Senja dan Rasa yang Tak Pernah Usai
Senja dan Rasa yang Tak Pernah Usai

Novel Singkat: Senja dan Rasa yang Tak Pernah Usai

Aldan selalu menghabiskan senja di bukit kenangan, meratapi cinta yang hilang bersama Karina, kekasih yang pergi tanpa pamit. Setelah bertahun-tahun, Karina kembali dengan cerita menyakitkan tentang kesedihannya—sebuah keputusan pahit demi melindungi Aldan.

Di bawah senja yang sama, mereka belajar bahwa cinta sejati bukan tentang sempurna, tetapi tentang keberanian untuk memaafkan dan memperbaiki. Meski penuh rasa takut, Aldan dan Karina memutuskan untuk menulis ulang cerita mereka, membuktikan bahwa rasa yang pernah patah bisa tumbuh kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Kisah ini adalah tentang kehilangan, pengampunan, dan cinta yang tak pernah benar-benar usai—seperti senja yang selalu kembali di ujung hari.

Bab 1: Bukit dan Kenangan yang Terpatri

Senja kembali memayungi langit dengan warna jingga keemasan. Aldan duduk di atas batu besar di puncak bukit favoritnya, tempat kenangan bersama Karina tertinggal. Udara sore itu terasa sama—hambar, seolah mengerti bahwa hati Aldan masih diliputi kehampaan. Lima tahun sudah berlalu sejak Karina menghilang tanpa sepatah kata, tetapi setiap langkahnya menuju bukit selalu dipenuhi harapan samar bahwa Karina akan kembali.

Aldan menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Sebuah benda kecil yang berkilauan menarik perhatiannya di dekat rerumputan. Ia berjalan mendekat dan menemukan sebuah kalung liontin berbentuk bulan sabit—kalung yang dulu selalu dikenakan Karina.

Jantung Aldan berdetak lebih cepat. “Apa mungkin Karina ada di sini?” pikirnya. Hatinya diliputi rasa penasaran yang menggebu. Ia memutar tubuh dan menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang dikenalnya.

Namun, bukannya Karina yang ia lihat, melainkan seorang perempuan berkerudung cokelat muda berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu menatapnya dengan ekspresi canggung, seolah sedang menimbang sesuatu. “Maaf… ini milikmu?” tanyanya sambil menunjuk kalung yang digenggam Aldan.

Aldan tertegun. Perempuan itu memiliki tatapan yang familiar, seperti menyimpan rahasia yang besar. “Tidak,” jawab Aldan. “Kalung ini milik seseorang yang sudah lama menghilang.”

Perempuan itu menggigit bibirnya, lalu berkata dengan nada pelan, “Karina tidak menghilang. Dia… meninggalkan sesuatu untukmu sebelum semuanya berubah.”

Aldan mengernyit, rasa penasaran bercampur curiga. “Kau mengenal Karina?” tanyanya.

Perempuan itu tersenyum tipis dan menjawab dengan suara bergetar, “Karina… adalah aku.”

Aldan terperanjat. Perempuan di hadapannya memang tak persis seperti Karina yang ia ingat—rambutnya lebih pendek dan wajahnya tampak lebih dewasa—tetapi sorot matanya masih sama. Sejenak dunia terasa berhenti berputar.

“Kenapa?” Aldan berbisik, mencoba menahan emosinya yang memuncak.

Sebelum perempuan itu menjawab, bunyi dering telepon tiba-tiba menginterupsi momen tersebut. Perempuan itu merogoh ponselnya dengan gugup. Nama di layar ponsel membuat Aldan membeku: Dokter Iswara. Perempuan itu memutus panggilan dengan cepat.

“Kau perlu tahu sesuatu, tapi… ini bukan tempatnya,” ujar perempuan itu, sebelum melangkah pergi.

Aldan menatap kepergiannya dengan pikiran penuh tanya. Bukannya mendapat jawaban, pertemuan itu justru membuat misteri semakin dalam. Siapa sebenarnya perempuan itu? Jika ia Karina, kenapa ada rasa asing yang begitu kuat? Dan kenapa nama dokter muncul di teleponnya?

Senja telah usai, tetapi rasa dalam hati Aldan baru saja dimulai—rasa penasaran yang jauh lebih rumit daripada rindu.

Bab 2: Aroma Masa Lalu

Aldan mengunci pintu apartemennya dengan pikiran penuh pertanyaan. Pertemuan di bukit itu mengganggu setiap sudut hatinya. Kalung liontin berbentuk bulan sabit itu ia letakkan di meja, memantulkan kilauan lembut di bawah lampu. Aroma mawar yang samar tiba-tiba menyeruak—aroma yang selalu dipakai Karina.

Aldan menatap kosong ke arah kalung itu. Tanpa sadar, ingatannya melayang ke masa lalu yang indah namun memilukan. Ia teringat sore-sore penuh tawa, di mana Karina menemaninya memandangi langit senja sambil bercanda ringan tentang kehidupan mereka di masa depan.

