Arkan, seorang penjelajah waktu, terseret ke dunia magis yang penuh konflik. Dengan kekuatan temporal yang baru ia sadari, ia terjebak di antara dua kerajaan yang memperebutkan kendali atas waktu. Bersama Edra, penyihir eksentrik dengan ramuan uniknya, Arkan harus menutup portal dan melindungi keseimbangan dimensi.
Namun, setiap langkah menuju akhir menuntut pengorbanan besar yang menguji hati dan takdirnya. Akankah ia mampu menyelamatkan dunia ini tanpa kehilangan dirinya?
Bab 1: Awal Perjalanan dan Portal Misterius
Arkan duduk di ruang labnya yang sunyi, dikelilingi monitor yang memancarkan cahaya biru temaram. Suara dengung mesin temporal prototipe yang ia bangun sejak bertahun-tahun lalu menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan. Di depannya, sebuah cincin logam raksasa berdiri tegak dengan aliran energi yang terus berputar di permukaannya, menciptakan kilauan berpendar.
Arkan menatap catatan di tangannya—tulisan tangannya sendiri yang penuh coretan dan sketsa rumit tentang perhitungan temporal. Hari itu adalah puncak dari kerja keras bertahun-tahun, sebuah momen yang ia nanti-nantikan. Proyek perjalanan waktu ini bukan sekadar ambisi ilmiah; itu adalah pencarian pribadi yang ia dedikasikan demi menemukan jawaban atas misteri hilangnya ayahnya, seorang ilmuwan brilian yang lenyap dalam percobaan serupa.
“Semuanya siap,” gumam Arkan sambil mengatur panel kontrol terakhir. Ia menekan tombol aktivasi, dan cincin logam itu mulai berputar semakin cepat. Cahaya di tengahnya membentuk pusaran, menciptakan pemandangan seperti kaca yang retak. Ruangan bergetar, namun Arkan tetap berdiri tegak dengan penuh rasa takjub.
Namun, sesuatu terjadi.
Sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu panel kontrol. “Tidak mungkin!” Arkan berlari mencoba memadamkan percikan api, tetapi sudah terlambat. Pusaran energi itu mulai berpendar liar, melebar seperti baling-baling badai yang tak terkendali.
Arkan mencoba mematikan mesin dengan paksa, namun layar monitor berkedip menampilkan peringatan: “Anomali Energi Tidak Stabil!”
“Seharusnya tidak begini…” bisiknya. Namun sebelum ia sempat menarik napas panjang, tarikan luar biasa dari pusaran itu menyedot tubuhnya. Cahaya putih menyilaukan memenuhi pandangannya. Semua suara menghilang, digantikan oleh keheningan sempurna.
Ketika Arkan membuka mata, ia tidak lagi berada di ruang labnya. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma daun basah dan bunga liar. Di sekelilingnya, pepohonan menjulang tinggi dengan daun berwarna biru kehijauan yang berkilauan seperti kristal. Suara gemericik air terdengar di kejauhan. Namun, yang paling mencolok adalah langit: tidak berwarna biru seperti yang biasa ia lihat, melainkan ungu gelap dengan aliran cahaya keemasan seperti aurora yang menari.
“Apa… di mana aku?” Arkan berdiri dengan tubuh masih gemetar. Pakaian lab putihnya terlihat kontras dengan hutan yang begitu asing. Ia menoleh ke belakang dan melihat bahwa pusaran yang membawanya telah menghilang. Hanya ada celah samar di udara, seperti pantulan kaca yang nyaris pecah.
Arkan memeriksa alat di lengannya—jam temporal portabel yang seharusnya membantunya kembali. Namun, layarnya redup dan tidak memberikan respons. “Rusak?” gumamnya frustasi.
Saat ia melangkah lebih dalam ke hutan, tiba-tiba ia mendengar suara langkah. Arkan menghentikan napas, matanya memindai sekeliling. Dari balik semak-semak, seorang pria muncul dengan pakaian aneh: jubah panjang berwarna merah tua dengan sulaman emas berbentuk simbol-simbol kuno.
“Siapa kau?” tanya pria itu dengan nada curiga. Ia memegang tongkat kayu yang ujungnya berkilauan, seolah mengalirkan energi hidup.
Arkan menatap pria itu dengan mata membulat. “Namaku Arkan. Aku… aku ilmuwan. Aku tersesat.”
Pria itu menyipitkan matanya sebelum tersenyum miring. “Tersesat? Di hutan Chronofel? Kau bukan berasal dari dunia ini, ya?” Pria itu mendekat dan menatap Arkan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Namaku Edra. Aku penyihir. Dan kalau aku boleh menebak… kau terjebak dalam distorsi temporal.”
“Penyihir?” Arkan menatapnya dengan tidak percaya. Kata itu terdengar seperti sesuatu yang keluar dari buku dongeng, bukan dari realitas yang ia kenal.
Edra mengangkat bahu. “Sihir adalah kehidupan kami di sini. Tapi aneh sekali… kau membawa sesuatu yang tidak sepenuhnya berasal dari dunia ini.” Edra menunjuk alat di lengan Arkan. “Itu bukan sihir. Itu… teknologi?”
Arkan mengangguk. “Ini perangkat waktu. Tapi rusak.”
Edra memandang perangkat itu sejenak sebelum tersenyum lebar. “Sepertinya keberuntungan berpihak padamu. Aku tahu seseorang yang mungkin bisa membantumu memperbaikinya.” Ia berbalik dan melangkah pergi. “Ayo ikut aku, kalau kau tidak mau hancur di sini.”
“Kenapa aku bisa hancur?” Arkan mengikuti dengan ragu.
Edra tertawa kecil. “Distorsi waktu di hutan ini sangat tidak stabil. Jika kau berada di sini terlalu lama tanpa perlindungan sihir, tubuhmu akan terurai seperti debu.”
Jantung Arkan berdegup cepat. Ia mempercepat langkahnya, mengejar penyihir itu. Rasa penasaran bercampur ketakutan mulai mengisi pikirannya. Dunia ini penuh keindahan, tapi juga menyimpan bahaya yang belum ia pahami sepenuhnya. Satu hal yang pasti: ia harus menemukan cara kembali sebelum semuanya terlambat.
Namun, jauh di balik pepohonan, sosok bayangan dengan mata merah menyala mengamati mereka berdua. Suara geraman pelan terdengar, seolah dunia ini baru saja menyadari kedatangan sang penjelajah waktu.
Bab 2: Dunia Magis di Ambang Perang
Langkah kaki Arkan terasa berat saat ia mengikuti Edra menyusuri hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa dengan daun berbentuk prisma kristal. Cahaya ungu dan hijau memantul dari daun-daun itu, menciptakan pemandangan yang magis sekaligus membingungkan. Sesekali, Edra menoleh ke belakang untuk memastikan Arkan masih mengikutinya.
“Kau terlihat gugup,” kata Edra dengan nada santai. Ia mengayunkan tongkat kayunya seolah hanya tongkat biasa.
“Ya, karena aku baru saja diseret ke… dunia aneh ini,” sahut Arkan, mengamati kupu-kupu bercahaya yang beterbangan di sekeliling mereka. “Dan kau menyebutkan kalau tubuhku bisa hancur?”
Edra tertawa kecil. “Memang bisa. Tapi aku sudah menaruh pelindung temporal di sekitarmu. Jadi, kau aman—untuk sementara.”
Arkan mendesah lega. Namun, rasa penasaran semakin menguasainya. “Jadi, dunia ini… apa nama tempat ini?”
“Selamat datang di Echronis,” jawab Edra dengan nada bangga. “Sebuah dunia yang tak pernah kau bayangkan. Semua yang ada di sini hidup karena sihir.”
Arkan mengerutkan dahi. “Sihir sebagai sumber energi? Tapi bagaimana caranya dunia ini bisa berkembang?”
Edra menoleh dan memandangnya serius. “Sihir bukan hanya sumber energi. Ia adalah segalanya. Tanpa sihir, dunia ini runtuh. Dan karena itulah kami berada di ambang kehancuran.”
Kata-kata itu membuat Arkan terdiam. Mereka terus berjalan hingga akhirnya keluar dari hutan dan tiba di sebuah tebing tinggi. Dari tempat itu, Arkan bisa melihat hamparan lembah yang luas. Di kejauhan, sebuah kota berdiri megah dengan menara-menara berkilauan. Dinding-dindingnya bersinar keemasan, sementara aliran sungai yang mengelilinginya bercahaya biru seperti safir.
“Itu Solari,” ucap Edra dengan bangga. “Ibukota kerajaan terbesar di Echronis. Kerajaan cahaya yang menjaga keseimbangan sihir.”
