Arka, seorang pilot pengatur dari Bumi, terdampar di planet Caleira, tempat sihir dan teknologi hidup berdampingan. Di sana, ia bertemu Lyra, seorang penjaga kosmik yang berusaha melindungi dunianya dari ancaman kehancuran oleh makhluk astral bernama Thalzor.
Di tengah pertempuran epik melawan kegelapan, Arka dan Lyra harus mengatasi perbedaan dunia mereka, menghadapi pengorbanan besar, dan menemukan bahwa cinta mereka adalah cahaya yang mampu menembus batas dimensi dan menyatukan galaksi yang terpisah.
Bab 1: Langit yang Terbelah
Cahaya Kosmik dan Awal Sebuah Takdir
Udara di dalam kokpit terasa tenang, meskipun di luar angkasa ribuan bintang bersinar seperti debu yang beterbangan di lautan hitam tanpa batas. Kapten Arka Valtros, dengan seragam pilot angkasanya yang gelap beraksen perak, memandang layar monitor holografis yang menampilkan peta bintang berwarna biru terang.
“Semua sistem stabil,” ujar Nova, asisten AI di pesawat Stellar Aegis. Suaranya terdengar lembut namun penuh ketegasan.
Arka mengangguk kecil, tetapi matanya memancarkan rasa haus akan petualangan baru. Misi kali ini sederhana: memetakan jalur baru di sektor kosmik Xylon 9—wilayah kosong yang belum pernah dijamah manusia. Namun, bagi Arka, ini lebih dari sekadar misi. Ini adalah kesempatan untuk menjadi yang pertama menjelajah sesuatu yang tak diketahui, sebuah eksplorasi menuju kebebasan.
Tiba-tiba, layar pesawat berbunyi nyaring. Sinyal energi besar muncul di tengah radar, membentuk gelombang berputar seperti pusaran air. Arka memperbesar tampilan hologram tersebut, matanya menyipit.
“Nova, analisis data ini,” perintahnya.
“Ini bukan anomali biasa, Kapten. Fluktuasi energi mendekati level kosmik primordial,” jawab Nova dengan nada serius.
Arka menarik napas panjang. “Primordial?” ucapnya dengan nada bingung. “Tidak mungkin.”
Sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, pusaran energi itu membesar dan memancarkan kilatan cahaya ungu dan biru yang menyilaukan. Stellar Aegis bergetar hebat. Sistem alarm berbunyi keras, membuat jantung Arka berdetak lebih cepat.
“Stabilkan pesawat!” Arka memutar tuas kendali dengan cepat, berusaha keluar dari pusaran. Namun, gravitasi aneh dari pusaran itu menarik mereka semakin dalam.
“Kapten, sistem propulsi macet!” Nova memperingatkan.
Kilatan cahaya kosmik membungkus seluruh badan pesawat. Pandangan Arka perlahan buram, seolah waktu berhenti di tengah kehampaan. Suara Nova perlahan menghilang, hanya menyisakan suara napasnya sendiri.
Ketika Arka membuka matanya kembali, ia melihat pemandangan luar biasa di hadapannya. Pesawatnya melayang tenang di orbit sebuah planet yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Planet itu berwarna biru kehijauan dengan lingkaran aurora berkilauan yang mengelilinginya seperti cincin bintang.
“Di mana aku…?” bisiknya.
Nova kembali aktif dengan suara yang sedikit rusak. “Koordinat tidak dikenal. Kapten… kita berada di luar peta galaksi.”
Arka menatap pemandangan menakjubkan itu dengan mata terbelalak. Tiba-tiba, sinyal peringatan terdengar. Sebuah kapal kecil meluncur mendekat dengan kecepatan tinggi. Arka menegangkan ototnya dan bersiap untuk mengambil tindakan, tetapi kapal itu tidak menyerang. Sebaliknya, sinar hijau terang keluar dari kapal itu, membuat Stellar Aegis mati total.
Sebelum Arka sempat bertindak, suara perempuan terdengar di seluruh kokpit melalui transmisi suara. Suara itu lembut, tetapi ada kekuatan di baliknya.
“Kau… bukan berasal dari dunia kami,” suara itu berkata. “Siapa kau, penjelajah bintang?”
Arka menahan napas, merasakan ketegangan dan rasa penasaran yang membara dalam dirinya. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bab 2: Gadis di Bawah Aurora
Pertemuan di Antara Dua Dunia
Arka duduk diam di kursi pilot, matanya mengamati layar yang kini hanya menampilkan kegelapan. Sistem pesawatnya benar-benar mati, seolah semua teknologi canggih dari Bumi tak berguna di tempat asing ini. Namun, suara itu—lembut dan penuh wibawa—masih bergema di pikirannya.
“Siapa kau, penjelajah bintang?”
Arka menghela napas, mengaktifkan transmisi manual yang masih berfungsi. “Namaku Arka. Aku pilot eksplorasi dari Bumi. Dan… kurasa aku tersesat,” jawabnya dengan jujur, berharap makhluk di balik suara itu tidak bermusuhan.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum terdengar suara balasan. “Jika itu benar, kau adalah yang pertama dari duniamu yang tiba di sini.”
Tiba-tiba, di luar kaca kokpit, sebuah kapal kecil berbentuk seperti kristal melayang pelan mendekat. Cahayanya berpendar hijau kebiruan, memancarkan keindahan seperti serpihan aurora. Dari kapal itu, muncul seorang perempuan.
Arka menahan napas. Gadis itu berdiri di atas lambung kapalnya seolah gravitasi bukan masalah baginya. Rambut panjangnya berwarna perak kebiruan, melambai halus di udara seperti gelombang laut. Ia mengenakan jubah putih panjang dengan motif bercahaya seperti bintang kecil.
Perempuan itu mengangkat tangannya, dan seketika tubuhnya melayang turun ke dek pesawat Arka. Sinar tipis melingkupi tubuhnya saat ia melewati kaca kokpit, masuk ke dalam pesawat tanpa membuka pintu apa pun.
Arka bangkit dari kursinya, refleks meraih senjata kecil di ikat pinggangnya.
“Tenang,” kata gadis itu, suaranya serupa angin yang menenangkan padang tandus. “Aku tidak datang untuk melukai.”
Arka menurunkan senjatanya perlahan, meski tubuhnya masih tegang. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak.
Gadis itu menatapnya dengan mata biru terang yang seperti danau dalam. “Namaku Lyra,” ucapnya. “Aku penjaga wilayah orbit Caleira. Dan kau… berada di dunia yang terlupakan oleh sebagian besar bintang.”
Arka mengikuti Lyra keluar dari Stellar Aegis setelah pesawatnya ditarik oleh medan gravitasi kristal milik Lyra. Di luar, Arka terpesona oleh pemandangan yang ia lihat. Mereka berdiri di atas sebuah daratan yang memantulkan cahaya langit seolah terbuat dari kaca. Di kejauhan, gunung-gunung bersinar keemasan, dan awan-awan bergerak perlahan, mengelilingi menara-menara energi bercahaya biru.
“Itu Caleira,” kata Lyra, menunjuk ke sebuah kota megah yang tampak seperti kristal terapung di atas danau angkasa.