Namun di balik keindahan kenangan itu, ada rasa perih yang mulai menggerogoti hatinya.

Aldan membuka laci kecil di mejanya dan mengeluarkan buku catatan usang yang sudah berdebu. Itu adalah jurnal kenangan yang ia tulis saat Karina pergi. Ia membuka lembar pertama, dan aroma nostalgia menyambutnya seperti angin lembut dari masa lalu. Tulisannya mulai kabur karena air mata yang pernah jatuh di atas kertas itu.

“Kita akan selalu ada di bawah senja yang sama, apa pun yang terjadi.”

Kalimat itu ditulis dengan tangan Karina, di halaman terakhir jurnal mereka. Aldan menghela napas panjang.

Sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan itu—jalan-jalan di tepi pantai, senyum Karina yang memudar di bawah sinar matahari, hingga ucapan perpisahan yang tidak pernah terjadi.

Namun rasa manis itu selalu diakhiri oleh kepedihan. Ia teringat betapa hancurnya dirinya saat Karina pergi tanpa jejak. Perasaan dicintai lalu ditinggalkan seperti itu menghancurkan Aldan lebih dari apa pun.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Bukalah hatimu untuk kebenaran, meski itu menyakitkan.”

Aldan merasakan jantungnya berdetak lebih keras. Pesan itu tidak hanya membuatnya terkejut, tetapi juga membuatnya semakin yakin bahwa Karina menyimpan rahasia yang lebih besar daripada sekadar alasan perpisahan.

Ia kembali menatap kalung di atas meja. Aroma mawar itu masih terasa, seolah Karina baru saja berdiri di sampingnya. Tapi rasa yang tertinggal di hatinya jauh dari manis—ia hancur oleh keindahan kenangan yang terasa terlalu sempurna untuk diulang kembali.

Saat itu, Aldan tahu bahwa perjalanan kali ini bukan hanya tentang menemukan Karina kembali. Ini adalah perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri dan mengungkap kebenaran di balik rasa yang belum usai.

Bab 3: Pertemuan Tak Terduga

Hari itu Aldan memutuskan untuk kembali ke bukit senja—tempat di mana segalanya dimulai dan kembali mengguncang dunianya. Angin sore membelai lembut wajahnya, membawa rasa sejuk yang kontras dengan gejolak di hatinya. Langkahnya pelan, tapi hatinya penuh pertanyaan. Siapakah perempuan itu sebenarnya? Jika dia benar Karina, mengapa ada begitu banyak teka-teki?

Sesampainya di puncak, Aldan menemukan pemandangan yang membuatnya tertegun. Sosok perempuan yang ia temui kemarin kembali berdiri di tepi bukit, rambutnya berkibar terkena angin. Kali ini, tatapannya penuh kehangatan bercampur rasa bersalah.

“Aku tahu kau pasti kembali,” ucap perempuan itu tanpa menoleh.

Aldan mendekat dengan hati-hati. “Jika kau memang Karina… kenapa kau menghilang?” tanyanya, suaranya terdengar rapuh.

Perempuan itu berbalik, mata cokelatnya bertemu dengan mata Aldan. Sorot yang sama, namun terasa lebih dalam dan penuh beban. Ia menghela napas panjang.

“Aku pergi karena aku harus melindungimu…” jawabnya pelan.

Aldan mengernyit. “Melindungiku? Dari apa?”

Karina terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara bergetar, “Dari diriku sendiri.”

Aldan terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Karina. Hatinya semakin remuk.

“Kau tahu bagaimana hidupku dulu, Dan. Keluargaku… penuh masalah. Ayahku terlilit utang besar dan ada orang-orang yang mengancam keselamatan kita. Aku tidak ingin kau terjebak di dunia yang gelap itu,” kata Karina sambil menunduk.

Aldan mengingat sekilas cerita masa lalu Karina yang penuh luka, tetapi ia tak pernah menyangka bahwa Karina akan sejauh itu mengambil keputusan sendiri.

“Tapi kenapa tanpa kata perpisahan? Kenapa membuatku seperti orang bodoh yang terus menunggu?” suara Aldan mulai bergetar.

Air mata jatuh di pipi Karina. “Karena aku tahu… kalau aku melihatmu menangis waktu itu, aku tidak akan sanggup pergi.”

Aldan mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang meluap. “Jadi, kau pikir aku lebih baik hidup dalam ketidaktahuan? Kau pikir itu membuat segalanya jadi lebih mudah?”

Karina melangkah maju dan menggenggam tangan Aldan dengan lembut. “Tidak, Dan… aku tahu aku salah. Tapi aku kembali karena aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kau tahu segalanya. Meski… mungkin kau akan membenciku.”

Aldan merasakan genggaman Karina yang dingin tapi tulus. Hatinya terasa retak, antara cinta yang tak pernah hilang dan luka yang belum sembuh.

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” kata Aldan akhirnya. “Terlalu banyak yang terjadi.”