Arkan menatap kagum. Namun, matanya menangkap sesuatu di sisi lain cakrawala: bayangan gelap yang menyelimuti langit. Awan hitam bergulung-gulung, dan kilatan petir ungu menembus udara.
“Dan itu…?” tanya Arkan, menunjuk ke arah bayangan kelam tersebut.
Ekspresi Edra berubah muram. “Itulah wilayah kekuasaan Aetherion, kerajaan bayangan. Mereka menguasai kegelapan dan ingin merebut segalanya, termasuk waktu.” Edra menatap lurus ke arah Arkan. “Mereka adalah alasan kenapa kedatanganmu ke sini berbahaya.”
“Kenapa?” Arkan bertanya dengan suara pelan.
“Karena mereka tahu waktu adalah senjata terkuat.” Edra menunduk dan berbicara dengan nada yang lebih serius. “Jika mereka menguasai kekuatan temporal yang ada padamu, mereka bisa menghapus Solari dari sejarah. Mereka bisa mengubah masa lalu dan membuat dunia ini tunduk di bawah kekuasaan mereka.”
Arkan merasa darahnya membeku. Sejak kecil, ia mempelajari bahwa manipulasi waktu adalah hal yang sangat berbahaya. Namun, di sini, kekuatan itu dianggap sebagai senjata yang bisa membalikkan takdir.
“Tunggu,” ujar Arkan, mencoba mengendalikan rasa takutnya. “Kalau begitu, bagaimana mereka bisa tahu aku ada di sini?”
Edra menghela napas panjang. “Percayalah, mereka pasti sudah tahu. Distorsi waktu yang terjadi saat kau masuk ke Echronis memancarkan energi yang sangat kuat. Dan ada mata-mata di mana-mana.” Edra memandang ke kejauhan. “Mungkin saja mereka sudah mulai bergerak.”
Sesampainya di gerbang Solari, Arkan disambut oleh pemandangan yang tidak kalah megah. Para penjaga mengenakan armor putih berkilauan dengan lambang matahari di dada mereka. Mereka mengangkat tombak bercahaya yang memancarkan energi sihir.
“Edra,” sapa salah satu penjaga, “kau membawa tamu?”
Edra mengangguk. “Dia orang yang datang dari luar dunia ini. Kami harus membawanya ke Istana Aurora.”
Penjaga itu terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka gerbang besar yang terbuat dari kristal emas. Saat mereka masuk, Arkan dibuat terpesona oleh kota itu. Jalan-jalan berlapis batu putih dihiasi tanaman yang bersinar lembut di malam hari. Bangunan-bangunan terbuat dari bahan yang tampak seperti campuran marmer dan kristal.
Namun, meskipun kotanya begitu indah, Arkan merasakan ketegangan di udara. Para penduduk berjalan dengan wajah waspada. Anak-anak bersembunyi di balik orang tua mereka. Di beberapa sudut, prajurit Solari berjaga-jaga dengan sihir siap di tangan.
“Apa mereka selalu seperti ini?” tanya Arkan.
Edra mengangguk. “Perang membuat semua orang takut. Bahkan di kota yang kuat seperti ini.”
Arkan menatap para penduduk itu dengan perasaan campur aduk. Ia bukan bagian dari dunia ini, tetapi entah kenapa ia merasa terlibat.
Setibanya di Istana Aurora, mereka disambut oleh seorang pria tinggi berambut perak yang mengenakan jubah putih panjang dengan simbol matahari bersinar di dadanya. Sorot matanya tajam namun penuh wibawa.
“Edra,” sapa pria itu dengan suara yang dalam dan tenang. “Siapa dia?”
Edra membungkuk hormat. “Yang Mulia Raja Solaris, ini adalah Arkan. Ia berasal dari dimensi lain dan… memiliki kemampuan temporal.”
Mata Raja Solaris menyipit. “Kau membawa seorang penjelajah waktu ke sini?” Nadanya penuh kekhawatiran. “Kau tahu ini bisa menjadi alasan bagi Aetherion untuk melancarkan serangan penuh!”
Edra menegakkan tubuhnya. “Tapi jika kita membantunya, Yang Mulia, ia bisa menutup portal itu dan mencegah kehancuran.”
Raja Solaris terdiam sejenak sebelum akhirnya berjalan mendekati Arkan. “Arkan,” panggilnya dengan suara yang jauh lebih lembut, “kau adalah anomali bagi dunia kami. Namun, jika kau ada di sini, mungkin memang ada takdir yang sedang dimainkan.” Ia meletakkan tangannya di bahu Arkan. “Tapi kau harus tahu… jalan di depanmu penuh bahaya.”
Arkan mengangguk pelan. “Aku hanya ingin kembali ke rumahku. Tapi jika untuk melakukannya aku harus melawan mereka, aku akan melakukannya.”
Raja Solaris tersenyum tipis. “Baik. Kami akan membantumu. Tapi bersiaplah… karena pertempuran ini bukan hanya soal kau melawan waktu, tetapi juga melawan takdirmu sendiri.”
Kata-kata itu bergema di benak Arkan. Ia tidak tahu seberapa besar pertempuran ini akan mengubah hidupnya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa lari dari takdirnya. Perjalanan baru saja dimulai.
Bab 3: Kejayaan Kerajaan Solari dan Aetherion
Langit Solari dipenuhi semburat jingga keemasan saat matahari mulai terbenam, menciptakan pemandangan yang seolah melukis kota dengan cahaya magis. Arkan berdiri di balkon Istana Aurora, memandang hamparan kota yang kini terlihat lebih indah namun penuh ketegangan. Dari sini, ia bisa melihat menara-menara kristal yang memancarkan energi cahaya, seperti mercusuar penjaga waktu.
Di belakangnya, Edra datang membawa dua gelas berisi minuman berwarna ungu muda yang beraroma bunga. “Minumlah, ini Elunir, ramuan khas Solari. Bisa menenangkan sarafmu yang tegang.”
Arkan mengambil gelas itu dan mencicipi. Rasanya manis dengan sedikit sensasi dingin. “Kenapa semua orang di sini sangat waspada? Bahkan di istana, aku melihat prajurit berjaga di setiap sudut.”
Edra menghela napas panjang. “Itu karena mereka tahu Aetherion tidak akan berhenti sampai mendapatkan kekuatan yang bisa mengendalikan waktu. Jika mereka berhasil mengubah sejarah, Solari akan lenyap dari catatan dunia.”
Arkan menoleh ke Edra. “Cerita ini terdengar seperti sebuah tragedi besar. Apa yang sebenarnya terjadi antara Solari dan Aetherion?”
Edra meletakkan gelasnya di pagar balkon, menatap ke arah cakrawala yang mulai gelap. “Dahulu kala, Solari dan Aetherion adalah satu kerajaan besar yang dipimpin oleh Kaisar Zenith. Beliau adalah penyihir terhebat dalam sejarah, penguasa sihir cahaya dan bayangan sekaligus. Namun, setelah ia menghilang secara misterius, kerajaan itu terpecah menjadi dua—Solari yang menguasai cahaya dan Aetherion yang mendalami kekuatan bayangan.”
Arkan mendengarkan dengan seksama.
“Awalnya, mereka hidup damai. Tetapi para penguasa baru Aetherion percaya bahwa bayangan bukanlah sekadar kekuatan pelindung, melainkan senjata. Mereka mulai menciptakan sihir gelap yang mampu memanipulasi kenyataan, bahkan mengubah waktu dalam skala kecil.” Mata Edra berubah serius. “Perang pertama pecah ketika Raja Noctis dari Aetherion mencoba menguasai semua menara cahaya di Solari.”
“Menara-menara itu… seperti yang ada di kota ini?” tanya Arkan.
Edra mengangguk. “Ya. Menara cahaya adalah sumber utama kekuatan Solari. Tanpa mereka, sihir kami akan melemah.” Ia menunjuk ke sebuah menara besar di tengah kota. “Menara Aurora di sana adalah yang terkuat. Jika Aetherion menguasainya, mereka bisa menciptakan distorsi waktu permanen.”
Arkan memandang ke arah perbatasan yang masih diliputi awan gelap. “Aetherion… seperti apa tempat itu?”
Edra terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada muram. “Bayangkan sebuah negeri yang tidak pernah merasakan siang hari. Langitnya selalu kelam, dihiasi cahaya ungu dan kilat hitam. Kastil-kastil mereka menjulang seperti tulang belulang raksasa. Di sana, mereka memuja kegelapan sebagai sumber kekuatan. Raja mereka sekarang adalah Kaelen, seorang penguasa yang disebut ‘Penjaga Kekosongan.’”
“Kaelen?” Arkan bergidik. “Apa dia sekuat itu?”
Edra mengangguk. “Kaelen adalah sosok yang kejam namun cerdas. Ia bukan sekadar pemimpin perang, tapi juga ahli dalam sihir distorsi. Ia bisa membelokkan ruang dan waktu sesuka hati.”
