya dimulai. Ia menemukan dirinya duduk di meja yang sama, dengan tumpukan buku di sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda jam kuno itu, tetapi perasaannya mengatakan bahwa semuanya telah berubah.
Aline memandang keluar jendela, melihat dunia yang tampak damai. Ia tahu bahwa waktu telah dipulihkan, tetapi hatinya terasa kosong tanpa kehadiran Alaric.
Di atas meja, ia menemukan sebuah buku tua yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sampulnya berjudul Lentera Waktu: Kisah Pangeran dan Sang Penjaga Masa Depan.
Aline membuka buku itu, dan halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang sangat dikenalnya:
Aline, meski kita terpisah oleh waktu, aku akan selalu menjagamu. Terima kasih telah menjadi lentera dalam hidupku. — Alaric
Air mata mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan rasa syukur. Ia tahu bahwa cintanya dengan Alaric tidak pernah benar-benar hilang.
Bab 10: Lentera Cinta yang Abadi
Hari-hari Aline kembali berjalan seperti biasa, di perpustakaan tua tempat semuanya dimulai. Namun, dunia terasa berbeda—lebih damai, lebih seimbang. Ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya di masa lalu telah menyelamatkan aliran waktu, meski itu berarti ia harus kehilangan Alaric.
Buku berjudul Lentera Waktu: Kisah Pangeran dan Sang Penjaga Masa Depan kini menjadi temannya setiap malam. Halaman-halaman di dalamnya tidak hanya berisi kisah perjalanan mereka, tetapi juga catatan pribadi Alaric yang ia tinggalkan untuknya.
Di salah satu halaman terakhir, Aline membaca:
“Aline, jika kau membaca ini, maka aliran waktu telah pulih. Aku harap duniamu kini lebih baik. Aku tahu kita hidup di dua masa yang berbeda, tetapi cintamu telah menyinari jalanku. Jika suatu hari waktu memberimu kesempatan, aku akan menunggu di taman istana, di bawah pohon ceri yang pernah kau kagumi. Sampai saat itu tiba, tetaplah menjadi lentera bagi dunia, seperti kau telah menjadi bagianku.”
Aline menutup buku itu dengan air mata berlinang. Kata-kata Alaric menguatkannya, tetapi juga meninggalkan perasaan rindu yang mendalam.
Beberapa bulan kemudian, saat Aline sedang merapikan perpustakaan, ia menemukan sebuah pintu kecil di sudut yang sebelumnya tidak ada. Pintu itu terbuat dari kayu tua, dengan ukiran yang mirip dengan pola jam kuno yang pernah ia gunakan.
“Ini… apa lagi ini?” gumamnya.
Ia membuka pintu itu dengan hati-hati. Di baliknya, sebuah taman terbuka lebar, penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran. Di tengah taman, berdiri sebuah pohon ceri besar, dengan bunga-bunganya yang berwarna merah muda berguguran diterpa angin.
Hatinya berdebar. Ia melangkah perlahan, mendekati pohon itu. Di bawahnya, seorang pria berdiri, mengenakan pakaian bangsawan yang sederhana tetapi elegan. Rambut cokelat keemasannya berkilauan di bawah sinar matahari.
“Alaric?”
Pria itu menoleh, dan senyuman yang ia kenal baik menyambutnya. “Aline…”
Aline tidak percaya pada apa yang ia lihat. Ia berlari mendekatinya, dan kali ini, tidak ada yang memisahkan mereka. Alaric membuka tangannya, menyambut Aline dalam pelukannya yang hangat.
“Tapi… bagaimana mungkin?” tanya Aline, masih terisak.
“Waktu memberi kita kesempatan,” jawab Alaric, suaranya lembut. “Aku tidak tahu bagaimana, tetapi aku tahu bahwa kita ditakdirkan untuk bersama.”
Aline tersenyum di antara air matanya. “Aku pikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi.”
“Dan aku tidak pernah berhenti menunggumu,” jawab Alaric.
Mereka menghabiskan waktu di taman itu, berbicara tentang semua yang telah terjadi. Meski waktu telah memisahkan mereka, cinta mereka tetap utuh, seperti janji yang pernah mereka buat.
Ketika senja mulai tiba, Aline memandang Alaric dengan penuh kebahagiaan. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Kita akan menjalani waktu yang telah diberikan ini,” jawab Alaric. “Tidak peduli berapa lama, selama aku bersamamu, itu sudah cukup.”
The End.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.