Karina tersenyum pahit. “Aku tidak akan memaksamu memaafkanku, Dan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku kembali bukan untuk membuatmu lebih sakit… tapi untuk menjelaskan segalanya.”

Angin membawa keheningan di antara mereka. Matahari perlahan tenggelam, memberi warna jingga yang seolah menyaksikan pertemuan penuh luka dan kerinduan itu.

Aldan memalingkan wajah ke arah cakrawala. Senja itu terasa begitu indah, namun juga penuh luka. “Aku butuh waktu,” ucapnya singkat sebelum berbalik meninggalkan bukit.

Karina hanya berdiri mematung, menatap punggung Aldan yang menjauh. Meski keinginannya untuk tetap bersamanya begitu besar, ia tahu perjalanan untuk kembali meraih kepercayaan Aldan baru saja dimulai.

Saat menuruni bukit, Aldan menyadari satu hal—perasaan yang ia simpan selama bertahun-tahun tidak pernah benar-benar hilang. Tapi, cinta yang tak pernah usai pun terkadang penuh dengan duri yang menyakitkan.

Bab 4: Kisah di Balik Kepergian

Langit malam telah menggantikan senja, tetapi bayangan pertemuan tadi masih terus menghantui Aldan. Malam itu, ia duduk termenung di balkon apartemennya, menatap kosong ke arah kota yang penuh cahaya. Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk:

“Bisakah kita bicara besok? Aku ingin kau tahu segalanya.”

Aldan menghela napas panjang. Meski hatinya masih ragu, ia tahu ada bagian dari dirinya yang menginginkan jawaban. Akhirnya, ia mengetik singkat: “Besok di kafe Bukit Rindu, pukul empat.”


Keesokan harinya, Karina sudah menunggu di sudut kafe dengan wajah yang sedikit pucat namun tenang. Di meja, ada dua cangkir kopi yang mengepul. Aldan mendekat dan duduk tanpa berkata apa-apa. Keheningan di antara mereka terasa berat.

“Terima kasih sudah mau datang,” ujar Karina pelan.

Aldan hanya menatap lurus ke arah matanya, mencari kejujuran di balik sorot matanya. “Aku butuh penjelasan.”

Karina mengangguk dan mulai bercerita.

“Tiga tahun lalu, tepat sebelum aku pergi, keluargaku jatuh dalam masalah besar. Ayah terlilit utang yang sangat banyak kepada lintah darat yang kejam. Suatu malam, mereka datang ke rumah. Mereka mengancam akan menyakiti keluargaku jika utang itu tidak dilunasi.”

Aldan merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu keluarga Karina tidak sempurna, tetapi tidak pernah menyangka mereka akan terlibat masalah sebesar itu.

“Waktu itu, aku sangat takut. Mereka bilang… mereka juga tahu tentang kau.” Karina berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Mereka bilang, kalau aku tetap bersamamu, mereka akan mengejarmu juga. Aku… tidak sanggup membiarkan itu terjadi, Dan.” Karina menyeka air matanya yang mulai jatuh. “Jadi, aku pergi dengan satu tujuan—melindungi orang-orang yang kucintai, termasuk kau.”

Aldan mengepalkan tangan di bawah meja. Hatinya seperti diiris mendengar setiap kalimat Karina. Ada amarah, tapi juga rasa haru yang perlahan menggantikan kekecewaannya.

“Aku sempat hidup berpindah-pindah selama berbulan-bulan. Aku bahkan sempat bekerja di sebuah kota kecil jauh dari sini. Tapi… aku selalu membawa kenanganmu.” Karina mengeluarkan sebuah foto kecil dari dompetnya. Itu adalah foto mereka berdua di bukit senja beberapa tahun yang lalu, tersenyum penuh kebahagiaan.

Aldan menatap foto itu lama. Kenangan manis yang terlihat di sana terasa seperti mimpi yang tidak lagi utuh.

“Kenapa kau tidak mencari bantuan? Kenapa harus memikul beban itu sendirian?” tanya Aldan akhirnya dengan suara serak.

Karina menggeleng. “Aku takut. Aku pikir aku cukup kuat untuk menyelesaikannya sendiri. Tapi aku salah… aku salah karena pergi tanpa memberimu kesempatan untuk mengerti.”

Aldan menggenggam cangkir kopinya yang mulai mendingin. Matanya mulai memanas. Ia membayangkan betapa kesepian dan takutnya Karina saat itu, tetapi ia juga masih merasa sakit karena kepergian itu menghancurkannya.

“Apa yang membuatmu kembali sekarang?” tanya Aldan pelan.

Karina tersenyum lemah. “Karena masalah itu akhirnya selesai. Ayahku berhasil keluar dari lingkaran hitam itu dengan bantuan seorang sahabat lama. Dan ketika semuanya selesai, aku sadar… tempatku adalah di sini, bersamamu.”

Aldan mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap awan senja yang perlahan berubah jingga. Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Hati kecilnya mengakui bahwa cinta Karina tidak pernah berubah, tetapi luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh.