Arka memejamkan mata sejenak, merasakan keindahan yang berbeda dengan teknologi dingin Bumi. “Indah sekali…” gumamnya tanpa sadar.
Lyra tersenyum samar. “Kota ini memang indah, tapi saat ini berada di ambang kehancuran.”
Arka menoleh, mendapati kesedihan di wajah Lyra. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Lyra menurunkan tangannya dan menghela napas panjang. “Energi kosmik yang melindungi planet ini mulai tidak stabil. Kami diserang oleh makhluk astral bernama Seraphae, utusan dari kegelapan galaksi yang ingin menghancurkan keseimbangan alam semesta.”
Sebelum Arka sempat bertanya lebih lanjut, terdengar suara dentuman keras dari arah langit. Arka mendongak dan melihat sosok besar bercahaya merah menyala, dengan sayap panjang seperti nyala api. Makhluk itu melayang turun dengan kecepatan tinggi, menghancurkan tanah di dekat mereka. Debu beterbangan, dan suara gemuruh bergema di seluruh daratan.
“Itu Seraphae!” seru Lyra. Tangannya berpendar cahaya biru, menciptakan pelindung energi di sekeliling mereka. “Kau harus berlindung!”
Arka, yang sudah terlatih bertempur dalam berbagai situasi, tidak berniat berdiam diri. Ia menarik pistol plasmanya dan melompat ke samping, melepaskan tembakan ke arah makhluk itu. Namun, energi Seraphae begitu kuat sehingga tembakannya memantul seperti percikan cahaya.
“Senjata Bumi tidak akan berpengaruh,” teriak Lyra sambil mengangkat kedua tangannya. Lingkaran cahaya melingkupi dirinya, membentuk pedang energi bercahaya biru. Lyra melompat ke arah Seraphae dengan kecepatan luar biasa, menebaskan pedangnya ke sayap makhluk itu.
Seraphae meraung kesakitan, tetapi ia tidak menyerah. Ia mengayunkan sayapnya dan melempar Lyra ke belakang. Arka dengan sigap menangkap tubuh Lyra sebelum ia membentur tanah.
“Kau baik-baik saja?” tanya Arka, matanya menatap Lyra dengan cemas.
Lyra mengangguk, meskipun napasnya tersengal. “Aku harus menyegel makhluk ini. Tapi aku butuh waktu.”
Arka menatap langit dengan penuh tekad. “Kalau begitu, aku akan mengalihkan perhatiannya.”
Tanpa berpikir panjang, Arka berlari ke arah Seraphae dan menembakkan peluru plasma untuk menarik perhatian makhluk itu. Seraphae berbalik dan mengejarnya, memberikan waktu bagi Lyra untuk membentuk segel energi. Cahaya biru keperakan berpendar dari tubuh Lyra saat ia melafalkan mantra dalam bahasa kuno. Udara di sekitar mereka bergetar.
Saat Seraphae hampir menerjang Arka, Lyra berteriak, “Sekarang!” Cahaya besar meledak dari segel tersebut, membungkus tubuh Seraphae hingga ia menghilang menjadi debu bintang.
Arka dan Lyra berdiri berdampingan, napas mereka berat karena kelelahan. Arka tersenyum tipis. “Sepertinya aku datang ke sini di waktu yang tepat.”
Lyra menoleh, mata birunya menatap dalam. “Mungkin… ini takdir.”
Dan dalam heningnya malam di bawah aurora, benih petualangan dan perasaan yang belum mereka pahami mulai tumbuh di antara mereka.
Bab 3: Rahasia Caleira
Dunia yang Diselimuti Misteri
Arka mengikuti Lyra melintasi jembatan kristal yang melayang di atas hamparan air kosmik. Dari kejauhan, kota Caleira tampak seperti labirin cahaya dan menara menjulang yang berkilauan seperti berlian di bawah aurora abadi. Kapal-kapal kecil berbentuk seperti kupu-kupu bercahaya melayang di sekitar mereka, mengeluarkan suara halus seperti bisikan angin.
“Selamat datang di Caleira, penjelajah bintang,” ucap Lyra lembut sambil memandang ke arah Arka.
Arka mengangguk, matanya terus menyapu pemandangan luar biasa di sekitarnya. “Aku tak pernah melihat sesuatu seindah ini,” gumamnya. “Teknologi yang hidup berdampingan dengan keajaiban alam… ini seperti dongeng.”
Lyra tersenyum tipis. “Kau belum tahu rahasia sebenarnya.”
Kuil Bintang dan Makhluk Astral
Mereka berhenti di sebuah bangunan besar berbentuk kubah dengan pilar-pilar bercahaya. Di tengah ruangan, terdapat patung besar yang menggambarkan makhluk bercahaya dengan sayap yang terbuat dari pecahan bintang. Mata patung itu bersinar lembut, seolah mengawasi mereka.
“Itu Astronos, penjaga kosmik pertama yang mengatur keseimbangan energi bintang,” jelas Lyra. Ia menundukkan kepala sejenak untuk menghormati sosok tersebut. “Caleira ada karena kehadiran para penjaga astral seperti dia.”
Arka mendekati patung itu dan menyentuh permukaannya yang halus. Ada sesuatu yang terasa… hangat. “Jadi makhluk astral yang kau sebut itu… makhluk hidup?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Lyra mengangguk. “Mereka bukan dewa, tapi juga bukan sekadar makhluk biasa. Mereka adalah perwujudan energi kosmik yang menjaga jalannya siklus kehidupan di alam semesta. Namun, tidak semua memilih jalan terang.” Wajah Lyra berubah suram.
“Seperti Seraphae,” potong Arka, mengingat makhluk yang baru saja mereka hadapi.
Lyra menghela napas panjang. “Benar. Seraphae dulunya adalah penjaga langit Caleira. Tapi dia terperangkap dalam pengaruh kekuatan dari galaksi gelap… dan berbalik menyerang kami. Namun, ancaman yang lebih besar datang dari sosok yang lebih kuat: Thalzor.”
Arka memiringkan kepala. “Siapa Thalzor?”
Lyra menatap patung Astronos dengan pandangan penuh luka. “Thalzor adalah penjaga tertinggi sebelum semua kehancuran dimulai. Dulu, ia adalah pelindung paling setia Caleira… hingga ia tergoda oleh kekuatan gelap dari inti bintang mati. Ia mengkhianati segel alam semesta dan berusaha mengambil energi kosmik untuk dirinya sendiri. Sejak saat itu, ia menjadi penguasa kekacauan.”
Arka mengerutkan kening. “Apa yang membuatnya jatuh ke kegelapan?”
Lyra menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab. “Thalzor jatuh cinta pada ibu kandungku, Serenia, penjaga bintang yang memiliki kekuatan untuk menstabilkan bintang dan galaksi. Tapi ibuku mencintai orang lain. Rasa kecewanya berubah menjadi dendam dan ambisi. Setelah kehilangan ibu, aku bersumpah untuk menjaga Caleira dari kehancuran seperti yang pernah terjadi.”
Arka terdiam sesaat, mencerna kisah yang baru saja didengarnya. “Jadi… kau melanjutkan tugas ibumu?” tanyanya.
Lyra mengangguk, matanya dipenuhi keteguhan hati. “Ya. Tapi aku tahu kekuatanku tak cukup. Itulah mengapa aku membutuhkan bantuan.”