Arkan menunduk, merasakan beratnya tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. “Jadi, aku datang ke sini… membawa masalah besar.”
Edra tersenyum tipis. “Tidak sepenuhnya. Kedatanganmu mungkin adalah jawaban yang sudah lama kami tunggu. Tapi sebelum itu, kau harus tahu satu hal penting.” Ia meletakkan tangannya di bahu Arkan. “Solari tidak bisa bertahan lama jika Kaelen benar-benar menyerang dengan kekuatan penuh.”
Tiba-tiba, seorang prajurit datang mendekat dengan tergesa-gesa. “Yang Mulia Raja Solaris memanggil kalian berdua ke Balairung Cahaya. Ada rapat penting.”
Edra mengangguk dan menoleh ke Arkan. “Ayo, kau akan bertemu dengan orang-orang terkuat di Solari.”
Mereka berjalan melalui lorong panjang yang dihiasi ukiran cerita-cerita kuno tentang sihir cahaya. Pintu besar dari kristal terbuka perlahan, menampakkan sebuah aula megah dengan kubah transparan yang memperlihatkan langit malam penuh bintang.
Di tengah aula, Raja Solaris berdiri dikelilingi oleh para penasihat dan penjaga. Mereka semua menoleh saat Arkan dan Edra masuk.
“Arkan,” panggil Raja Solaris, “kami memanggilmu karena kau harus tahu sesuatu yang sangat penting.”
Arkan berjalan mendekat dengan jantung berdegup kencang. “Apa yang terjadi?”
Raja Solaris melipat kedua tangannya. “Kami menerima kabar bahwa Aetherion sedang mempersiapkan pasukan besar. Mereka akan menyerang perbatasan dalam beberapa hari.” Suaranya penuh kewaspadaan. “Dan mereka mencari sesuatu.”
“Batu Chronos,” bisik Edra. “Mereka mencarinya juga.”
Arkan menatap mereka bingung. “Batu Chronos?”
Raja Solaris mengangguk pelan. “Sebuah artefak kuno yang memiliki kekuatan untuk memutar balik waktu dalam skala besar. Jika Kaelen mendapatkannya, ia bisa menghapus Solari dari sejarah… seolah-olah kami tidak pernah ada.”
Aula itu dipenuhi keheningan yang mencekam. Arkan merasakan sebuah beban berat yang menggantung di udara.
Arkan mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita harus menemukannya lebih dulu.”
Raja Solaris memandangnya penuh harapan. “Kau sadar, perjalanan ini akan penuh bahaya?”
Arkan mengangguk tegas. “Aku sadar. Tapi jika aku bisa menutup portal dan mengembalikan keseimbangan, aku akan melakukannya. Aku tidak akan membiarkan dunia ini hancur.”
Edra menepuk punggung Arkan dengan penuh semangat. “Itu semangat yang aku harapkan!”
Raja Solaris tersenyum tipis. “Baik. Kita akan merencanakan ekspedisi ini secepatnya. Tapi ingat, setiap keputusanmu akan mengubah banyak hal, Arkan.”
Arkan menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang dan semburat cahaya sihir. Dalam hati, ia tahu perjalanan ini akan menguji segalanya—keberanian, kepercayaan, dan pengorbanannya. Tapi ia telah memutuskan: ia akan melawan takdir, apa pun yang terjadi.
Bab 4: Penemuan Kekuatan Temporal
Malam di Istana Aurora terasa sunyi, hanya terdengar gemerisik lembut daun kristal yang tertiup angin. Arkan berdiri di salah satu balkon kecil dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang berputar-putar. Batu Chronos, Kaelen, dan perang antara cahaya serta bayangan—semua terasa seperti mimpi yang terlalu nyata.
Langkah kaki terdengar mendekat. Edra muncul sambil membawa gulungan peta dan sebuah buku tebal. “Kau tidak bisa tidur, ya?” tanyanya sambil duduk di tepi pagar balkon.
Arkan menggeleng. “Aku masih mencoba memahami semuanya. Dan… aku merasa kekuatan waktu ini terlalu besar bagiku. Bahkan perangkat ini…” Ia menatap perangkat waktu di pergelangan tangannya yang mati sejak ia terlempar ke dunia ini. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya.”
Edra tersenyum simpul dan menepuk bahu Arkan. “Tenang saja. Tidak ada yang menguasai sesuatu dalam semalam.” Ia membuka buku tebal di tangannya dan menunjukkan halaman penuh dengan simbol-simbol bercahaya. “Lihat ini.”
Arkan mendekat dan membaca tulisan di halaman itu. “Simbol-simbol sihir temporal?”
Edra mengangguk. “Ini adalah dasar-dasar sihir temporal kuno. Bahkan penyihir terkuat pun jarang menggunakannya karena risikonya terlalu tinggi. Tapi, kau berbeda. Kau sudah membawa energi temporal sejak awal, dan itu mengalir alami dalam tubuhmu.”
Arkan terdiam sejenak sebelum bertanya, “Jadi, bagaimana cara melatihnya?”
Edra berdiri dan mengangkat tongkat kayunya yang bersinar lembut. “Pertama, kau harus memahami bahwa waktu bukan sesuatu yang lurus. Ia seperti aliran sungai yang bercabang dan berubah arah sesuai kekuatan di sekitarnya.” Edra menggambar lingkaran di udara dengan tongkatnya. Lingkaran itu bersinar dan membentuk pusaran kecil. “Fokuslah untuk merasakan aliran ini. Biarkan pikiranmu selaras dengannya.”
Arkan menutup mata dan mencoba merasakan energi yang mengalir di sekitarnya. Awalnya, semuanya terasa samar. Namun, perlahan ia mulai merasakan sesuatu—seperti denyutan halus yang menyusup ke setiap serat tubuhnya. Aliran waktu di sekitar mereka terasa seperti detak jantung alam semesta yang terus berdetak tanpa henti.
“Bagus,” ujar Edra pelan. “Sekarang, coba bayangkan kau memperlambat aliran itu.”
Arkan mengerutkan kening, fokus pada denyutan itu. Tiba-tiba, ia merasakan waktu di sekitarnya melambat. Angin berhenti berembus, dedaunan kristal yang biasanya gemerisik kini diam membeku di udara.
Edra tersenyum lebar. “Hebat! Kau melakukannya!”
Arkan membuka mata dan terkejut melihat semuanya berhenti bergerak. “Aku… aku benar-benar memperlambat waktu?”
Edra mengangguk bangga. “Tapi ingat, ini baru langkah pertama. Kau belum sepenuhnya menguasainya. Jika terlalu lama, energi tubuhmu bisa terkuras habis.”
Tiba-tiba, semuanya kembali normal. Arkan terhuyung dan hampir jatuh karena kelelahan. Edra segera menangkapnya. “Lihat? Kau belum terbiasa dengan ini.”
Arkan menarik napas panjang. “Kau benar. Rasanya seperti ada beban besar yang menarik jiwaku.”
Pagi harinya, Arkan dan Edra berkumpul bersama Raja Solaris serta beberapa panglima perang Solari di aula besar. Peta besar terbentang di meja batu, menunjukkan lokasi-lokasi strategis di Echronis.
Raja Solaris menunjuk ke sebuah titik di ujung selatan. “Ini adalah Kuil Chronos. Tempat artefak itu disimpan. Tapi perjalanan ke sana tidak mudah. Hutan bayangan di sekitarnya dipenuhi makhluk yang hidup dalam dimensi waktu yang retak.”
Edra menatap Arkan serius. “Ini ujian besar bagi kekuatanmu. Kau akan merasakan distorsi waktu yang jauh lebih kuat daripada di sini.”
Arkan mengangguk, berusaha menenangkan dirinya. “Aku siap.”
Raja Solaris menghela napas panjang. “Kita harus bergerak cepat. Aetherion mungkin sudah mengetahui keberadaan kuil itu. Jika mereka sampai lebih dulu… semuanya berakhir.”
Perjalanan menuju Kuil Chronos berlangsung melewati hutan yang dipenuhi kabut tebal dan suara-suara aneh. Hutan itu seperti hidup—pohon-pohon bergerak seolah mengawasi setiap langkah mereka.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kabut menebal dan suara jeritan melengking terdengar di sekeliling mereka. Dari balik pepohonan, muncul sosok bayangan dengan bentuk menyerupai manusia, tetapi wajahnya hanya berupa celah kosong.
“Mereka adalah Penjaga Distorsi,” bisik Edra. “Makhluk-makhluk yang diciptakan dari retakan waktu.”
Salah satu penjaga menyerang dengan kecepatan luar biasa, namun Arkan bereaksi cepat. Ia mengangkat tangannya dan mencoba memperlambat pergerakan mereka seperti yang diajarkan Edra. Namun, alih-alih memperlambat, waktu justru berhenti sepenuhnya di sekitar mereka.