Karina menggenggam tangan Aldan dengan lembut. “Aku tahu ini semua tidak mudah untukmu. Aku tidak akan memaksamu memaafkan aku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku kembali karena aku tidak bisa hidup tanpa cinta ini.”

Aldan merasakan genggaman itu. Hangat, sama seperti dulu. Dalam diam, ia bertanya pada dirinya sendiri—apakah cinta yang sesulit ini masih layak diperjuangkan? Namun, satu hal yang pasti: perasaan mereka tidak pernah benar-benar hilang, meski dihantam badai dan waktu.

Senja mulai turun di luar jendela kafe. Aroma kopi bercampur haru memenuhi ruangan kecil itu. Meski hati Aldan masih remuk, ada sesuatu yang perlahan tumbuh kembali—sebuah harapan kecil di balik semua luka.

Karina tersenyum, meski matanya masih basah. “Terima kasih sudah mau mendengarkan.”

Aldan membalas dengan anggukan kecil. “Aku tidak tahu ke mana semua ini akan mengarah, Karina… tapi mungkin kita bisa mencoba lagi.”

Kata-kata itu membuat air mata Karina kembali jatuh. Namun kali ini, ia menangis karena rasa lega dan bahagia yang tak terkira. Di bawah senja yang sama, cinta mereka mungkin menemukan jalannya kembali.

Bab 5: Luka yang Belum Sembuh

Malam itu, Aldan duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap langit yang gelap dengan bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip. Hatinya penuh pertanyaan—apakah benar memaafkan Karina adalah hal yang seharusnya ia lakukan? Cinta memang tidak pernah benar-benar pergi, tapi luka yang ditinggalkan Karina begitu dalam.

Bayangan wajah Karina saat menangis di kafe tadi terus membayangi pikirannya. Senyum yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya kini justru membawa perasaan pahit. Ia menghela napas panjang dan menatap kalung liontin berbentuk bulan sabit yang ada di tangannya.

“Apa aku terlalu lemah jika aku masih merindukanmu?” bisik Aldan pada dirinya sendiri.


Keesokan harinya, Aldan pergi ke kantor dengan pikiran yang kacau. Di meja kerjanya, rekan satu divisi, Raka, memperhatikan wajah Aldan yang murung.

“Dan, lu kenapa? Mukanya kusut banget. Masalah kerjaan?” tanya Raka sambil duduk di samping meja Aldan.

Aldan menggeleng pelan. “Bukan masalah kerjaan… cuma soal seseorang dari masa lalu.”

Raka menaikkan alisnya, penasaran. “Seseorang yang berarti?”

Aldan mengangguk pelan dan menjawab, “Dia kembali setelah bertahun-tahun pergi. Tapi gue nggak tahu apa gue bisa ngelupain rasa sakit yang dia tinggalin.”

Raka terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada serius, “Gue nggak tahu cerita lu sama dia seperti apa. Tapi gue percaya, memaafkan bukan berarti melupakan. Kadang, memaafkan adalah cara lu buat ngebebasin diri sendiri.”

Kata-kata Raka menancap di benak Aldan. Memaafkan… apa itu benar-benar mungkin?

Sore hari, Aldan memutuskan untuk kembali ke bukit senja. Tempat itu selalu menjadi tempatnya mencari ketenangan. Namun kali ini, ia mendapati seseorang sudah ada di sana—Karina.

Perempuan itu berdiri dengan pandangan kosong ke arah cakrawala. Mendengar langkah Aldan, Karina menoleh dan tersenyum tipis. “Aku tahu kau akan datang.”

Aldan hanya berdiri diam beberapa langkah darinya, lalu akhirnya berkata, “Kenapa kau selalu di sini?”

Karina menarik napas dalam. “Karena tempat ini selalu membuatku merasa dekat denganmu. Bahkan saat aku pergi jauh, aku tetap membayangkan senja di tempat ini.”

Aldan menundukkan kepala. “Tapi sekarang… senja yang sama ini malah membuat aku ingat semua rasa sakit yang kau tinggalkan.”

Karina terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Ia tahu, ucapan Aldan itu jujur. Luka yang ia tinggalkan terlalu dalam untuk hilang dalam sekejap.

“Aku sadar, Dan… kalau aku nggak bisa langsung memperbaiki semuanya. Tapi aku ingin kau tahu, aku akan tetap di sini… meski kau butuh waktu.”

Aldan menatap Karina. Tatapan perempuan itu penuh kejujuran, tapi juga kesedihan.

“Aku benci perasaan ini,” ujar Aldan dengan suara bergetar. “Aku masih mencintaimu… tapi aku takut terluka lagi.”

Angin senja membelai lembut wajah mereka, seolah mencoba meredakan perasaan yang bergemuruh di hati masing-masing. Karina mendekat, namun berhenti tepat di depan Aldan.

“Kau boleh membenciku, Dan. Tapi aku tidak akan pergi lagi,” bisik Karina.