Arka menghela napas panjang dan tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau mendapatkannya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membantu, tapi aku tidak akan diam melihat dunia seindah ini hancur.”
Mata Lyra berbinar mendengar pernyataan Arka. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tidak sendiri.
Peringatan dari Langit
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar hebat. Suara alarm kristal berbunyi nyaring, dan cahaya merah memenuhi ruangan.
“Apa yang terjadi?” Arka bertanya panik.
Lyra menoleh dengan ekspresi serius. “Peringatan serangan. Mereka sudah datang.”
Di luar kubah, langit yang tadinya damai mulai dipenuhi bayangan hitam yang bergerak cepat. Armada Thalzor telah tiba. Ribuan kapal dengan desain tajam seperti duri melayang di udara, memancarkan cahaya merah gelap yang menandakan kehancuran.
Lyra mengangkat tangannya dan membentuk lingkaran cahaya besar di udara. “Arka, kita harus ke ruang kontrol untuk mengaktifkan perisai planet.”
Arka mengangguk tegas. “Kalau begitu, ayo kita lakukan.”
Mereka berlari menuruni tangga kristal, sementara suara ledakan mulai terdengar dari kejauhan. Langit Caleira berubah menjadi medan tempur yang penuh percikan cahaya. Di antara kekacauan tersebut, Arka menyadari bahwa ia kini terlibat dalam perang yang jauh lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan.
Arka balas menatapnya, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Lyra tersenyum tipis sebelum kembali berlari menuju ruang kontrol. Mereka tahu bahwa petualangan mereka baru saja dimulai, dan takdir seluruh galaksi kini ada di tangan mereka.
Bab 4: Pertanda dari Galaksi Gelap
Suara dentuman merobek angkasa, membuat langit yang berhiaskan aurora berubah menjadi medan tempur penuh cahaya dan ledakan. Arka berdiri di samping Lyra di balkon menara utama, memandangi armada hitam yang memenuhi cakrawala seperti sekawanan burung pemangsa. Kapal-kapal itu mengeluarkan sinar merah ke tanah, membuat beberapa struktur kristal di bawah runtuh menjadi serpihan bercahaya.
“Thalzor sudah memulai serangannya,” ujar Lyra dengan suara rendah.
Arka mengepalkan tinjunya. “Kita harus bertindak sekarang!”
Lyra mengangguk, melangkah maju sambil membentuk bola cahaya biru di telapak tangannya. Dengan isyarat lembut, ia membuka portal menuju ruang kontrol utama Menara Astral.
“Masuk,” ujarnya.
Arka melangkah ke dalam cahaya tersebut. Sekejap kemudian, mereka muncul di ruangan besar yang dipenuhi panel-panel bercahaya dan simbol-simbol magis yang terus berubah bentuk. Di tengahnya berdiri sebuah altar berbentuk bulat yang memancarkan energi kosmik berwarna ungu kebiruan.
Perisai yang Melemah
Lyra mengangkat kedua tangannya, menempatkan telapak tangannya di atas altar tersebut. Cahaya biru terang menjalar ke seluruh ruangan seperti gelombang pasang. Di luar, perisai besar berbentuk kubah mulai muncul, membentengi kota Caleira.
Namun, saat Arka menatap layar proyeksi holografis, ia menyadari sesuatu yang janggal. “Lyra… kenapa energinya berfluktuasi?”
Lyra menggertakkan giginya. Wajahnya sedikit pucat. “Energi pusat bintang kita tidak stabil. Ini bukan serangan biasa… mereka menggunakan sesuatu untuk menghancurkan inti keseimbangan Caleira.”
Belum sempat Arka bertanya lebih jauh, suara berat menggema di seluruh ruangan.
“Lyra… putri Serenia. Aku tahu kau di sana.”
Arka membeku. Suara itu seperti guntur yang bergema dari ujung bintang. Ia menoleh ke arah proyeksi langit dan melihat sosok besar muncul di atas armada musuh. Sosok itu tinggi, berselubung jubah gelap yang berkibar seperti kabut hitam. Wajahnya tertutup topeng berlapis emas dengan ukiran petir dan api.
“Itu dia,” bisik Lyra, suaranya penuh emosi. “Thalzor.”
Thalzor melayang di angkasa dengan tangan terentang. “Perisai ini tidak akan bertahan lama. Kau tahu itu, Lyra. Serahkan energi kosmik penyeimbang, dan aku akan mengakhiri penderitaan ini dengan cepat.”
Lyra menatap Thalzor dengan penuh kebencian. “Aku tidak akan menyerahkan Caleira padamu.”
Thalzor tertawa, suaranya menggema seperti badai. “Kau masih muda dan bodoh, seperti ibumu. Kau pikir cinta dan pengorbanan bisa melindungi planetmu? Lihatlah apa yang terjadi padanya.”
Mata Lyra berkaca-kaca, tetapi ia tetap berdiri tegak. Arka memperhatikan wajah Lyra yang tampak rapuh di balik keberaniannya. Ia maju dan berdiri di samping Lyra.
“Hei, kau yang berselubung gelap,” teriak Arka. “Kalau kau pikir kami akan menyerah, kau salah besar.”
Thalzor menoleh, memperhatikan Arka sejenak sebelum tertawa kecil. “Manusia dari Bumi? Lucu sekali. Dunia kecilmu bahkan tidak tahu seberapa besar kekuatan alam semesta yang sesungguhnya. Kau hanyalah debu di lautan bintang.”
Arka mengepalkan tangannya. “Mungkin aku cuma debu, tapi debu juga bisa membuat badai.”
Ledakan Energi Kosmik
Thalzor mengangkat tangannya, menciptakan bola energi hitam yang berputar dengan kecepatan tinggi. Bola itu semakin membesar, menarik serpihan ruang angkasa di sekitarnya.
“Lari!” seru Lyra sambil menarik Arka menjauh. Energi itu meledak, menghancurkan bagian luar menara dan menyebabkan pecahan kristal beterbangan ke segala arah.
Di tengah reruntuhan, Arka terbatuk dan bangkit. Ia melihat Lyra terjatuh beberapa meter darinya. Tubuhnya terluka, tetapi ia masih bertahan.
“Lyra!” Arka berlari menghampirinya dan membantu Lyra berdiri.
Lyra menggigit bibirnya, menahan rasa sakit. “Kita harus menemukan cara menghentikan Thalzor sebelum dia menghancurkan inti kosmik.”
Arka mengangguk, lalu mengangkat wajahnya menatap langit. Armada musuh terus mendekat, tetapi di tengah rasa takut itu, muncul sebuah keyakinan dalam dirinya.
“Lyra,” Arka berkata pelan, tetapi tegas. “Aku punya ide.”
Lyra menatap Arka dengan bingung. “Apa maksudmu?”
“Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita harus menyerang,” ujar Arka. “Jika Thalzor ingin energi kosmik inti… kita harus mengarahkannya ke tempat yang justru menjebaknya.”
Mata Lyra membesar. “Kau ingin menggunakan inti kosmik sebagai umpan?”
Arka mengangguk. “Benar. Jika kita bisa memanipulasi aliran energi dan mengarahkan ledakannya ke Thalzor, kita bisa memusnahkan seluruh armadanya sekaligus.”