Edra tertegun. “Kau… menghentikan waktu?”
Arkan terengah-engah, tetapi ia tahu itu adalah satu-satunya cara. Dengan waktu yang terhenti, ia menarik Edra keluar dari kepungan penjaga. Ketika ia melepaskan kendalinya, semuanya kembali bergerak dan para penjaga kebingungan, seolah kehilangan jejak mereka.
“Luar biasa,” puji Edra. “Tapi kau harus hati-hati. Menghentikan waktu seperti itu bisa menghancurkan tubuhmu jika kau terlalu lama melakukannya.”
Arkan tersenyum lemah. “Aku mulai mengerti… kekuatan ini bukan sekadar kemampuan, tapi juga tanggung jawab.”
Akhirnya, mereka tiba di depan Kuil Chronos—sebuah bangunan kuno yang terbuat dari batu hitam dengan ukiran simbol waktu di setiap sisinya. Di tengah kuil, terdapat altar dengan cahaya biru berkilauan. Di atasnya terletak sebuah batu kecil berbentuk spiral yang memancarkan energi luar biasa.
“Batu Chronos,” bisik Edra. “Dengan ini… kita bisa menutup portal itu.”
Namun, sebelum mereka sempat menyentuh batu tersebut, suara tawa dingin menggema di dalam kuil. Dari balik bayangan, muncul seorang pria dengan jubah hitam panjang dan mata berkilau merah darah.
“Kaelen…” Edra berbisik dengan wajah penuh ketegangan.
Arkan merasakan udara di sekitarnya membeku. Kaelen berdiri dengan senyum mengerikan di wajahnya. “Kalian pikir kalian bisa lolos begitu saja?” katanya dengan suara penuh kepastian. “Batu Chronos itu… adalah kunci kehancuranmu.”
Arkan mengepalkan tangan. Pertarungan baru saja dimulai—pertarungan yang akan menentukan nasib semua dimensi.
Bab 5: Intrik di Balik Tahta
Kaelen berdiri di tengah kuil dengan aura kegelapan yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya terasa menyesakkan. Mata merahnya bersinar seperti api neraka. Edra segera mengangkat tongkatnya, membuat perisai cahaya di depan mereka. Namun, senyum tipis Kaelen justru membuat segalanya terasa lebih mencekam.
“Kalian sungguh naïf jika berpikir bisa merebut Batu Chronos tanpa perlawanan,” ucap Kaelen dingin. Ia melangkah maju perlahan, dan setiap jejak kakinya meninggalkan bayangan yang menggeliat seperti makhluk hidup.
Arkan mengepalkan tangannya. “Kami tidak akan membiarkanmu mengubah sejarah dan menghancurkan dunia ini.”
Kaelen tertawa pelan. “Sejarah adalah milik pemenang, bocah. Dan aku akan memastikan kalian lenyap bahkan sebelum cerita ini dimulai.”
Seketika, Kaelen mengangkat tangannya, dan bayangan gelap menyebar di seluruh ruangan, menciptakan celah dimensi kecil yang berisi distorsi waktu. Edra mencoba melawan dengan kilatan cahaya dari tongkatnya, tetapi kekuatan Kaelen terlalu besar.
“Arkan, fokus!” teriak Edra. “Kau harus menggunakan kekuatanmu untuk keluar dari sini!”
Arkan memejamkan mata dan merasakan denyut waktu di sekitarnya. Ia tahu satu hal: jika mereka melawan Kaelen sekarang tanpa rencana yang matang, mereka akan hancur. Dengan segala kekuatan yang tersisa, ia menciptakan distorsi kecil untuk melompat keluar dari kuil.
Cahaya biru terang menyelimuti mereka, dan dalam sekejap, Arkan dan Edra terlempar ke padang rumput di luar hutan bayangan. Mereka terjatuh keras, napas mereka memburu. Arkan menggenggam pergelangan tangannya yang terasa panas—jam temporal di lengannya mulai hidup kembali, meski hanya berkedip lemah.
Edra berdiri terhuyung-huyung. “Kita berhasil… keluar. Tapi Kaelen pasti akan mengejar.”
Arkan menoleh dengan wajah penuh kebingungan dan rasa bersalah. “Kenapa dia begitu kuat? Bukankah kita sudah punya rencana?”
Edra menatap Arkan dengan penuh keseriusan. “Kaelen bukan sekadar penyihir. Dia telah menyatu dengan bayangan itu sendiri. Satu-satunya alasan kita selamat adalah karena kau bisa mengendalikan waktu untuk sesaat.” Edra menggenggam bahunya erat. “Tapi ingat, kekuatanmu masih belum stabil. Jika kau salah langkah… kau bisa terhapus dari eksistensi.”
Arkan mengangguk, namun di dalam hatinya, kekhawatiran semakin tumbuh. Ia tahu mereka butuh bantuan lebih dari sekadar kekuatan sihir atau temporal. Mereka butuh rencana yang cermat dan sekutu yang bisa dipercaya.
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, mereka akhirnya tiba kembali di Istana Aurora. Namun, suasana di dalam istana terasa lebih tegang dari biasanya. Para prajurit berkumpul di aula utama, berbicara dengan bisik-bisik penuh kekhawatiran.
“Edra! Arkan!” salah satu penjaga berlari mendekati mereka. “Raja Solaris sedang menunggu kalian di balairung. Ada… sesuatu yang buruk terjadi.”
Edra bertukar pandang dengan Arkan sebelum bergegas masuk ke aula besar. Di sana, Raja Solaris berdiri di tengah ruangan dengan wajah muram. Di sebelahnya, seorang pria berambut hitam dengan jubah prajurit berdiri dengan tangan terlipat.
“Ini Jenderal Elandor,” ujar Raja Solaris memperkenalkan pria itu. “Ia komandan tertinggi pasukan Solari.”
Elandor menatap Arkan dengan tajam, seolah mencoba menilai kekuatannya. “Jadi… ini penjelajah waktu yang katanya bisa menyelamatkan kita?”
Arkan sedikit tidak nyaman dengan sorotan itu. “Aku hanya ingin menutup portal dan pulang. Tapi jika aku harus melawan Aetherion… aku akan melakukannya.”
Elandor mengangkat alis. “Kau punya keberanian, tapi keberanian saja tidak cukup.” Ia mendekat dan berkata dengan nada rendah, “Aku tidak percaya bahwa kekuatan seperti itu boleh dimiliki oleh orang luar. Kau bisa menjadi ancaman bagi kami.”
Arkan terkejut, tetapi sebelum ia sempat membalas, Raja Solaris mengangkat tangan. “Cukup, Elandor. Saat ini kita tidak bisa terpecah. Kaelen semakin kuat, dan kita butuh semua kekuatan yang kita miliki.”
Elandor menunduk hormat, meskipun jelas dari wajahnya bahwa ia belum sepenuhnya setuju.
Malam itu, Edra membawa Arkan ke taman belakang istana untuk menenangkan pikirannya. Suasana taman yang dipenuhi bunga bercahaya seharusnya memberikan kedamaian, tetapi Arkan tidak bisa menghilangkan kecurigaannya.
“Edra,” ujar Arkan pelan, “kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah di sini?”
Edra terdiam sejenak sebelum menjawab. “Kau merasakannya juga, ya?” Ia menatap bintang-bintang di langit. “Elandor adalah sosok yang kuat dan setia pada Solari, tetapi ambisinya terkadang membuatnya terlalu ekstrem. Dan bukan tidak mungkin dia akan mengambil tindakan sendiri.”
Arkan menghela napas. “Jadi, kita tidak hanya melawan Aetherion… kita juga harus berhati-hati terhadap musuh di dalam.”
Edra mengangguk. “Kau mulai memahami bagaimana permainan ini berjalan.”
Di sisi lain, di ruang tersembunyi di bawah istana, Elandor duduk di atas kursi batu, dikelilingi cahaya obor yang redup. Seorang pria berjubah hitam dengan simbol bayangan mendekat.
“Kita harus bergerak,” ujar pria itu pelan. “Waktu semakin sempit, dan Raja Solaris terlalu percaya pada anak itu.”
Elandor mengepalkan tangan. “Aku tidak akan membiarkan Solari jatuh hanya karena ramalan tentang penjelajah waktu. Jika perlu, aku sendiri yang akan mengakhiri segalanya.”
Pria berjubah hitam itu tersenyum licik. “Bagus… sangat bagus.”
Kembali di kamarnya, Arkan berdiri menatap jam temporal yang mulai berdetak pelan, seolah mencoba berbicara padanya. Ia tahu, waktu bukan sekadar garis lurus—ia adalah labirin yang penuh jebakan. Dan kini, ia harus bertahan di tengah permainan intrik antara cahaya dan bayangan yang semakin berbahaya.