Aldan menutup matanya, mencoba meredam semua emosi yang membanjiri dirinya. Namun bayangan masa lalu dan aroma mawar Karina tetap ada, menguatkan satu fakta yang tak bisa ia tolak—cintanya tak pernah benar-benar padam.

Senja perlahan memudar, menyisakan keheningan di antara mereka. Meski masih ada luka yang belum sembuh, kehadiran Karina membawa harapan kecil di hati Aldan. Mungkin, suatu hari nanti, di bawah senja yang sama, luka itu akan berubah menjadi kisah yang indah kembali.

Bab 6: Bayangan Masa Depan yang Samar

Aldan berdiri di depan cermin di apartemennya, menatap pantulan dirinya sendiri. Mata lelah, wajah penuh kebimbangan. Pikirannya terus dihantui pertanyaan: “Apa yang sebenarnya aku inginkan?”

Hari-hari setelah pertemuannya kembali dengan Karina terasa seperti perjalanan di atas jalan penuh kabut. Kadang ia merasa bisa memaafkan, tapi kadang rasa takut akan pengkhianatan kembali menghantui.

Di tengah kebimbangan itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya:
“Aku sedang di taman kota. Kalau kau ingin bicara, aku ada di sini.”

Aldan menghela napas dan memutuskan untuk pergi. Mungkin, bicara di tempat yang berbeda bisa mengurangi tekanan di pikirannya.

Saat tiba di taman, Aldan melihat Karina duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang, mengenakan sweater abu-abu sederhana. Meski tampilannya biasa, ada aura tenang yang selalu membuatnya terlihat istimewa.

Karina tersenyum kecil ketika Aldan mendekat. “Kupikir kau tidak akan datang.”

Aldan duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menemani mereka selama beberapa saat sebelum ia berkata, “Aku juga sempat berpikir begitu.”

Karina tertawa kecil, suara yang dulu selalu membuat Aldan nyaman. “Aku ingat, kita dulu sering duduk di sini sambil ngobrol soal masa depan.”

Aldan mengangguk pelan, mengingat kenangan itu. Dulu, mereka membayangkan kehidupan penuh tawa, rumah kecil yang hangat, dan anak-anak yang bermain di halaman depan. Tetapi sekarang, masa depan itu terasa kabur.

“Karina… menurutmu, kita masih bisa seperti dulu?” Aldan bertanya dengan nada getir.

Karina menundukkan kepala. “Aku nggak tahu, Dan. Tapi aku percaya satu hal… rasa yang kita punya belum pernah benar-benar hilang.”

Aldan menatap langit yang mulai merona jingga. “Rasa itu masih ada… tapi rasa takut juga. Aku takut kalau kita membangun sesuatu lagi, akhirnya akan hancur.”

Karina menoleh dan menatap Aldan dengan penuh kesungguhan. “Aku juga takut, Dan. Tapi kalau kita terus terjebak di masa lalu, kita nggak akan pernah tahu apa yang bisa kita capai bersama.”

Kata-kata itu menohok Aldan. Ia sadar bahwa rasa takutnya membuat ia menunda keputusan. Tapi bisakah ia melangkah maju tanpa bayangan kegelapan masa lalu yang terus mengikuti?


Saat senja semakin tenggelam, Karina berdiri dan menatap Aldan dengan lembut. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa. Tapi aku tahu satu hal… aku akan terus di sini, mendampingimu kalau kau mengizinkan.”

Aldan menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia ingin mempercayai Karina, tapi bayangan rasa sakit masa lalu membuatnya ragu.

Karina melangkah pelan, lalu berbalik menatap Aldan untuk terakhir kali sebelum pergi. “Ambil waktu sebanyak yang kau perlu, Dan. Aku tidak akan memaksamu.”

Aldan hanya mampu melihat punggung Karina yang menjauh, siluetnya tampak samar di bawah cahaya lampu taman. Angin malam menyentuh wajahnya, membawa aroma samar mawar yang selalu mengingatkan Aldan pada Karina.

Ketika langit berubah gelap, Aldan masih duduk sendirian di bangku taman. Ia bertanya dalam hatinya, apakah ia siap membuka lembaran baru dengan Karina? Atau, lebih baik meninggalkan semuanya untuk selamanya?

Di tengah keheningan malam, Aldan sadar satu hal—masa depan mereka memang samar, tapi tidak akan ada jawaban jika ia terus diam di persimpangan tanpa bergerak maju.

Bab 7: Dinding yang Terbangun Kembali

Hari-hari berlalu setelah pertemuan di taman, tapi hati Aldan masih terombang-ambing seperti kapal di tengah badai. Ia kembali menghabiskan waktu di bukit senja, tempat yang selalu menjadi pelariannya. Namun, kali ini bukit itu terasa berbeda—seperti menyimpan beban tak terlihat.

Setiap kali Aldan memejamkan mata, ia mendengar suara tawa Karina, aroma mawar yang menenangkan, dan kenangan saat mereka berdua bermimpi tentang hidup bersama. Tetapi bayangan malam saat Karina pergi juga terus menghantuinya, membangun dinding tak kasat mata di hatinya.