Lyra terdiam sejenak, menyadari risiko besar dari rencana tersebut. Jika mereka gagal, seluruh planet Caleira bisa ikut musnah.
“Tapi kau tahu risikonya,” kata Lyra pelan.
Arka tersenyum kecil. “Aku tahu. Tapi aku percaya padamu.”
Di kejauhan, Thalzor kembali mengangkat tangannya, siap melancarkan serangan berikutnya. Langit semakin gelap, tetapi di hati mereka berdua, api keberanian telah menyala.
Bab 5: Janji di Antara Bintang
Strategi yang Berisiko
Langit Caleira mulai berubah warna, bukan lagi biru keperakan yang damai, tetapi merah gelap yang mencerminkan kehancuran. Thalzor berdiri di angkasa seperti bayangan raksasa, armadanya terus menghancurkan struktur pertahanan planet.
Arka dan Lyra bergerak cepat di dalam Menara Astral, menuju ruang inti kosmik di bagian terdalam bangunan. Jalan yang mereka lalui diterangi oleh energi biru yang tampak semakin redup, tanda bahwa planet itu semakin melemah.
“Arka, kau yakin rencana ini akan berhasil?” tanya Lyra sambil menatap pria itu.
Arka menoleh, menampilkan senyum tipis. “Aku tidak yakin, tapi aku tahu satu hal. Jika kita hanya bertahan, kita akan kalah. Kita harus mengambil risiko.”
Lyra mengangguk pelan. Meskipun ada ketakutan di hatinya, ada juga rasa percaya pada pria ini—orang asing dari dunia jauh yang rela mempertaruhkan segalanya untuk melindungi dunianya.
Saat mereka tiba di ruang inti kosmik, Arka tertegun melihat struktur di depannya. Inti itu melayang di tengah ruangan, berbentuk bola energi biru berpendar yang dikelilingi oleh cincin-cincin bercahaya. Cahaya dari inti tersebut terasa hangat, seolah-olah menyambut mereka dengan keajaiban.
“Ini inti kosmik Caleira,” ujar Lyra pelan. “Sumber kehidupan dan kekuatan planet ini. Tapi jika energinya dilepaskan terlalu banyak, ia bisa menghancurkan seluruh galaksi.”
Arka menatap inti itu dengan takjub. “Dan kau ingin mempertaruhkan ini untuk menjebak Thalzor?”
Lyra terdiam sejenak sebelum menjawab. “Bukan aku… kita. Ini pilihan terakhir kita.”
Arka mendekati altar di bawah inti kosmik, memindai panel yang tampak seperti campuran antara teknologi dan sihir. “Jelaskan apa yang harus kulakukan,” katanya dengan nada tegas.
Lyra mendekatinya. “Kita akan mengarahkan aliran energi inti ke Aurora Solaris, senjata kuno yang bisa menghancurkan makhluk astral. Tapi itu membutuhkan energi kosmik dalam jumlah besar. Kita harus memancing Thalzor mendekat ke lokasi peluncuran.”
Setelah menyelesaikan persiapan, Lyra berhenti sejenak, menatap Arka yang sedang memeriksa konsol kendali. Hatinya berdebar, bukan karena rasa takut, tetapi karena perasaan yang perlahan tumbuh setiap kali ia melihat pria itu.
“Arka,” panggil Lyra pelan.
Arka menoleh. “Ya?”
“Kau… mengingatkanku pada seseorang,” kata Lyra, nadanya penuh emosi.
“Siapa?” tanya Arka.
Lyra menunduk, seolah menahan rasa sakit. “Ibuku. Dia juga pernah berkata bahwa keberanian lebih penting daripada kepastian. Dia mengorbankan dirinya untuk melindungi planet ini. Dan sekarang, aku takut… kau juga akan melakukan hal yang sama.”
Arka mendekat, menempatkan tangannya di bahu Lyra. “Dengar, aku tidak berencana mati hari ini. Aku akan memastikan kita berdua selamat. Percayalah padaku.”
Mata Lyra berkaca-kaca, tetapi ia mengangguk. “Aku percaya.”
Pertempuran di Antara Bintang
Ketika mereka kembali ke permukaan, perisai planet sudah hampir sepenuhnya runtuh. Serangan Thalzor semakin brutal, memaksa penduduk Caleira melarikan diri ke tempat perlindungan bawah tanah.
Arka dan Lyra memimpin serangan balasan dari Menara Aurora, lokasi di mana Aurora Solaris berada. Arka, dengan pesawat Stellar Aegis yang telah diperbaiki menggunakan teknologi Caleira, memimpin skuadron kecil untuk mengalihkan perhatian armada musuh.
“Lyra, aku akan memancing Thalzor mendekat,” ujar Arka melalui transmisi. “Kau fokuskan energimu pada Aurora Solaris.”
“Baik. Tapi hati-hati, Arka,” balas Lyra.
Pesawat Arka melesat di antara kapal-kapal musuh, menghindari serangan sinar energi dengan manuver yang nyaris mustahil. Tembakan plasma dari Stellar Aegis menghancurkan beberapa kapal kecil, tetapi Arka tahu tujuannya bukan untuk menang, melainkan untuk menarik perhatian Thalzor.
Dan itu berhasil.
“Manusia bodoh! Kau pikir kau bisa melawanku?” teriak Thalzor dengan suara gemuruh.
Sosok besar itu melesat turun dari armadanya, mengejar Stellar Aegis dengan bola energi hitam yang mematikan. Arka mengarahkan pesawatnya menuju lokasi peluncuran Aurora Solaris, memastikan Thalzor mengikuti tepat di belakangnya.
Di Menara Aurora, Lyra berdiri di depan altar besar, tangannya melayang di atas kristal kendali. Energi dari inti kosmik mengalir melalui tubuhnya, membuat auranya bercahaya biru terang. Tubuhnya gemetar karena tekanan energi yang luar biasa, tetapi ia terus bertahan.
“Arka, aku sudah siap,” ujarnya melalui transmisi.
“Bagus,” balas Arka, napasnya berat. “Aku akan membawanya tepat ke titik peluncuran.”
Ketika Thalzor semakin dekat, Lyra menarik napas panjang dan mulai melafalkan mantra kuno dalam bahasa Caleira. Lingkaran cahaya muncul di langit, membentuk pola seperti matahari yang bercahaya keemasan.
“Sekarang, Lyra!” seru Arka.
Lyra mengarahkan seluruh energinya ke Aurora Solaris. Sebuah sinar besar keluar dari lingkaran cahaya, menerjang Thalzor dengan kekuatan yang luar biasa.
Namun, sebelum Thalzor terkena serangan penuh, ia melawan dengan energi hitam yang kuat, menciptakan benturan dahsyat yang mengguncang seluruh planet.
Arka melihat Stellar Aegis hampir kehilangan kendali akibat gelombang ledakan. “Lyra, kau baik-baik saja?” tanyanya panik.
Lyra terengah-engah, tetapi ia menjawab, “Aku… masih di sini. Tapi energinya hampir habis.”
Thalzor masih bertahan, meskipun tubuh astralnya mulai retak. “Kalian pikir ini cukup untuk menghentikanku?” teriaknya dengan marah.