Di ambang perang, Arkan menyadari satu hal: musuh terbesar bukan hanya Kaelen, tetapi juga pengkhianatan yang ada di dekatnya. Ia harus membuat keputusan yang tepat, atau dunia ini akan terjatuh ke dalam kekacauan abadi.
Bab 6: Penyerangan Mendadak Aetherion
Fajar baru saja menyingsing ketika suara terompet perang memecah kesunyian Istana Aurora. Arkan terbangun dengan jantung berdebar kencang. Di luar jendela, ia melihat prajurit-prajurit Solari berlari ke arah benteng pertahanan. Cahaya sihir dari menara-menara pelindung mulai menyala, membentuk perisai energi di atas kota.
Edra masuk dengan tergesa-gesa ke kamar Arkan. Wajahnya penuh ketegangan. “Mereka datang lebih cepat dari yang kita perkirakan.”
Arkan segera bangkit. “Aetherion?”
Edra mengangguk. “Pasukan bayangan Kaelen menyerang perbatasan selatan. Mereka mencoba menerobos sebelum kita bisa mempersiapkan strategi.”
Tanpa berpikir panjang, Arkan meraih jaket dan perangkat temporalnya. “Aku harus membantu.”
Edra menepuk bahu Arkan dengan kuat. “Ini bukan hanya pertempuran biasa. Mereka membawa sesuatu yang lebih berbahaya.”
Di perbatasan selatan, debu dan asap membumbung tinggi. Puluhan prajurit Solari berdiri dalam formasi rapat, memegang tombak bercahaya. Di sisi lain, pasukan Aetherion yang dipimpin oleh makhluk-makhluk bayangan melangkah dengan langkah mantap. Mata mereka bersinar merah, dan tubuh mereka berlapis kabut gelap.
Di tengah pasukan Aetherion, berdiri seorang jenderal tinggi dengan jubah hitam berumbai. Tongkat sihirnya berbentuk belati dengan ujung berkilauan ungu.
“General Darius,” bisik Edra dengan wajah cemas. “Dia tangan kanan Kaelen… dan tidak pernah gagal dalam misinya.”
“Bagaimana dia bisa sampai ke sini begitu cepat?” tanya Arkan, mengamati pasukan bayangan yang seperti tak berujung.
Edra menggertakkan giginya. “Mereka menggunakan sihir distorsi ruang. Mereka memecah dimensi untuk memperpendek perjalanan mereka.”
Arkan merasakan ketegangan luar biasa. Para prajurit Solari berdiri gagah, namun ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Perbedaan kekuatan antara dua pasukan itu seperti siang dan malam.
“Serang!” teriak General Darius sambil mengangkat tongkatnya. Seketika, bayangan gelap menjalar seperti ombak hitam yang bergelombang, menghantam perisai pelindung Solari. Ledakan keras terdengar, membuat tanah bergetar.
Para penyihir Solari berusaha memperkuat perisai dengan mantra cahaya, tetapi retakan mulai muncul. Arkan melihat salah satu menara pelindung mulai memudar. Jika menara itu runtuh, kota akan terbuka bagi serangan musuh.
Edra menoleh ke Arkan. “Ini saatnya, Arkan. Kau harus membantu memperlambat waktu di sekitar menara itu, atau semuanya akan hancur.”
Arkan mengangguk. Ia berlari menuju menara sambil menenangkan pikirannya. Ia mengangkat tangannya, merasakan aliran waktu di sekelilingnya. Namun, suara ledakan dan jeritan di sekitarnya membuat fokusnya buyar.
“Fokus, Arkan!” teriak Edra dari kejauhan. “Percayai kekuatanmu!”
Arkan memejamkan mata dan menarik napas panjang. Ia mengabaikan suara pertempuran dan hanya mendengarkan denyut waktu yang berdesir di udara. Perlahan, ia merasakan aliran itu menyatu dengan tubuhnya. Detik demi detik melambat. Pasukan Aetherion yang sedang menyerang menara tampak bergerak lamban seperti bayangan yang terjebak dalam kaca.
“Sukses!” Arkan membuka mata dan melihat perisai menara yang retak mulai pulih kembali. Serangan bayangan melambat seperti percikan api yang membeku di udara.
Namun, sebelum Arkan sempat merayakan keberhasilannya, General Darius melompat ke udara, meluncur cepat ke arah menara seperti anak panah bayangan. Mata merahnya bersinar semakin terang.
“Penjelajah waktu!” teriaknya sambil mengayunkan tongkat sihirnya. Arkan terkejut melihat Darius dapat bergerak bebas meskipun waktu di sekitarnya telah diperlambat.
Darius mengayunkan tongkatnya, menciptakan gelombang energi gelap yang memecah aliran waktu. Ledakan terjadi tepat di dekat Arkan, membuatnya terpental ke tanah. Tubuhnya terasa berat, dan pandangannya kabur.
Edra berlari mendekat dan melemparkan perisai pelindung ke arah Arkan. “Kau harus keluar dari sini!”
Arkan mencoba bangkit, tetapi Darius sudah berdiri di depannya. “Kau pikir kau bisa menghentikan kami dengan trik murahanmu?” suara Darius bergetar dengan amarah.
“Jangan sentuh dia!” Edra menerjang Darius dengan sihir cahaya yang berpendar kuat. Ledakan besar terjadi, dan keduanya terlempar beberapa meter.
Arkan berusaha menenangkan napasnya. Di antara asap dan suara dentuman, ia melihat sesuatu berkilauan di tanah—pecahan kecil dari Batu Chronos yang dibawa oleh Edra.
Arkan meraih pecahan itu dan merasakan energi kuat mengalir ke seluruh tubuhnya. Waktu di sekelilingnya tampak membeku sempurna, bahkan kilat dan ledakan berhenti di udara. Dengan kekuatan yang baru ia rasakan, Arkan berdiri dan berteriak, menciptakan gelombang energi temporal yang mendorong Darius mundur.
Para prajurit Solari yang melihat kejadian itu terdiam dalam keheranan sebelum akhirnya bersorak. Pasukan Aetherion mulai mundur, membawa serta General Darius yang terluka parah.
Edra berdiri dengan wajah penuh debu tetapi tersenyum lelah. “Kau baru saja menyelamatkan kami.”
Arkan menggenggam pecahan Batu Chronos di tangannya. “Tapi ini baru awal. Kaelen akan tahu aku memiliki kekuatan ini. Dia akan kembali… dengan kekuatan yang lebih besar.”
Edra mengangguk, tatapannya penuh kewaspadaan. “Dan kita harus bersiap sebelum semua terlambat.”
Arkan melihat ke arah medan pertempuran yang penuh dengan puing-puing dan jejak sihir gelap. Ia tahu bahwa perang ini belum berakhir. Ia harus belajar mengendalikan kekuatan temporalnya dengan sempurna sebelum Kaelen datang dan menghapus semuanya dari sejarah.
Di kejauhan, awan kelam perlahan kembali mengumpul, seolah menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar akan datang.
Bab 7: Rahasia Batu Chronos
Arkan berdiri di atas tembok benteng Istana Aurora, menatap sisa-sisa medan pertempuran di kejauhan. Asap tipis masih mengepul di beberapa tempat, meninggalkan jejak kehancuran. Pecahan kecil Batu Chronos di tangannya masih memancarkan cahaya lembut, tetapi energi itu terasa begitu dahsyat, seolah-olah bisa menembus dimensi lain hanya dengan satu pikiran.
Edra berdiri di sampingnya, melipat tangan sambil memandang langit. “Kita menang untuk sementara… tapi aku tahu Kaelen tidak akan berhenti di sini.”
Arkan mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Apa sebenarnya Batu Chronos ini? Kenapa benda kecil ini begitu kuat?”
Edra menghela napas dan menatap Arkan dengan tatapan penuh keseriusan. “Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu.”
Arkan menoleh. “Apa maksudmu?”
Edra menatap pecahan itu dalam-dalam, seolah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar artefak. “Batu Chronos bukan hanya sumber kekuatan temporal. Ini… sebuah bagian dari inti waktu itu sendiri.”
Arkan mengerutkan dahi. “Inti waktu? Maksudmu… ada lebih dari satu?”
Edra mengangguk perlahan. “Batu ini adalah pecahan dari sebuah artefak yang lebih besar, yang disebut Jantung Kronos. Legenda mengatakan bahwa dulu ada satu artefak utama yang mampu mengendalikan seluruh aliran waktu di semua dimensi. Namun, karena kekuatannya terlalu besar, para penjaga waktu kuno memecahnya menjadi beberapa bagian dan menyebarkannya di berbagai dunia.”