Suatu sore, Aldan sedang duduk di atas batu besar favoritnya ketika suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Karina muncul dengan senyum tipis, membawa dua botol minuman dingin.

“Aku pikir kau ada di sini,” katanya, duduk di samping Aldan.

Aldan hanya diam. Keheningan itu tidak lagi hangat seperti dulu. Karina menatap langit senja yang perlahan berubah jingga. “Senja masih seindah dulu, ya?” katanya, mencoba mencairkan suasana.

Aldan mengangguk pelan. “Tapi rasanya nggak sama lagi.”

Karina menunduk. “Aku tahu… aku merasakannya juga.”

Untuk pertama kalinya sejak Karina kembali, Aldan menoleh dan menatap langsung ke matanya. “Kenapa, Karina? kamu nggak kasih aku kesempatan untuk ikut berjuang bersamamu waktu itu? kau memutuskan segalanya sendiri?”

Karina terdiam cukup lama sebelum menjawab, suaranya bergetar. “Karena aku takut kalau kau ikut terlibat, hidupmu akan hancur. Aku nggak mau jadi alasan kau kehilangan segalanya, Dan. Aku pikir… aku melindungimu.”

Aldan mengepalkan tangan. “Tapi kenyataannya, aku tetap hancur. Dengan atau tanpa kamu.”

Air mata Karina mengalir, tapi ia berusaha tetap tersenyum. “Aku tahu. Aku salah… tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”

Aldan berdiri, menatap cakrawala yang mulai meredup. Suaranya bergetar menahan emosi. “Masalahnya, Karina… aku nggak tahu apakah aku bisa percaya lagi. Aku nggak tahu apakah aku sanggup meruntuhkan dinding yang sudah kubangun untuk melindungi diriku sendiri.”

Karina ikut berdiri, mendekat ke arah Aldan. Tangannya bergetar saat ia mencoba menyentuh lengan Aldan, tapi Aldan mundur selangkah. Karina menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah.

“Kalau begitu… apa yang harus kulakukan?” bisik Karina, suaranya penuh keputusasaan. “Haruskah aku menyerah?”

Aldan terdiam. Hatinya berperang hebat. Ia ingin memeluk Karina dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, luka masa lalu membuatnya takut merasakan sakit yang sama lagi.

“Satu hal yang aku tahu… aku belum siap,” ujar Aldan akhirnya.

Karina menunduk, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. “Aku mengerti,” katanya pelan. “Tapi aku tidak akan pergi lagi, Dan. Aku akan tetap di sini… meskipun kau butuh waktu seumur hidup.”

Aldan mengalihkan pandangannya ke langit senja yang hampir gelap. Di dalam hatinya, ia tahu Karina tulus. Tetapi dinding yang ia bangun terlalu tinggi untuk dihancurkan dalam sekejap.

Karina melangkah pelan menuruni bukit, meninggalkan Aldan sendirian dalam keheningan yang menusuk. Langkahnya kecil dan lambat, seolah berat untuk menjauh.

Saat siluet Karina menghilang di balik jalan setapak, Aldan menutup matanya dan menarik napas panjang. Angin membawa aroma bunga liar yang bercampur aroma mawar yang samar.

Dinding di hatinya mungkin belum runtuh, tetapi suara kecil dalam dirinya mulai bertanya: “Apa dinding itu benar-benar membuatku aman… atau malah membuatku semakin kesepian?”

Senja menghilang, meninggalkan Aldan dalam bayangan rasa yang belum terjawab. Namun, ada satu hal yang ia tahu—pertarungan terbesarnya bukan lagi melawan Karina, tapi melawan ketakutan dalam dirinya sendiri.

Bab 8: Senja yang Memeluk Pertemuan

Aldan kembali menghabiskan waktu sendirian di bukit senja. Kali ini, ia datang lebih awal, berharap mendapatkan sedikit ketenangan di tengah gejolak hatinya. Namun, bukannya ketenangan, ia malah diselimuti rasa kehilangan yang terasa lebih nyata dari sebelumnya. Bukit itu seakan bisu tanpa suara Karina di sampingnya.

Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Apa aku benar-benar terlalu keras kepala?”

Seketika, ia teringat senyum Karina—senyum yang dulu membuatnya merasa dicintai, senyum yang kini terasa jauh. Tapi sebelum pikirannya larut lebih dalam, suara langkah lembut terdengar dari belakangnya. Aldan menoleh.

Karina kembali berdiri di sana, dengan wajah yang lebih tenang dan pandangan penuh tekad. Tidak ada air mata kali ini, hanya ketulusan yang terpancar di matanya.

“Aku tahu aku seharusnya memberimu ruang,” Karina membuka percakapan dengan suara lembut. “Tapi ada sesuatu yang belum sempat kukatakan.”

Aldan menghela napas, hatinya terasa sesak melihat keberanian Karina berdiri di depannya lagi meski tahu risiko terluka. “Apa itu?”