Ketegangan semakin memuncak ketika Lyra jatuh ke tanah karena kelelahan. Arka menyadari bahwa ini belum selesai, tetapi ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk melindungi Lyra dan planet ini, apapun yang terjadi.
Dalam hati, ia berbisik, “Aku tidak akan membiarkanmu kalah. Tidak di hadapanku.”
Langit Caleira masih bergemuruh, tetapi di antara kehancuran itu, tekad Arka dan Lyra tetap membara, seolah seluruh galaksi menaruh harapan mereka pada pasangan ini.
Bab 6: Pertempuran di Langit Kosmik
Langit yang Membara
Arka menatap layar kontrol Stellar Aegis, matanya terpaku pada sosok Thalzor yang perlahan mengangkat tangannya kembali. Retakan di tubuh astralnya tampak seperti celah neraka yang memancarkan energi merah hitam. Meski terkena serangan Aurora Solaris, Thalzor belum tumbang.
“Lyra!” seru Arka melalui transmisi. “Thalzor masih berdiri!”
Di ruang kendali Aurora Solaris, Lyra bangkit perlahan, meski tubuhnya terasa lemah. Nafasnya tersengal, dan cahaya aurora di sekitarnya mulai meredup. Namun, ia menatap layar proyeksi dengan tekad yang tak goyah.
“Aurora Solaris… belum cukup,” ucap Lyra dengan suara pelan. “Energi inti kosmik kita terlalu lemah.”
Arka menggertakkan giginya. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Lyra menunduk, kemudian berkata dengan nada pelan namun mematikan. “Ada satu cara… tetapi risikonya terlalu besar.”
Arka menegakkan tubuhnya. “Katakan saja!”
Lyra menatap layar di hadapannya. “Aku bisa menggunakan seluruh energiku sebagai katalis untuk menguatkan inti kosmik. Tapi jika aku melakukannya… tubuhku akan kehilangan kemampuanku sebagai penjaga astral.”
Sejenak, ruangan terasa hening. Kalimat Lyra menggantung seperti pedang di atas kepala. Arka terdiam, menyadari bahwa Lyra baru saja menawarkan pengorbanan besar—mengorbankan seluruh kekuatannya.
“Tidak,” jawab Arka dengan tegas. “Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu!”
Lyra menatap proyeksi Arka dengan mata yang penuh luka. “Arka… ini satu-satunya jalan.”
Di luar menara, Thalzor melayang tinggi, membentuk pusaran energi hitam yang memanipulasi ruang dan waktu. Kapal-kapal tempur Caleira yang tersisa mencoba menyerangnya, tetapi dihancurkan dengan mudah oleh sapuan energinya.
“Akhir dari Caleira telah tiba!” teriak Thalzor, suaranya menggema di seluruh langit.
Arka mengarahkan pesawat Stellar Aegis ke arah Thalzor, menembakkan seluruh senjata plasmanya tanpa henti. Ledakan demi ledakan menghujani tubuh Thalzor, tetapi tidak ada yang cukup untuk menghancurkan makhluk itu.
“Dia terlalu kuat!” seru Arka frustasi.
Lyra menutup matanya, memusatkan seluruh energinya ke dalam inti Aurora Solaris. Dalam keheningan pikirannya, ia teringat akan senyum lembut ibunya dan bisikan penuh kasih: “Cinta adalah kekuatan yang paling besar.”
Lyra membuka matanya dan berkata dengan suara penuh keteguhan, “Arka, dengarkan aku. Kau harus percaya padaku.”
Arka menggertakkan giginya. “Aku mempercayaimu! Tapi aku tidak akan kehilanganmu!”
Lyra tersenyum tipis, walau matanya berkaca-kaca. “Aku tidak akan pergi ke mana pun… aku hanya akan berubah.”
Tiba-tiba, lingkaran cahaya biru keemasan muncul di sekitar Lyra. Rambutnya yang berwarna perak mulai bercahaya, dan tubuhnya dikelilingi oleh aura hangat seperti cahaya matahari terbit.
“Lyra! Jangan!” teriak Arka dengan panik.
Namun, suara Lyra terdengar lembut melalui transmisi terakhirnya. “Percayalah padaku, Arka. Aku akan bersamamu… selamanya.”
Cahaya dari tubuh Lyra menyatu dengan inti kosmik Aurora Solaris. Ruangan tersebut bergetar hebat ketika kekuatan Lyra memancar ke seluruh langit, menciptakan ledakan aurora yang menyilaukan.
Ledakan energi kosmik menyapu seluruh medan perang. Stellar Aegis terdorong ke belakang oleh gelombang energi besar. Arka berusaha mengendalikan pesawatnya, tetapi matanya terpaku pada langit, mencari sosok Lyra.
Di tengah kilauan cahaya biru dan emas, Thalzor meraung dengan suara yang memecah angkasa. Tubuhnya yang penuh retakan akhirnya hancur menjadi debu bintang, tersapu oleh energi Aurora Solaris yang dilepaskan oleh Lyra.
Namun, ketika cahaya perlahan mereda, Lyra menghilang dari pandangan.
Arka mengaktifkan pemindai pesawatnya dengan tangan gemetar. “Nova… temukan Lyra!”
Nova, AI pesawat, merespons dengan suara tenang. “Tidak ada sinyal kehidupan di dekat sumber energi.”
“Tidak mungkin…” bisik Arka. Dadanya terasa sesak.
Langit Caleira kembali tenang, tetapi rasa kosong memenuhi hati Arka. Di tengah keheningan, ia menatap aurora yang masih berpendar samar. “Lyra…”
Namun, suara lembut terdengar di kokpitnya, seperti bisikan dari angin kosmik.
“Aku di sini, Arka… selalu.”
Arka menutup matanya dan tersenyum tipis, meskipun air mata mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa Lyra belum benar-benar pergi. Di dalam setiap cahaya bintang, ia masih ada… bersama dalam galaksi di antara mereka.
Bab 7: Kehilangan dan Harapan
Di Bawah Langit yang Sunyi
Arka terduduk di kursi pilot Stellar Aegis. Langit di luar kini tampak damai, dihiasi sisa-sisa aurora yang berpendar lemah. Ledakan dahsyat dari Aurora Solaris telah menghapus ancaman Thalzor dan armadanya, namun kemenangan itu terasa hampa.
Nova, AI pesawat, memecah keheningan dengan suara lembutnya. “Kapten Arka, pertempuran telah selesai. Planet Caleira kembali aman.”
Arka memejamkan matanya sejenak. Kata-kata itu seharusnya menjadi kabar baik, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Lyra—gadis pemberani yang membuatnya percaya bahwa ia bisa melindungi sesuatu yang lebih besar dari dirinya—telah menghilang.
“Nova,” gumam Arka. “Aktifkan pemindai penuh. Cari energi kehidupan di seluruh wilayah ini.”
“Pemindaian dimulai,” jawab Nova. Layar holografis memunculkan gambar tiga dimensi dari atmosfer planet hingga ke dasar intinya. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang menyerupai energi astral Lyra.
Arka mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku tidak akan menyerah,” bisiknya pelan.
Di bawah, kota Caleira mulai memulihkan diri. Sisa-sisa reruntuhan mengapung di udara sebelum perlahan kembali ke tempatnya seperti teka-teki yang disusun ulang oleh sihir planet. Penduduk Caleira mulai keluar dari tempat perlindungan mereka, menyaksikan keajaiban ini dengan penuh haru.
Namun, semua mata menatap langit dengan penuh pertanyaan: di mana Lyra, penjaga mereka?
Di tengah kerumunan, seorang lelaki tua berjubah putih, Eryos, yang merupakan penasihat agung Lyra, berdiri dengan tatapan serius. Ketika Stellar Aegis mendarat di tengah alun-alun kristal, semua orang menyambut Arka dengan hormat, tetapi tidak ada sorak kemenangan. Hanya keheningan penuh rasa kehilangan.
Eryos mendekat dan menunduk hormat. “Kapten Arka, kemenangan ini tercapai berkatmu. Tapi… di mana Lady Lyra?”
Arka menatap Eryos dengan tatapan kosong, lalu menggeleng perlahan. “Dia mengorbankan dirinya untuk mengaktifkan Aurora Solaris.”
Isak tangis kecil terdengar dari beberapa penjaga astral di sekitar alun-alun. Eryos memejamkan matanya, menundukkan kepala dalam duka. “Dia… memenuhi takdirnya, seperti ibunya dahulu.”
Arka mengepalkan tangannya. “Dia tidak seharusnya menghilang begitu saja.”
Eryos menepuk pundak Arka dengan lembut. “Penjaga sejati tak pernah benar-benar pergi. Energi mereka hidup dalam setiap cahaya yang kau lihat di langit.”
Pertemuan dengan Makhluk Astral Kuno
Arka duduk di tepi balkon menara, menatap cakrawala yang kembali damai. Angin berhembus lembut, membawa aroma embun kosmik. Namun, tiba-tiba udara di sekitarnya berubah. Suhu turun, dan bintang-bintang di langit tampak berpendar lebih terang dari biasanya.
“Aku tahu kau ada di sini,” ujar Arka pelan, meski ia tidak menoleh.
Dari cahaya lembut di belakangnya, muncul sesosok makhluk astral bercahaya putih perak. Ia memiliki bentuk humanoid dengan wajah tanpa ekspresi dan jubah transparan seperti kabut bintang.
“Arka Valtros,” suara makhluk itu terdengar seperti gema yang berasal dari dimensi lain. “Kau telah membuktikan dirimu sebagai pelindung yang layak.”
Arka berdiri dan menatap makhluk itu dengan pandangan tajam. “Jika kau benar-benar makhluk astral yang menjaga keseimbangan alam semesta, kau pasti tahu di mana Lyra.”
Makhluk astral itu diam sejenak sebelum menjawab. “Energinya menyatu dengan inti kosmik. Tubuhnya telah hilang dari dimensi fisik, tetapi jiwanya belum padam.”
Arka merasakan harapan kecil menyusup di hatinya. “Apa maksudmu?”
“Lyra masih dapat ditemukan,” lanjut makhluk itu. “Namun, untuk menemukannya, kau harus melewati batas dimensi kosmik. Perjalanan itu penuh bahaya… dan tidak ada jaminan kau akan kembali.”
Arka menatap bintang-bintang di langit, seolah mencari wajah Lyra di antara mereka. Kemudian ia menoleh kembali, matanya penuh tekad. “Jika itu satu-satunya cara, maka aku akan melakukannya.”
Makhluk astral itu mengangkat tangannya, dan lingkaran cahaya ungu keemasan terbentuk di udara. “Ini adalah Gerbang Nebula. Hanya mereka yang memiliki hati yang teguh dan jiwa yang siap mengorbankan segalanya yang bisa melewatinya.”
Arka melangkah maju tanpa ragu. Sebelum memasuki gerbang itu, ia memejamkan mata dan berbisik pelan, “Tunggu aku, Lyra… aku akan menjemputmu.”
Cahaya dari Gerbang Nebula menyelimuti tubuh Arka, membawanya melesat ke dimensi yang belum pernah dijelajahi manusia. Di belakangnya, bintang-bintang berpendar lebih terang, seolah memberi restu pada perjalanannya.
Namun, perjalanan ini bukanlah akhir—melainkan awal dari harapan yang baru.
Bab 8: Matahari Kosmik yang Tersembunyi
Melintasi Gerbang Nebula
Tubuh Arka terasa ringan ketika ia melewati Gerbang Nebula. Cahaya keemasan dan ungu membelai kulitnya, menciptakan perasaan damai sekaligus ketegangan. Di depannya terbentang lautan bintang yang berputar seperti pusaran galaksi. Suara bising perlahan menghilang, digantikan oleh keheningan kosmik yang menyelubungi segalanya.
“Selamat datang di dimensi kosmik,” ujar suara makhluk astral yang menyertai perjalanannya.
Arka membuka matanya dan mendapati dirinya melayang di antara ruang yang penuh energi bercahaya. Di kejauhan, ia melihat beberapa bentuk menyerupai serpihan bintang yang bergerak lambat. Setiap serpihan memancarkan cahaya hangat, seolah membawa kenangan yang pernah hilang.
“Itu… apa?” tanya Arka sambil menatap fenomena tersebut.
Makhluk astral menjawab, “Itu adalah fragmen jiwa dari makhluk yang pernah hidup. Termasuk Lyra.”
Jantung Arka berdegup kencang. Ia mengulurkan tangannya ke arah cahaya-cahaya itu, berharap menemukan jejak Lyra di antaranya. Namun sebelum ia sempat mendekat, sebuah guncangan kuat membuat ruang di sekitarnya bergetar hebat.
Dari pusaran cahaya biru yang tiba-tiba muncul, sesosok makhluk besar muncul. Tubuhnya berbentuk seperti naga kosmik dengan sayap bercahaya, matanya bersinar merah seperti bintang yang meledak. Makhluk itu mengeluarkan raungan keras yang mengguncang dimensi tersebut.
“Aetheron, penjaga gerbang inti kosmik,” bisik makhluk astral di sebelah Arka.
Arka menatap Aetheron dengan sorot mata penuh tekad. Ia tahu bahwa untuk menyelamatkan Lyra, ia harus melawan semua rintangan, termasuk makhluk kolosal ini.
“Tidak ada jalan kembali,” gumam Arka sambil meraih kendali Stellar Aegis yang kini kembali aktif di dimensi ini. Mesin pesawatnya bersinar biru keperakan, seolah memahami misi besar yang diembannya.
Aetheron mengepakkan sayapnya dan melesat ke arah Arka dengan kecepatan luar biasa. Arka memutar kendali dan menembakkan peluru plasma ke arah naga kosmik tersebut. Ledakan terjadi, tetapi hanya meninggalkan percikan kecil di tubuh besar makhluk itu.
“Serangan biasa tidak akan cukup,” ujar makhluk astral.
Arka meringis. “Lalu bagaimana caranya?”
Makhluk astral itu membentuk lingkaran cahaya di udara dan menunjuk ke inti bintang di kejauhan. “Gunakan energi kosmik inti yang ada di sana. Kau bisa mengarahkannya melalui Stellar Aegis.”
Pertarungan Melawan Badai Kosmik
Arka mengendalikan pesawatnya menuju inti bintang kecil yang berpendar di kejauhan. Aetheron mengejarnya dengan serangan ledakan energi kosmik yang hampir membakar lambung pesawat. Arka memutar pesawatnya dengan manuver tajam, lalu mengaktifkan perangkat penyerapan energi Stellar Aegis.
Bola energi terang mulai mengalir ke dalam sistem pesawat, membuat seluruh tubuh Stellar Aegis bersinar biru keemasan. Arka menatap monitor dan tersenyum tipis. “Sekarang giliranmu, Aetheron.”
Ia memutar kendali dan meluncur ke arah naga kosmik itu. Aetheron membuka mulutnya, mengeluarkan semburan energi merah. Namun, Arka sudah siap.
“Mode penyerangan penuh!”
Stellar Aegis melepaskan sinar kosmik yang terfokus, menembus tubuh Aetheron dan menciptakan ledakan besar yang menerangi seluruh dimensi. Tubuh Aetheron hancur perlahan menjadi serpihan bintang, menghilang seperti serpihan debu kosmik yang berkilauan.
Pintu ke Inti Kosmik
Setelah Aetheron hancur, sebuah jalan bercahaya terbuka di depan Arka. Di ujung jalan itu, ia melihat sebuah cahaya lembut berwarna biru keperakan yang tampak berdenyut seperti jantung yang hidup.
“Itu inti kosmik yang menyimpan jiwa Lyra,” kata makhluk astral.
Arka memajukan pesawatnya dengan perlahan, rasa cemas dan harapan bercampur aduk di dadanya. Ketika ia tiba di depan inti tersebut, ia keluar dari pesawat dan melayang di ruang hampa.
Perlahan, ia menyentuh permukaan inti kosmik yang terasa hangat seperti sentuhan tangan manusia. Cahaya tersebut berpendar lembut, dan dari dalamnya, sesosok bayangan muncul. Bayangan itu perlahan berubah menjadi sosok Lyra.
“Lyra…” suara Arka terdengar gemetar.
Lyra membuka matanya, cahaya biru di sekelilingnya berpendar indah. Wajahnya yang lembut kembali terlihat jelas, dan senyum tipis terukir di bibirnya.
“Arka…” bisik Lyra.
Arka menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku datang untuk membawamu pulang.”
Lyra mengulurkan tangannya. “Aku tahu kau akan datang.”
Saat tangan mereka bersentuhan, cahaya dari inti kosmik perlahan membungkus mereka berdua, membawa mereka kembali ke dunia nyata.
Di langit Caleira, cahaya aurora yang sempat meredup tiba-tiba kembali bersinar, jauh lebih indah dari sebelumnya. Dari menara utama, penduduk Caleira melihat dua sosok turun perlahan bersama cahaya itu—Arka dan Lyra, berdiri berdampingan di bawah langit yang penuh bintang.
Teriakan sorak kemenangan dan air mata kebahagiaan memenuhi alun-alun kota. Namun, bagi Arka dan Lyra, kebahagiaan itu sederhana: mereka kembali bersama di bawah bintang-bintang.
Arka menggenggam tangan Lyra dengan lembut dan berkata pelan, “Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”
Lyra tersenyum. “Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Di tengah keheningan penuh keajaiban, dua jiwa yang terpisah oleh dimensi akhirnya bersatu kembali, menghidupkan kembali harapan seluruh galaksi.
Bab 9: Cinta di Tengah Kehancuran
Fajar Baru di Caleira
Langit Caleira kembali dipenuhi aurora keemasan yang menari seperti ombak samudra bintang. Arka dan Lyra berdiri di alun-alun kota yang penuh dengan penduduk yang bersorak dan menangis haru. Setelah semua kehancuran, akhirnya kedamaian kembali.
Namun, di tengah perayaan itu, Eryos, penasihat agung Caleira, mendekati mereka dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Maaf mengganggu momen ini,” ujar Eryos dengan suara rendah, “tetapi inti kosmik menunjukkan sesuatu yang tidak biasa.”
Arka mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Lyra menoleh dengan tatapan serius. “Apakah energi kosmik masih tidak stabil?”
Eryos mengangguk pelan. “Ya. Energi yang dilepaskan untuk mengalahkan Thalzor telah membuka celah dimensi baru di galaksi gelap. Jika tidak ditutup, seluruh sistem bintang di sekitar sini akan tersedot ke dalam kehampaan.”
Suasana yang tadinya penuh harapan menjadi tegang. Arka menatap Lyra dengan cemas. “Kita belum benar-benar menang, ya?”
Lyra menghela napas dan menatap horizon. “Belum. Pertarungan terakhir masih menunggu.”
Arka dan Lyra segera bersiap di Stellar Aegis. Lyra mengenakan jubah pelindung berwarna biru perak yang memancarkan aura cahaya lembut. Sementara itu, Arka memeriksa sistem pesawat dengan teliti.
“Nova,” panggil Arka kepada AI pesawatnya.
“Semua sistem siap, Kapten,” jawab Nova.
Arka menoleh ke arah Lyra yang duduk di kursi penumpang. “Apa kau yakin bisa menutup celah dimensi itu tanpa mengorbankan dirimu lagi?”
Lyra tersenyum lembut, tetapi ada kesedihan di matanya. “Kita harus mencobanya bersama.”
Arka mengangguk, menggenggam tangan Lyra erat. “Kali ini, tidak ada yang akan hilang.”
Pesawat mereka meluncur ke angkasa dengan kecepatan penuh, menuju pusat galaksi gelap yang terbuka seperti pusaran hitam raksasa. Suara letupan energi kosmik terdengar menggelegar ketika mereka mendekati celah tersebut.
Serangan Terakhir dari Kegelapan
Ketika mereka tiba di pusat pusaran, bayangan gelap muncul—sisa-sisa kekuatan Thalzor yang belum sepenuhnya lenyap. Bayangan itu membentuk sosok yang tidak sempurna, tetapi auranya masih sangat kuat.
“Kalian pikir bisa menghapus kekacauan begitu saja? Aku adalah kehampaan itu sendiri!” teriak bayangan Thalzor dengan suara menggelegar.
Arka mengepalkan kendali pesawat. “Dia masih ada!”
Lyra menutup matanya dan memusatkan kekuatannya. “Ini hanya pantulan energi yang tersisa… tetapi cukup kuat untuk menghancurkan kita jika kita lengah.”
Bayangan Thalzor menyerang dengan ledakan energi hitam yang mengalir seperti angin badai kosmik. Stellar Aegis bergetar hebat, tetapi Arka memutar kendali dengan terampil, menghindari semburan tersebut.
“Lyra, kita harus meluncurkan serangan bersamaan!” seru Arka.
Lyra membuka mata dan mengangkat tangannya. Cahaya biru keemasan muncul di sekeliling tubuhnya. “Aku akan membuka jalur energinya. Kau arahkan semua daya tembak ke pusat bayangan itu.”
Kekuatan Cinta di Tengah Perang
Saat Lyra memanipulasi energi kosmik, ruang di sekitarnya berpendar dengan warna aurora. Arka menatap Lyra sejenak, terpesona oleh kekuatannya. Meski dunia mereka berbeda, Lyra adalah satu-satunya orang yang ia percayai sepenuhnya.