Arkan terdiam, menyadari implikasi dari cerita itu. “Jadi… Kaelen berusaha mengumpulkan semua pecahan itu untuk menciptakan kekuatan yang mampu mengendalikan seluruh realitas?”
Edra mengangguk dengan wajah suram. “Benar. Dan yang lebih buruk, jika semua pecahan itu disatukan, tidak hanya dunia ini yang akan hancur—tetapi seluruh dimensi akan berada di bawah kendalinya.”
Arkan mengepalkan tangannya. “Jadi, kita harus menemukan pecahan lainnya sebelum dia melakukannya.”
Raja Solaris memanggil rapat mendadak setelah mendengar penjelasan Edra dan Arkan. Di dalam aula megah, suasana dipenuhi ketegangan. Para panglima dan penasihat berkumpul di sekitar meja batu besar.
Raja Solaris menunjuk sebuah titik di peta yang dikelilingi pegunungan tandus. “Menurut catatan kuno, salah satu pecahan Batu Chronos lainnya berada di Kota Azran—kota yang tersembunyi di bawah tanah dan hanya muncul saat gerbang bintang terbuka.”
“Azran?” Arkan mengerutkan dahi. Nama itu terdengar asing namun mengandung misteri.
Edra menjelaskan, “Azran adalah kota kuno para penjaga waktu. Mereka memutuskan untuk bersembunyi setelah pecahan batu itu menjadi incaran banyak pihak.” Ia menatap Arkan. “Namun, untuk membuka gerbang ke Azran… kita butuh seseorang yang memiliki darah penjaga waktu.”
Semua mata tertuju pada Arkan. Wajahnya memucat. “Tunggu… maksudmu aku?”
Edra mengangguk. “Ya. Jam temporal yang kau bawa tidak hanya sebuah perangkat teknologi. Ada sesuatu dalam darahmu yang membuatmu terhubung dengan aliran waktu. Mungkin… keluargamu menyimpan rahasia yang tidak pernah kau ketahui.”
Sebelum Arkan bisa memproses semua itu, suara ledakan besar terdengar dari luar aula. Dinding bergetar, dan serpihan kristal jatuh dari langit-langit. Para prajurit segera bersiap.
Seorang penjaga berlari masuk dengan wajah panik. “Yang Mulia! Ada serangan—tapi ini bukan dari Aetherion!”
Semua orang terdiam. “Apa maksudmu?” tanya Raja Solaris dengan tegas.
“Pasukan itu… menggunakan lambang Solari,” jawab penjaga itu dengan suara bergetar. “Mereka dipimpin oleh Jenderal Elandor!”
Aula meledak dalam bisikan panik. Edra mengepalkan tangan, wajahnya berubah muram. “Pengkhianat…”
Arkan berdiri dengan wajah penuh keterkejutan. “Kenapa dia menyerang?”
Raja Solaris menundukkan kepala, seolah sudah menduga hal ini. “Elandor tidak pernah percaya pada kekuatanmu. Ia menganggap kehadiranmu sebagai ancaman dan menganggap caraku memercayaimu sebagai kesalahan.”
Edra mengayunkan tongkatnya ke arah pintu. “Kita harus menghentikannya sebelum kota ini runtuh dari dalam.”
Arkan, Edra, dan beberapa prajurit berlari menuju halaman utama istana. Pemandangan yang mereka temukan begitu mengerikan—pasukan Elandor menerobos gerbang utama, menghancurkan patung-patung penjaga waktu, dan melemparkan sihir api yang memecahkan dinding kristal.
Di tengah kekacauan, Elandor berdiri di atas kuda hitam yang dihiasi jubah emas. Matanya penuh amarah dan dendam.
“Kau seharusnya tidak pernah ada di sini, Arkan!” teriak Elandor sambil mengangkat pedang bercahaya biru gelap. “Kau bukan penyelamat! Kau adalah kutukan bagi Solari!”
Arkan menatap Elandor dengan perasaan campur aduk. “Aku tidak pernah ingin membawa kehancuran. Tapi jika kau memaksaku… aku akan bertarung.”
Edra berdiri di sampingnya. “Kita hadapi ini bersama.”
Pertempuran pecah. Cahaya dan bayangan beradu di tengah halaman istana. Sihir bercahaya menyala di udara, menciptakan ledakan yang menggetarkan bumi. Arkan menggunakan kekuatan temporalnya untuk memperlambat pergerakan pasukan Elandor, sementara Edra mengirimkan gelombang energi cahaya yang menghancurkan perisai mereka.
Elandor melompat turun dari kudanya dan melangkah ke arah Arkan. Mereka saling berhadapan di tengah kekacauan.
“Kenapa kau mengkhianati kami?” teriak Arkan dengan nada penuh emosi.
Elandor mengayunkan pedangnya. “Karena aku lebih percaya pada kekuatan Solari sendiri daripada bergantung pada penjelajah waktu sepertimu!”
Pertarungan mereka berlangsung sengit. Pedang Elandor berkilauan dengan sihir destruktif, sementara Arkan menggunakan energi temporal untuk menghindari serangan-serangannya. Namun, Elandor terlalu tangguh, dan Arkan mulai kelelahan.
Saat pedang Elandor hampir menghantam Arkan, sebuah cahaya biru terang muncul. Pecahan Batu Chronos di tangan Arkan bersinar, menciptakan ledakan energi yang memaksa semua orang mundur.
Ketika debu mengendap, Elandor terduduk, terengah-engah. Arkan berdiri dengan tangan gemetar, tetapi matanya penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan perpecahan menghancurkan kita.”
Dengan Elandor ditangkap, kedamaian sementara kembali ke Istana Aurora. Namun, di dalam hati Arkan tahu bahwa perang yang sebenarnya belum dimulai. Kota Azran dan rahasia Jantung Kronos kini menjadi tujuan mereka berikutnya.
Edra menatap Arkan dengan bangga sekaligus khawatir. “Perjalanan ke Azran akan sangat berbahaya. Tapi kau sudah membuktikan bahwa kau bisa melawan bukan hanya musuh, tapi juga dirimu sendiri.”
Arkan menggenggam pecahan itu erat-erat. “Aku siap. Apa pun yang terjadi… aku tidak akan menyerah.”
Jauh di kejauhan, bayangan Kaelen menatap langit yang mulai bergetar. “Kita lihat… seberapa kuat tekadmu, Arkan.”
Perang waktu dan ruang baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya.
Bab 8: Perangkap Dimensi dan Rasa Percaya
Perjalanan menuju Kota Azran terasa sunyi dan penuh ketegangan. Arkan, Edra, dan beberapa prajurit terpilih bergerak cepat melalui hutan lebat yang berkelok-kelok. Kabut ungu pekat mengelilingi jalan setapak, seolah mencoba menyesatkan mereka. Di kejauhan, suara gemerisik dedaunan terdengar seperti bisikan dari masa lalu.
Arkan sesekali menatap pecahan Batu Chronos di tangannya yang terus bersinar lembut. Ia merasakan energi luar biasa dari benda itu, tetapi juga tekanan yang membuat jiwanya terasa berat.
“Semakin kita mendekati Azran, semakin kuat energinya,” ujar Edra sambil mengamati arloji temporal di lengannya. “Batu ini seolah memanggil sesuatu…”
Arkan mengangguk pelan, tetapi pikirannya dipenuhi rasa ragu. Mampukah ia menjaga semua orang tetap selamat ketika bahaya terus membayangi?
Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah lembah yang luas. Di tengahnya berdiri sebuah gerbang batu kuno dengan ukiran berbentuk spiral yang berpendar samar. Udara di sekitar gerbang terasa berat, seperti terisi ribuan kenangan yang terjebak di dalamnya.
“Gerbang Azran,” bisik Edra. “Hanya darah yang terhubung dengan waktu yang bisa membuka jalan ke kota itu.”
Semua mata tertuju pada Arkan. Ia melangkah maju dengan perasaan campur aduk. Luka lama tentang ayahnya—yang menghilang tanpa jejak—kembali muncul. Apakah ini alasan mengapa ia terhubung dengan waktu?
Dengan ragu, Arkan mengulurkan tangannya dan menyentuh ukiran spiral. Cahaya biru terang menyelimuti mereka, dan gerbang batu itu mulai bergetar. Perlahan, portal ke dimensi lain terbuka, memancarkan aliran energi yang menyerupai arus sungai bintang.
“Ayo,” kata Edra sambil menarik napas panjang. “Kita harus bergerak sebelum portal menutup.”
Begitu mereka melangkah masuk, pemandangan di sekeliling mereka berubah drastis. Kota Azran berdiri megah di tengah hamparan tanah berbatu dengan menara-menara kristal yang bersinar. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, kabut hitam muncul dan melilit mereka seperti jaring laba-laba.