Karina mendekat perlahan, lalu duduk di samping Aldan. Mereka berdua menatap langit yang mulai merona jingga. “Dulu, aku pergi karena aku takut akan kehilanganmu. Tapi… sekarang aku sadar kalau kepergianku malah membuatku benar-benar kehilangan.”

Aldan menunduk, membiarkan kata-kata Karina meresap ke dalam hatinya. “Kenapa kamu masih berusaha bertahan?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh rasa ingin tahu.

Karina tersenyum kecil. “Karena kamu masih menjadi alasanku untuk percaya pada cinta. Aku tahu, mungkin aku nggak pantas untuk diperjuangkan. Tapi aku tidak akan menyerah… karena aku tahu, kita lebih kuat dari rasa sakit ini.”

Aldan terdiam cukup lama. Hatinya perlahan melunak mendengar kejujuran Karina. Rasa pahit itu masih ada, tetapi ada juga kehangatan yang mulai merayap kembali.

Angin membawa aroma rerumputan dan mawar samar yang biasa dipakai Karina. Tanpa sadar, Aldan menggenggam tangannya sendiri, mencoba meredam gemuruh di dadanya. “Aku… lelah merasa sendiri, Karina,” ujarnya pelan. “Tapi aku juga takut. Aku takut kalau rasa ini akan mengulang rasa sakit yang sama.”

Karina menoleh dan meletakkan tangannya di atas tangan Aldan. “Aku tahu. Aku juga takut, Dan. Tapi kita nggak perlu melawan rasa takut itu sendirian.”

Sebuah keheningan menyelimuti mereka, tetapi kali ini bukan keheningan yang menyakitkan—melainkan keheningan yang hangat, penuh rasa pengertian. Senja mulai meredup, menciptakan bayangan jingga keemasan di sekeliling mereka.

Aldan menghela napas panjang dan akhirnya berkata, “Mungkin aku belum sepenuhnya bisa memaafkan… tapi aku ingin mencoba. Aku nggak mau kehilangan lagi.”

Mata Karina membesar, penuh harapan yang ia pikir sudah hampir pupus. “Benarkah, Dan?”

Aldan mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Ia menatap Karina dengan lembut, lalu berkata, “Kita nggak akan bisa kembali seperti dulu… tapi mungkin kita bisa membangun sesuatu yang baru.”

Air mata Karina akhirnya jatuh, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur yang tak terhingga. “Aku berjanji, Dan… aku nggak akan pergi lagi.”

Aldan tersenyum tipis dan menggenggam tangan Karina lebih erat. “Kita akan jalan perlahan, Karina. Bersama-sama.”

Di bawah langit yang mulai gelap, mereka duduk berdampingan, membiarkan senja yang memudar menjadi saksi pertemuan hati mereka yang terluka namun perlahan pulih. Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tapi senja itu menjadi bukti bahwa cinta yang tak pernah usai bisa menemukan jalannya kembali—meski perlahan, meski harus jatuh dan bangun.

Bab 9: Memaafkan Senja yang Lalu

Aldan dan Karina memutuskan untuk mencoba membangun kembali hubungan mereka, meski luka lama masih meninggalkan jejak di hati. Sore itu, mereka kembali duduk di bukit senja yang sama. Tidak ada obrolan panjang, hanya keheningan yang terasa damai. Angin berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang berguguran.

Karina menatap cakrawala, lalu berkata pelan, “Terkadang, aku berpikir… apa aku pantas diberi kesempatan kedua?”

Aldan tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga bertanya-tanya… apa aku cukup kuat untuk memberi kesempatan itu.”

Karina menoleh, matanya penuh rasa bersalah namun juga harapan. “Aku nggak akan menyalahkanmu kalau kau memutuskan pergi. Aku sadar betul… aku sudah membuatmu terluka.”

Aldan menghela napas panjang. “Karina, hidup itu nggak selalu soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Kadang… kita cuma perlu belajar memaafkan. Memaafkan dirimu sendiri dan memaafkan aku juga… karena aku terlalu lama menyimpan dendam.”

Air mata Karina mulai menetes. Ia tahu kata-kata Aldan bukanlah sekadar ungkapan kosong. Itu adalah kejujuran yang lahir dari proses panjang mengalahkan rasa sakit.

“Aku memaafkanmu, Karina,” lanjut Aldan. “Tapi memaafkan bukan berarti melupakan… dan bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu.”

Karina menunduk dan tersenyum sambil menyeka air matanya. “Kita nggak perlu kembali ke masa lalu. Kita bisa memulai yang baru, kan?”

Aldan mengangguk. “Ya, kita bisa. Tapi semuanya akan butuh waktu.”


Matahari perlahan tenggelam, menciptakan semburat oranye dan merah muda di cakrawala. Mereka duduk berdampingan, menikmati keindahan senja yang dulu terasa penuh luka, tetapi kini perlahan berubah menjadi simbol pengampunan.

“Apa kau masih ingat kata-katamu dulu?” tanya Karina tiba-tiba, memecah keheningan.