“Lyra… apa pun yang terjadi, aku akan selalu berada di sampingmu,” bisik Arka.
Lyra tersenyum lembut. “Dan aku akan selalu mencarimu, Arka, ke mana pun kau pergi.”
Mereka saling bertukar pandang, seolah waktu berhenti di tengah kehancuran yang mengelilingi mereka. Namun, momen itu terputus ketika bayangan Thalzor menyerang dengan kekuatan terakhirnya.
“Sekarang!” seru Arka.
Stellar Aegis meluncurkan sinar energi kosmik yang menyatu dengan pancaran cahaya dari Lyra. Ledakan besar terjadi, menciptakan gelombang energi biru keemasan yang melahap bayangan Thalzor hingga benar-benar menghilang menjadi serpihan kecil.
Pintu Dimensi yang Tertutup
Setelah ledakan mereda, pusaran dimensi mulai menyusut dan tertutup perlahan. Namun, energi yang tersisa membuat Stellar Aegis terdorong keluar orbit. Arka memegang kendali sekuat tenaga.
“Apa kita berhasil?” tanya Arka dengan suara terengah.
Lyra menoleh dan melihat pusaran yang perlahan menghilang sepenuhnya. “Ya… celah itu sudah tertutup.”
Arka menghela napas panjang dan tersenyum. “Kita berhasil, Lyra.”
Stellar Aegis kembali ke Caleira dengan cahaya aurora yang melingkupi seluruh pesawat. Saat mereka turun di alun-alun, penduduk bersorak penuh rasa syukur dan haru.
Arka turun dari pesawat dan membantu Lyra turun. Tangan mereka masih saling menggenggam, seperti simbol bahwa perjuangan ini telah mengikat mereka untuk selamanya.
Di bawah langit penuh bintang, Arka menatap Lyra dan berkata dengan suara pelan namun penuh janji, “Sekarang… kita benar-benar pulang.”
Lyra tersenyum dan memeluknya erat. “Ya… kita pulang.”
Bersama, mereka berdiri di bawah aurora kosmik yang indah, menatap masa depan yang penuh harapan.
Bab 10: Galaksi Baru
Hari Baru di Caleira
Matahari kosmik perlahan terbit di cakrawala, memancarkan sinarnya yang hangat ke permukaan Caleira yang kini telah pulih. Bangunan kristal yang hancur kini berdiri megah kembali berkat sihir para penjaga. Langit dipenuhi warna biru, oranye, dan ungu, seolah merayakan kedamaian yang akhirnya tercipta setelah pertempuran panjang.
Di tengah alun-alun utama, para penduduk berkumpul untuk menyaksikan pengumuman penting. Di atas panggung kristal berdiri Lyra, mengenakan jubah penjaga baru berwarna putih keemasan, dengan hiasan berbentuk bintang di pundaknya. Di sebelahnya, Arka berdiri dengan seragam pilot yang sederhana namun penuh kebanggaan.
Eryos mengangkat tangannya, meminta semua orang untuk tenang. “Hari ini, kita merayakan bukan hanya kemenangan atas kegelapan, tetapi juga harapan baru bagi Caleira. Kita telah bertahan… dan kita hidup kembali.”
Sorak-sorai membahana memenuhi alun-alun. Namun, di tengah kegembiraan itu, Lyra melangkah maju. Suaranya lembut, tetapi penuh keteguhan.
“Aku ingin berterima kasih kepada kalian semua… dan seseorang yang datang dari tempat yang jauh, tetapi mempertaruhkan segalanya untuk dunia kita.”
Lyra menoleh ke arah Arka, menatapnya penuh rasa haru. “Arka Valtros, karena keberanianmu, aku menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya datang dari sihir atau teknologi, tetapi juga dari hati yang tidak menyerah.”
Arka tersenyum dan berbisik pelan, “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.”
Lyra menatap para penduduk Caleira dan berkata, “Bintang-bintang mungkin akan redup, tetapi cinta dan keberanian kita akan selalu bersinar.”
Sorak-sorai kembali membahana. Namun, Arka tahu bahwa meskipun dunia ini telah damai, perjalanan mereka belum selesai.
Setelah perayaan berakhir, Arka dan Lyra berjalan bersama di tepi sungai kristal yang berkilauan di bawah cahaya bintang. Suasana hening, tetapi penuh rasa syukur.
“Aku tahu ini bukan rumahmu,” kata Lyra dengan suara pelan. “Bumi menunggumu.”
Arka menghela napas panjang. “Ya… ada kewajiban yang harus kuselesaikan di sana.”
Mereka berhenti di sebuah taman yang penuh bunga astral yang berpendar lembut. Lyra duduk di atas bebatuan kristal, memandangi refleksi bintang di permukaan air.
“Aku takut kehilanganmu lagi,” bisik Lyra.
Arka duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tidak akan benar-benar pergi. Kau ada di setiap bintang yang kulihat.”
Lyra tersenyum, meskipun matanya berkaca-kaca. “Dan kau ada di setiap aurora yang menari di langit Caleira.”
Arka menatapnya dengan dalam dan berkata, “Jarak mungkin memisahkan kita, tetapi hati kita akan selalu menemukan jalannya kembali.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati momen itu, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Esok paginya, Stellar Aegis telah siap untuk kembali ke Bumi. Para teknisi Caleira memastikan pesawat itu berada dalam kondisi terbaik, bahkan menambahkan teknologi baru yang membuatnya lebih kuat.
Lyra berdiri di landasan peluncuran bersama Eryos dan para penjaga lainnya. Arka menaiki tangga pesawat, tetapi sebelum pintu kokpit tertutup, ia berhenti dan berbalik menatap Lyra.
“Aku akan kembali,” ucapnya tegas.
Lyra tersenyum lembut. “Aku akan menunggu.”
Cahaya biru menyelimuti tubuh pesawat saat Stellar Aegis meluncur ke angkasa. Penduduk Caleira melambaikan tangan mereka, sementara Lyra memejamkan matanya, merasakan napas angin yang membawa kenangan tentang Arka.
Di Antara Bintang-Bintang
Selama perjalanan kembali ke Bumi, Arka duduk di kursi pilot, memandangi lautan bintang di luar jendela kokpit. Suara Nova memecah keheningan.
“Kapten, perjalanan kita akan memakan waktu beberapa hari.”
Arka tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Nova. Aku punya banyak waktu untuk mengenang.”
Ia mengingat senyum Lyra, tatapan penuh kepercayaan, dan momen-momen di mana mereka bertarung bersama. Ada rasa kehilangan, tetapi juga janji yang menghangatkan hatinya.
Kisah yang Belum Berakhir
Di Caleira, Lyra berdiri di atas menara tertinggi, menatap ke langit malam yang penuh bintang. Angin malam membawa suara yang lembut—suara yang hanya ia dengar di dalam hatinya.
“Aku di sini, Lyra.”
Lyra tersenyum dan menatap langit dengan penuh keyakinan. “Dan aku di sini, Arka.”
“Galaksi mungkin memisahkan tubuh kita, tetapi cinta akan selalu menjadi cahaya yang memandu jalan kita pulang.”
Tamat
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.