“Apa ini?” seru salah satu prajurit, mencoba melepaskan diri.
Edra mengangkat tongkatnya, tetapi sihirnya tidak mempan. “Ini… jebakan dimensi.”
Arkan mencoba mengendalikan kekuatan temporalnya, tetapi kabut itu seolah merespon pikirannya. Suara bisikan mulai terdengar, memanggil namanya.
“Arkan…” suara lembut itu terdengar akrab, membuatnya terdiam. Ia menoleh dan melihat sosok bayangan yang menyerupai ayahnya berdiri di kejauhan.
“Arkan, ini aku,” suara itu menggetarkan hatinya. “Kau akhirnya sampai ke tempat di mana semuanya bermula…”
Arkan merasa tubuhnya gemetar. “Ayah?”
Edra menyadari apa yang terjadi dan berteriak, “Jangan percaya! Itu ilusi!”
Namun, Arkan sudah melangkah maju, mendekati sosok itu. Wajah pria itu tersenyum hangat, tetapi tatapannya dipenuhi kesedihan. “Kau punya kekuatan yang tidak pernah kau pahami… tapi kau harus tahu, tidak semua orang yang bersamamu bisa kau percaya.”
“Apa maksudmu?” Arkan bertanya dengan suara parau.
Sosok itu mengulurkan tangannya. “Edra… dia tidak sepenuhnya jujur.”
Arkan menatap sosok itu dengan kebingungan. Selama ini, Edra adalah satu-satunya yang selalu membimbing dan mempercayainya. Namun, kata-kata sosok itu menggetarkan keyakinannya.
“Jangan dengarkan dia!” Edra berteriak, melangkah maju sambil mengayunkan tongkatnya, menciptakan kilatan cahaya untuk mengusir bayangan tersebut.
Bayangan itu memudar perlahan, tetapi suara terakhirnya menggema di telinga Arkan. “Kepercayaanmu akan diuji… Jangan salah memilih sekutu.”
Arkan jatuh berlutut, terengah-engah. Edra berlutut di sampingnya. “Kau baik-baik saja?”
Arkan mengangguk, tetapi di dalam hatinya muncul rasa ragu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Kenapa mereka menunjukkan itu kepadaku?”
Edra menggenggam bahunya. “Jebakan dimensi dirancang untuk mengacaukan hatimu. Mereka menunjukkan apa yang paling kau takuti.”
Setelah keluar dari kabut jebakan, mereka melanjutkan perjalanan ke pusat kota Azran. Di tengah jalan, salah satu prajurit mereka, Kael, berjalan mendekati Arkan dengan wajah tegang.
“Tuan Arkan… aku harus mengatakan sesuatu,” ujar Kael dengan suara pelan. “Ada seseorang di antara kita yang mengirimkan sinyal sihir… aku rasa ada pengkhianat di dalam kelompok ini.”
Arkan membeku. “Siapa?”
Kael menoleh ke arah Edra dengan ragu. “Aku tidak yakin… tapi kekuatannya terlalu mirip dengan aliran bayangan.”
Edra yang mendengar itu menoleh dengan tatapan penuh kemarahan. “Apa maksudmu? Kau menuduhku?”
Situasi memanas. Arkan berada di tengah kebimbangan. Ia tahu ada seseorang yang mengkhianati mereka, tetapi ia harus memutuskan siapa yang bisa ia percayai—Edra, sahabatnya, atau Kael, prajurit setia Solari?
Suara langkah kaki menggema di antara reruntuhan. Dari kejauhan, Kaelen dan pasukan bayangannya muncul, berjalan perlahan dengan senyum dingin di wajahnya.
“Jadi, sudah pecah perpecahan di antara kalian?” ucap Kaelen dengan nada mengejek.
Arkan mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa perpecahan bisa menghancurkan mereka lebih cepat daripada kekuatan musuh.
Ia berdiri tegak dan menatap Edra serta Kael bergantian. “Tidak ada waktu untuk saling mencurigai. Kita harus bersatu… atau kita semua akan hancur.”
Edra mengangguk, tetapi matanya masih penuh kemarahan terhadap Kael. Sementara itu, Kael menundukkan kepalanya, tetapi tetap memegang senjatanya dengan waspada.
Di depan mereka, Kaelen mengangkat tangannya. “Tapi sayangnya, kalian tidak akan punya waktu untuk memikirkan persatuan itu… karena di sini, segalanya akan berakhir.”
Arkan menarik napas dalam-dalam dan menatap Batu Chronos di tangannya. Di tengah rasa ragu dan tekanan luar biasa, ia tahu hanya ada satu pilihan—melawan hingga akhir.
“Edra… Kael… percayalah padaku,” ucap Arkan pelan. “Kita akan menghancurkan jebakan ini dan melangkah maju ke takdir kita.”
Di bawah langit yang mulai retak oleh aliran sihir waktu, pertempuran terakhir di Kota Azran pun dimulai. Rasa percaya mereka akan diuji oleh api dan bayangan. Arkan tahu, jika ia gagal… dunia ini tidak akan pernah memiliki masa depan lagi.
Bab 9: Pertempuran Akhir di Celah Waktu
Kabut tipis yang mengelilingi Kota Azran mulai berpendar dengan cahaya keemasan, tetapi retakan dimensi yang mengelilinginya semakin membesar. Di kejauhan, Kaelen berdiri dengan tenang, jubah hitam panjangnya berkibar tertiup angin. Di belakangnya, pasukan bayangan bersiap, mata mereka berkilauan merah seperti bara api.
Arkan berdiri di barisan depan, Batu Chronos di tangannya berdenyut seolah-olah merespon situasi kritis ini. Edra dan Kael berdiri di kedua sisinya, meskipun ketegangan di antara mereka belum sepenuhnya reda.
Kaelen tersenyum sinis dan mengangkat tangannya ke udara. “Selamat datang di akhir waktumu, Arkan. Inilah saatnya aku mengambil alih takdir dan menghancurkanmu… bersama harapan dunia ini.”
Dengan gerakan cepat, Kaelen mengayunkan tongkat sihirnya, menciptakan celah waktu raksasa di langit. Angin bertiup kencang, menciptakan pusaran energi yang memutar kenyataan di sekeliling mereka.
“Bersiap!” teriak Edra sambil mengangkat tongkatnya, menciptakan perisai cahaya yang menyelimuti kelompok mereka.
Pertempuran pun dimulai. Pasukan bayangan meluncur seperti gelombang hitam, menerjang perisai Edra dengan kekuatan brutal. Prajurit-prajurit Solari yang tersisa melawan dengan sekuat tenaga, namun jumlah musuh seolah tidak ada habisnya.
Arkan melangkah maju dan mengangkat tangan kanannya. Ia memejamkan mata, merasakan aliran waktu di sekitar medan perang. Denyut energi Batu Chronos menyatu dengan kesadarannya, dan dalam sekejap, waktu di sekelilingnya melambat. Serangan musuh tampak membeku di udara, percikan api berhenti melayang, dan langkah musuh terhenti.
Edra menoleh kagum. “Luar biasa… kau menghentikan seluruh medan pertempuran.”
Namun, Kaelen tidak terpengaruh. Ia bergerak dengan kecepatan penuh, menerobos medan yang membeku. Tongkat sihirnya bersinar ungu, menciptakan gelombang energi yang memecah perisai Edra dan membuat prajurit Solari terpental ke belakang.
Kaelen melangkah mendekati Arkan. “Kau pikir kau bisa mengendalikan waktu seperti aku?” Ia mengayunkan tongkatnya dengan kekuatan dahsyat.
Arkan mengangkat tangannya untuk menangkis, tetapi energi yang dilepaskan Kaelen begitu besar hingga membuatnya terdorong mundur beberapa meter. Batu Chronos di tangannya bersinar terang, tetapi retak kecil mulai muncul di permukaannya.
Saat pertempuran semakin sengit, Kael tiba-tiba bergerak mendekati Arkan dengan ekspresi serius. “Arkan, kau harus menyerahkan Batu Chronos padaku! Aku bisa membawanya ke tempat aman!”
Edra menyipitkan mata penuh curiga. “Kael, apa yang kau bicarakan? Batu itu hanya bisa dikendalikan oleh Arkan!”
Kael menggertakkan giginya. “Aku melakukan ini demi Solari!” Dengan gerakan cepat, ia menghunus pedangnya dan mencoba merebut Batu Chronos dari tangan Arkan.
“Kael! Kau berkhianat?!” teriak Edra sambil melemparkan gelombang cahaya untuk menahan serangan Kael.
Kael terlempar ke belakang, tetapi ia segera bangkit dengan wajah penuh kebencian. “Kalian tidak mengerti… jika Batu Chronos jatuh ke tangan Kaelen, segalanya akan berakhir. Aku harus mengendalikannya!”
Arkan berdiri di antara mereka, terengah-engah. Rasa kecewa dan amarah bercampur di dalam dirinya. “Kael… kau mengkhianati kami di saat seperti ini?”
Namun, sebelum Kael bisa menjawab, gelombang energi besar meledak dari arah Kaelen. Suara retakan dimensi terdengar nyaring, membuat medan pertempuran berubah menjadi kekacauan.
Kaelen tertawa keras di tengah pusaran energi. “Semakin kalian bertarung, semakin besar celah dimensi ini terbuka. Semuanya akan runtuh… dan aku akan mengendalikan segalanya!”
Arkan menatap Edra dengan wajah penuh tekad. “Satu-satunya cara untuk menghentikan ini adalah menutup celah dimensi… meskipun aku harus menggunakan semua kekuatan temporal yang kumiliki.”
Edra menggeleng dengan wajah penuh kecemasan. “Tidak, Arkan! Jika kau melakukannya, kau mungkin tidak akan bisa kembali!”
Arkan tersenyum kecil. “Aku tahu. Tapi jika aku tidak melakukannya, semua akan musnah.”
Edra menggenggam tangan Arkan dengan erat. “Kalau begitu… biarkan aku ikut.”
Arkan tertegun. “Edra…”
Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, Edra mengangkat tongkatnya dan menciptakan jalur energi cahaya yang mengarah ke celah dimensi. Ia menatap Arkan dengan mata penuh kepercayaan. “Kita akan melakukannya bersama.”
Arkan dan Edra melangkah maju ke pusat pusaran energi. Batu Chronos di tangan Arkan bersinar seperti bintang yang meledak. Kaelen menyadari apa yang mereka lakukan dan berteriak marah.
“Tidak! Kalian tidak akan menghentikanku!” Kaelen meluncur ke arah mereka, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi.
Namun, tepat sebelum ia bisa menyerang, Arkan dan Edra menyatukan kekuatan mereka. Gelombang cahaya dan temporal meledak dengan dahsyat, menutup celah dimensi secara paksa. Kaelen tertelan oleh pusaran tersebut, suaranya memudar bersama bayangan tubuhnya.
Ledakan besar terjadi, dan semuanya berubah menjadi putih.
Ketika Arkan membuka matanya, ia berada di padang rumput yang luas dan tenang. Langit biru membentang luas, dan angin sejuk bertiup lembut. Tidak ada tanda-tanda pertempuran atau kehancuran.
Edra berdiri di sampingnya dengan senyum lega. “Kita berhasil.”
Arkan melihat ke sekeliling, tetapi tidak ada tanda-tanda istana Solari atau Kota Azran. “Di mana kita?”
Edra menghela napas panjang. “Kita berada di titik nol… garis waktu baru. Dunia lama mungkin sudah musnah, tapi kita memberikan kesempatan baru bagi dunia lain.”
Arkan terdiam, menyadari besarnya pengorbanan mereka. Namun, ia juga merasa lega karena mereka berhasil menyelamatkan dimensi dari kehancuran total.
“Jadi… apa selanjutnya?” tanya Arkan.
Edra tersenyum tipis. “Petualangan baru, tentu saja.”
Arkan tertawa kecil. Ia tahu, meskipun mereka telah melewati banyak cobaan, kisah mereka belum berakhir. Di dunia baru ini, waktu kembali menjadi sebuah misteri—dan mereka akan terus berjalan di dalamnya.
Di kejauhan, bayangan sebuah menara bercahaya muncul di cakrawala, seolah memberi mereka tujuan baru. Perjalanan mereka baru saja dimulai kembali.
Bab 10: Pengorbanan dan Dimensi Baru
Arkan dan Edra melangkah perlahan melintasi padang rumput yang luas. Di kejauhan, menara bercahaya berdiri megah, memancarkan aura damai yang menghangatkan jiwa. Suara angin yang berdesir terdengar seperti melodi lembut, mengiringi perjalanan mereka menuju dunia yang belum mereka kenal.
“Aku tidak percaya kita benar-benar berhasil,” gumam Arkan. Batu Chronos yang tadinya bersinar terang kini retak dan mulai memudar di genggamannya. Pecahan itu akhirnya menjadi debu dan hilang tertiup angin.
Edra menatap debu itu dengan penuh haru. “Setiap akhir adalah awal baru. Dunia lama telah berakhir, tetapi kita masih memiliki kesempatan di dunia ini.”
Arkan mengangguk pelan. Meskipun mereka selamat, bayangan ingatan tentang Solari dan pengorbanan para prajurit masih terasa dalam hatinya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terjebak dalam kenangan masa lalu.
Saat mereka mendekati menara, gerbang besar yang terbuat dari kristal transparan terbuka dengan sendirinya. Dari dalam, sosok seorang pria berjubah putih panjang melangkah keluar. Rambutnya keperakan dan matanya bersinar seperti bintang.
“Selamat datang di Luminaris, pusat keseimbangan dimensi,” ucap pria itu dengan senyum lembut.
Arkan dan Edra saling bertukar pandang penuh kebingungan. “Siapa kau?” tanya Arkan.
Pria itu mengangkat tangan dan memberi salam hormat. “Namaku Calen, Penjaga Waktu di dimensi ini. Aku sudah menunggu kalian.”
Edra menyipitkan mata. “Menunggu kami?”
Calen mengangguk. “Setiap dimensi yang selamat memiliki sebuah titik keseimbangan, dan Batu Chronos yang kalian bawa adalah kunci untuk membuka dimensi baru. Tapi ada sesuatu yang belum kalian sadari.”
Arkan melangkah maju dengan tatapan serius. “Apa maksudmu?”
Calen tersenyum dan menoleh ke arah langit. “Kalian bukan hanya menyelamatkan dunia ini, tetapi juga menciptakan garis takdir baru. Karena itu, tugas baru menanti kalian—bukan sebagai pengelana yang tersesat, tetapi sebagai pelindung keseimbangan waktu.”
Arkan menundukkan kepala, merasakan beban keputusan itu. Sepanjang hidupnya, ia hanya ingin menemukan jalan pulang, tetapi kini ia dihadapkan pada kenyataan baru: ia adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.
Edra menatapnya dengan lembut. “Arkan, apa pun yang kau pilih, aku akan ada di sampingmu.”
Arkan menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Aku tidak tahu bagaimana caranya melindungi dimensi… tapi aku tahu satu hal.” Ia menoleh ke Calen. “Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku.”
Calen mengangguk puas. “Kalian sudah membuat pilihan yang benar.”
Arkan dan Edra mengikuti Calen memasuki menara. Di dalamnya, ruangan besar penuh cahaya berputar seperti galaksi, memperlihatkan gambaran berbagai dimensi yang berputar dalam harmoni sempurna. Di tengah ruangan, sebuah batu kristal raksasa berbentuk spiral bersinar lembut, seperti nyala lilin yang tenang.
Arkan berdiri terpesona. “Jadi… ini pusat keseimbangan waktu?”
Calen mengangguk. “Benar. Dari sinilah aliran waktu di berbagai dunia dijaga agar tetap seimbang.”
Edra memegang lengan Arkan dan berbisik, “Bayangkan, dari seorang ilmuwan yang tersesat, kau menjadi pelindung waktu.” Ia tersenyum nakal. “Kau benar-benar suka petualangan gila.”
Arkan tertawa kecil. “Aku tidak menyangka akan sejauh ini.”
Calen menoleh ke mereka dengan wajah penuh harapan. “Tugas kalian baru dimulai. Tapi ingat, waktu tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Terkadang, ia membawa keajaiban… dan terkadang, pengorbanan.”
Arkan berdiri di ujung balkon menara, memandang langit biru yang luas. Ia menarik napas panjang, merasakan kedamaian yang langka setelah perjalanan panjang penuh perjuangan.
Sambil menatap cakrawala, ia berkata pelan, “Waktu bukan musuh yang harus ditaklukkan, tapi teman yang mengajarkan kita arti kehilangan, keberanian, dan harapan. Selama kita percaya, tidak ada akhir yang terlalu gelap untuk kembali menuju cahaya.”
Edra berdiri di sampingnya dan tersenyum. “Kau benar. Dan kita akan terus melangkah maju.”
Angin lembut kembali berembus, membawa rasa damai. Mereka tahu, perjalanan ini baru saja dimulai—namun kini mereka melangkah dengan keyakinan penuh bahwa takdir mereka adalah menulis sejarah baru bagi dunia-dunia yang belum pernah mereka bayangkan.
Di kejauhan, cahaya di langit mulai membentuk jalur-jalur ke berbagai dimensi. Dan dengan satu langkah mantap, Arkan dan Edra melangkah menuju babak baru hidup mereka, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di ujung waktu dan ruang.
Tamat–
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.