Aldan mengerutkan dahi. “Kata-kata yang mana?”

Karina tersenyum dan mengutipnya dengan lembut. “Kita akan selalu ada di bawah senja yang sama, apa pun yang terjadi.”

Aldan terdiam. Kenangan itu kembali memenuhi pikirannya, membawanya pada masa-masa ketika ia percaya bahwa cinta mereka tidak akan pernah pudar. Ia akhirnya menyadari, meski banyak yang berubah, ada satu hal yang tetap sama—perasaan mereka.

“Dan sekarang, aku mengerti apa maksudmu,” kata Karina dengan suara pelan. “Senja ini bukan tentang kenangan lama yang menyakitkan. Ini tentang bagaimana kita memilih untuk memandangnya.”

Aldan menatap Karina dan merasa, untuk pertama kalinya, bahwa ia mampu melihat masa depan bersama perempuan ini tanpa rasa takut. Luka itu mungkin akan meninggalkan bekas, tetapi bekas itu tidak harus membuat mereka berhenti melangkah.

“Ayo kita pulang,” ajak Aldan sambil berdiri dan mengulurkan tangan.

Karina menyambut uluran tangannya dan berdiri di samping Aldan. “Kita pulang… bersama.”

Senja akhirnya berganti malam, tetapi hati mereka tetap hangat. Di bawah langit yang mulai berbintang, mereka melangkah menuruni bukit dengan rasa yang berbeda—bukan lagi rasa kehilangan, tapi rasa percaya dan harapan yang baru.

Memaafkan bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari cerita cinta yang baru.

Bab 10: Rasa yang Tak Pernah Usai

Malam sudah menjelang ketika mereka sampai di pelataran bukit. Jalan setapak yang berbatu terasa lebih ringan di bawah langkah mereka. Aldan dan Karina berjalan berdampingan tanpa tergesa, membiarkan kebisuan berbicara dalam kehangatan. Angin malam membelai wajah mereka lembut, seperti merestui perjalanan panjang yang akhirnya menemukan ujungnya.

Di tengah langkah, Karina berhenti dan menatap Aldan. Wajahnya bersinar di bawah remang cahaya bulan. “Aldan,” panggilnya lembut. “Terima kasih… untuk tetap percaya meski aku pernah menghancurkan semuanya.”

Aldan tersenyum. Senyum yang tidak lagi menyembunyikan luka. “Cinta bukan soal sempurna atau tidak. Cinta adalah bagaimana kita bertahan, meski badai menghempas berulang kali.”

Karina mengangguk, matanya berbinar penuh haru. “Aku takut melangkah dulu… tapi bersamamu, aku berani memulai lagi.”

Aldan menggenggam tangan Karina lebih erat, lalu berkata pelan, “Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita melanjutkannya.”


Beberapa bulan berlalu sejak malam itu. Mereka mulai menjalani hari-hari bersama dengan langkah yang lebih hati-hati, tetapi penuh makna. Di bukit senja, tempat mereka pertama kali menemukan dan kehilangan cinta, kini menjadi saksi perjalanan yang kembali utuh.

Pada suatu sore, mereka kembali ke sana untuk merayakan momen kecil yang hanya dipahami oleh mereka berdua. Karina membawa termos berisi cokelat panas, sementara Aldan membawa dua buku—satu buku harian lama dan satu lagi kosong, siap untuk menuliskan cerita baru.

Aldan membuka halaman pertama buku kosong itu dan menulis sebuah kalimat:

“Cinta yang sejati bukan tentang perjalanan tanpa luka, tapi tentang bagaimana luka itu menyatukan kembali jiwa yang patah.”

Karina membaca tulisan itu dan tersenyum. “Kamu selalu tahu cara membuat sesuatu yang biasa jadi luar biasa,” bisiknya.

Aldan memandangnya dalam diam, lalu berkata, “Bersama kamu, senja selalu terasa lebih dari sekadar pemandangan indah. Senja adalah kita—warna yang pernah memudar, tapi selalu kembali.”

Mata Karina berkaca-kaca. “Aku tidak pernah tahu bahwa sesuatu yang hancur bisa terasa begitu indah ketika disatukan kembali.”

Matahari mulai tenggelam perlahan, menyelimuti mereka dengan kehangatan jingga terakhir. Aldan merangkul Karina, membiarkannya bersandar di pundaknya.

“Senja ini…” gumam Karina.

“Senja ini adalah milik kita,” jawab Aldan sambil menatap cakrawala yang memudar. “Seperti rasa ini… tak pernah benar-benar usai.”

Di bawah langit yang berubah kelam, cinta mereka bukan lagi bayangan masa lalu, melainkan sebuah kenyataan baru yang penuh cahaya. Rasa sakit, rindu, dan harapan bersatu dalam satu alunan indah—sebuah melodi tentang cinta yang memilih untuk bertahan.

Dan di bukit senja yang menjadi saksi perjalanan mereka, sebuah kisah baru dimulai.

Kisah tentang cinta yang pernah terluka, tapi akhirnya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *