Novel Singkat Stasiun Antariksa Lupa Diri
Novel Singkat Stasiun Antariksa Lupa Diri

Novel Singkat: Stasiun Antariksa Lupa Diri

Ketika Dokter Ara Satya bergabung dalam misi penelitian medis di stasiun luar angkasa Astra Prima , ia tak menyangka bahwa eksperimen revolusioner akan berubah menjadi mimpi buruk. Satu per satu kru mulai kehilangan ingatan dan identitas mereka.

Bersamaan dengan waktu yang terus berlari, Ara harus menemukan cara memulihkan ingatan kru sebelum mereka terjebak dalam ilusi tanpa jati diri. Di tengah pengorbanan besar dan rasa takut, kisah ini menjadi perjalanan tentang keberanian, harapan, dan kemanusiaan di antara bintang-bintang.

Bab 1: Misi Keberangkatan

Cahaya matahari pagi mengintip lembut melalui jendela besar ruang observasi Bandara Luar Angkasa Nasional. Di tengah hiruk-pikuk persiapan keberangkatan, seorang perempuan muda berdiri memandang langit biru yang akan segera ditinggalkannya. Dokter Ara Satya menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh pikirannya.

“Lima tahun,” bisiknya pelan. “Lima tahun jauh dari Bumi.”

Tawaran bergabung dalam penelitian medis di Stasiun Luar Angkasa Astra Prima bukanlah hal yang mudah ditolak. Ara tahu, misi ini adalah kesempatan seumur hidup—menjadi bagian dari eksperimen terapi genetika untuk menghadapi tantangan luar angkasa. Namun, meninggalkan keluarga, teman, dan rutinitas hidup di Bumi adalah keputusan yang menggetarkan hati.

Langkah-langkah berat menuju ruang pemeriksaan medis terakhir mengiringi pikirannya yang melayang. Sosok ibu dan adik perempuannya terlintas dalam benaknya. Ia teringat pelukan terakhir mereka sebelum berangkat ke pusat peluncuran.

“Jaga dirimu baik-baik, Ara,” pesan ibunya masih terngiang jelas.

Ara tersenyum samar, menguatkan diri. “Aku akan baik-baik saja.”


Ruang pemeriksaan medis penuh dengan suara instrumen yang berbunyi pelan. Seorang petugas berseragam putih menghampiri dengan senyum ramah.

“Dokter Ara Satya, semua hasil pemeriksaan Anda sempurna. Anda siap untuk keberangkatan,” kata petugas itu.

Ara mengangguk mantap. “Terima kasih. Ini perjalanan besar bagi saya.”

Di sebelah ruangan, para kru lainnya sudah menunggu: Komandan Malik, seorang pria paruh baya yang tampak tegas dengan tatapan tajam namun penuh wibawa; Ivan, insinyur teknologi dengan rambut acak-acakan dan humor sarkastiknya; Liana, ahli biologi yang dikenal cerdas tapi cenderung pendiam; dan Marcus, fisikawan ambisius dengan ketertarikan besar pada eksperimen yang berisiko tinggi.

Komandan Malik melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Selamat datang di tim Astra Prima, Dokter Ara.”

Ara menjabat tangannya dengan tegas. “Sebuah kehormatan, Komandan.”

“Harapanku sederhana,” ujar Malik dengan nada serius. “Di atas sana, kita bukan hanya kru ilmiah. Kita adalah keluarga. Jaga satu sama lain.”

Ara menangkap tatapan penuh makna Malik dan mengangguk dalam diam.

Peluncuran berjalan sesuai rencana. Raungan mesin terdengar menggema saat kapsul melesat meninggalkan Bumi. Di dalam kabin, semua kru terikat erat pada kursi mereka, merasakan hentakan keras dan tarikan gravitasi yang mendera tubuh mereka.

Ketika guncangan perlahan mereda, pemandangan spektakuler muncul di jendela: Bumi bulat sempurna, berwarna biru dan putih, terapung dalam keheningan kosmik. Ara terpesona. Sebanyak apa pun ia belajar tentang luar angkasa, momen melihat planet tempatnya dilahirkan dari kejauhan membuat hatinya seolah berhenti berdetak sejenak.

Liana, yang duduk di sebelah Ara, tersenyum tipis. “Sulit dipercaya, ya?”

Ara mengangguk. “Benar-benar seperti mimpi.”

Namun, jauh di dalam hatinya, Ara tahu: ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah awal perjalanan yang akan mengubah hidup mereka selamanya—sebuah perjalanan menuju ketidakpastian yang belum pernah mereka bayangkan.

Dan di tengah keindahan tersebut, satu pertanyaan menghantui benaknya: Apa yang harus aku korbankan demi ilmu pengetahuan?

Bab 2: Eksperimen Ambisius

Stasiun luar angkasa Astra Prima melayang tenang di orbit bumi. Bangunannya megah dan berkilauan seperti permata raksasa di lautan gelap kosmos. Di dalamnya, rutinitas mulai terbentuk. Selama satu minggu sejak tiba, Ara Satya berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa gravitasi. Meski ia sering merasa rindu lantai yang kokoh di bawah kakinya, antusiasme untuk penelitian membuatnya melupakan rasa canggung itu.

Laboratorium medis berada di sayap timur stasiun, dilengkapi peralatan canggih yang membuat Ara terpana sejak hari pertama. Terdapat ruang simulasi tubuh manusia virtual, alat pemindai molekuler, dan kapsul regenerasi jaringan. Di ruangan itu, eksperimen utama akan dilakukan.

Pagi itu, suara sistem interkom memenuhi ruangan.
“Tim penelitian medis diminta menuju lab. Persiapan eksperimen tahap satu akan dimulai.”

Ara menyesuaikan sarung tangannya dan meluncur perlahan ke laboratorium, memanfaatkan gerakan tubuhnya yang ringan di ruang tanpa gravitasi. Sesampainya di sana, Komandan Malik sudah berdiri dengan tangan bersilang, memperhatikan layar yang menampilkan data hasil simulasi terbaru.

Marcus tampak bersemangat seperti anak kecil menemukan mainan baru. Ia mendekati Ara dengan tatapan berbinar. “Ini dia, tahap pertama! Akhirnya kita bisa menguji dampak terapi genetika yang kita rancang. Bayangkan, Ara! Daya tahan tubuh manusia bisa meningkat sepuluh kali lipat!”

Ara tersenyum kecil. “Tapi kita harus tetap berhati-hati, Marcus. Ilmu pengetahuan tak hanya soal keberanian, tapi juga kehati-hatian.”

Marcus mengangkat bahu dengan santai. “Kita tidak akan membuat kemajuan tanpa risiko.”

Eksperimen dimulai.

Ara memonitor data vital dari layar utama sementara Liana menyiapkan sampel serum di dalam kapsul percobaan. Tujuan eksperimen ini adalah memodifikasi sel tubuh manusia agar lebih tahan terhadap radiasi kosmik yang mematikan. Marcus menyuntikkan dosis pertama ke sampel jaringan buatan, kemudian menunggu hasil reaksinya.

“Semua parameter terlihat stabil,” ujar Ivan dari konsol teknis. “Tidak ada tanda-tanda anomali.”

Detik demi detik berlalu. Ara mencatat data dengan cermat, memperhatikan perubahan warna dan pola sel yang diproyeksikan di layar besar. Awalnya, hasilnya tampak menjanjikan—sel menunjukkan peningkatan regenerasi signifikan tanpa tanda kerusakan.

Namun, beberapa menit kemudian, layar tiba-tiba berkedip merah. Alarm peringatan berbunyi.

“Protokol deteksi gangguan! Ada ketidakseimbangan di jaringan sel,” seru Liana.

Semua orang menatap layar dengan tegang. Sel-sel yang semula tampak sehat mulai membelah dengan cara tidak normal, seolah kehilangan kontrol. Ara memperbesar proyeksi. Garis-garis cerah yang menunjukkan aktivitas memori genetik tampak kacau—berdenyut tak beraturan seperti sirkuit yang korsleting.

Marcus menatap data tersebut dengan cemberut. “Ini tidak mungkin… Seharusnya tidak seperti ini!”

Ara merasakan jantungnya berdebar. “Mungkin ada sesuatu yang terlewat dalam formula kita.”

Setelah menghentikan proses secara manual, ruangan itu menjadi sunyi. Komandan Malik berdiri di tengah-tengah mereka, mengamati satu per satu kru yang tampak terpukul.

“Kita mundur dulu,” ucap Malik dengan nada bijak. “Ini baru tahap pertama. Kita pelajari semuanya lagi dengan lebih teliti.”

Namun, Ara tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang merayapi pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada sampel itu? Di antara rasa optimisme dan ketakutan, satu hal jelas baginya: jika kesalahan ini tidak segera ditemukan, konsekuensinya bisa jauh lebih besar daripada sekadar kegagalan penelitian.

Di luar sana, bintang-bintang terus bersinar diam, menyaksikan manusia yang bermain-main dengan hal yang mungkin terlalu besar bagi mereka. Ara hanya bisa berharap, permainan ini tidak akan menghancurkan mereka semua.

Bab 3: Insiden Pertama

Hari ke-14 di stasiun luar angkasa Astra Prima dimulai dengan ketenangan yang semu. Ara berjalan menuju ruang makan untuk sarapan bersama tim. Kabin itu dipenuhi aroma kopi instan dan roti kering yang mengambang dalam kantong plastik antigravitasi. Ivan terlihat asyik mengutak-atik perangkat tablet di mejanya, sementara Liana membaca laporan hasil percobaan semalam.

Namun, sosok Marcus terlihat berbeda pagi itu. Dia duduk di pojok dengan pandangan kosong, seolah pikirannya tersangkut di antara dimensi. Wajahnya pucat, dan ia hanya menggulung-gulung roti tanpa memakannya.

Ara menyadari keanehan tersebut. Ia menghampiri dan duduk di sebelah Marcus.
“Kau baik-baik saja?” tanya Ara lembut.

Marcus mendongak dengan ekspresi bingung. “Ara… aku harus tanya sesuatu.”

“Ya, tentu.”

Marcus terdiam sejenak sebelum berkata, “Siapa namaku?”

Ruangan itu mendadak sunyi. Liana meletakkan tablet di tangannya dan menoleh. Ivan berhenti mengetik. Semua mata tertuju pada Marcus.

Ara mengernyit, merasa dadanya seperti dihantam keras. “Marcus… apa maksudmu? Kau bercanda, kan?”

Marcus menggeleng pelan. “Aku tidak tahu… aku tidak ingat.”

Komandan Malik segera memerintahkan pemeriksaan medis darurat. Ara dan Liana membawa Marcus ke ruang medis. Alat pemindai neuro-elektrik dipasang di kepala Marcus untuk membaca aktivitas otaknya. Hasilnya mengejutkan.

“Sinyal di hippocampus-nya menurun drastis,” kata Ara sambil menunjuk grafik pada monitor. “Area memori jangka panjangnya terganggu.”

Malik menyilangkan tangan dan menatap tajam. “Apakah ini efek samping dari serum?”

Liana menggeleng. “Seharusnya tidak. Protokol pengujian sangat ketat, dan Marcus bahkan belum terpapar langsung oleh sampel.”

Ara termenung. Ada sesuatu yang janggal, namun ia belum bisa merangkai petunjuknya dengan jelas.

Hari-Hari yang Suram

Setelah insiden itu, Marcus ditempatkan di ruang observasi medis untuk pengawasan lebih lanjut. Namun, kondisinya tidak membaik. Ia mulai melupakan detail-detail kecil: prosedur penggunaan perangkat, arah menuju lab, bahkan nama-nama kru lainnya. Yang lebih mengkhawatirkan, ia mulai kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri.

“Siapa aku sebenarnya?” Marcus bergumam suatu malam ketika Ara datang memeriksanya.

Pertanyaan itu mengguncang Ara. Ia menatap Marcus dengan rasa iba yang dalam. Bagi seorang ilmuwan yang hidupnya didasarkan pada pencarian pengetahuan, kehilangan ingatan ibarat kehilangan jati diri sepenuhnya.

Beberapa hari setelahnya, gejala serupa mulai muncul pada Ivan. Ia lupa urutan prosedur pengecekan harian, sesuatu yang seharusnya sudah melekat dalam pikirannya. Awalnya, Ivan menganggap dirinya hanya lelah. Namun, Ara tahu ini lebih dari sekadar kelelahan biasa.

“Ini bukan kebetulan,” ujar Ara kepada Liana di ruang observasi. “Marcus dan Ivan mengalami gejala yang sama. Ini bisa menyebar.”

Liana menghela napas. “Tapi dari mana asalnya? Kita semua menjalani rutinitas yang sama.”

Ara menatap grafik hasil penelitian dengan dahi berkerut. “Mungkin jawabannya ada di eksperimen kita. Tapi bagaimana jika eksperimen itu bukan penyebab utamanya?”

Komandan Malik memanggil rapat darurat seluruh kru. Wajahnya terlihat letih, tetapi suaranya tetap tegas.

“Kita menghadapi situasi kritis,” katanya. “Jika ingatan kru kita terus menghilang, misi ini terancam gagal total.”

Semua duduk dalam diam. Bahkan suara ventilasi udara terdengar lebih keras di tengah keheningan tersebut.

Ara mengangkat tangan. “Kita harus hentikan sementara semua eksperimen sampai kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Marcus yang duduk di belakang menatap kosong, seolah sudah tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Pemandangan itu membuat hati Ara mencelos.

Ketegangan yang Tak Terelakkan

Namun, tak semua orang setuju. Marcus, meskipun ingatannya mulai memudar, tetap keras kepala. “Kita tidak bisa berhenti… kita sudah terlalu jauh,” katanya dengan nada rapuh.

Malik menatap Marcus dengan pandangan iba sebelum menghela napas panjang. “Kita tidak punya pilihan lain. Keselamatan kru lebih penting daripada eksperimen apa pun.”

Namun, di dalam hati Ara, ia tahu keputusan ini hanyalah awal dari krisis yang lebih besar.

Saat pertemuan berakhir, Ara berdiri sejenak di dekat jendela stasiun. Di luar sana, Bumi terlihat damai—jauh dari kekacauan yang mereka hadapi. Ara mengepalkan tangannya. Aku tidak akan menyerah. Apa pun yang terjadi, aku harus menemukan jawabannya.

Bab 4: Efek Domino

Ruangan kendali terasa dingin meski sistem pengatur suhu bekerja normal. Ara duduk di depan konsol utama, menatap layar yang menampilkan daftar aktivitas harian kru. Nama Marcus dan Ivan kini diberi tanda merah—tanda bahwa mereka sedang dalam pengawasan khusus. Namun yang membuat Ara semakin khawatir adalah bahwa Komandan Malik tampak menunjukkan tanda-tanda awal gejala yang sama.

Pagi ini, Malik mengabaikan urutan protokol sebelum inspeksi luar stasiun. Dia berjalan menuju pintu pelepas udara tanpa mengecek indikator tekanan. Jika Ivan tidak menghentikannya tepat waktu, Malik mungkin sudah terhempas ke luar angkasa.

Ara mendekati Malik dengan wajah serius. “Komandan, Anda hampir membahayakan nyawa Anda sendiri.”

Malik mengerutkan kening dan mengusap wajahnya. “Aku… tidak tahu apa yang kupikirkan tadi.”

“Ini bukan salah Anda,” ujar Ara lembut. “Tapi kita harus segera bertindak sebelum semuanya semakin memburuk.”

Rapat darurat diadakan kembali di ruang kontrol utama. Suasana rapat kali ini lebih tegang dibandingkan sebelumnya. Wajah-wajah kru terlihat lelah dan cemas.

“Kita tidak bisa tinggal diam,” Ara membuka diskusi. “Ada pola yang jelas di sini. Marcus kehilangan ingatannya lebih dulu, lalu Ivan, dan sekarang Komandan Malik mulai menunjukkan gejala serupa. Ini menyebar.”

Liana menatap layar data dengan cemas. “Tapi penyebab pastinya masih belum jelas.”

Ivan—meski ingatannya mulai kacau—menatap Ara dengan mata merah. “Kau ingin kita hentikan semua eksperimen dan tetap menunggu dalam ketidakpastian? Kita bisa kehabisan waktu!”

Ara menahan napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya. “Jika kita terus melanjutkan tanpa mengetahui penyebabnya, kita bisa kehilangan seluruh kru.”

Suasana semakin panas. Liana mencoba menengahi, namun Ivan berdiri dan meninju meja dengan marah. Suara dentuman logam membuat semua orang terdiam.

“Kita bukan tikus laboratorium yang menunggu mati!” seru Ivan.

Komandan Malik, yang biasanya tegas, kini hanya menunduk dengan tatapan kosong. Ketidakberdayaan Malik membuat semua orang tersadar: mereka sedang kehilangan pemimpin mereka.

Di tengah ketegangan tersebut, sistem komputer stasiun berbunyi. Sebuah laporan otomatis muncul di layar besar. Tulisan berwarna merah berkedip: “Anomali molekuler terdeteksi di sistem ventilasi udara.”

“Ventilasi udara?” gumam Ara sambil membaca data itu dengan seksama. “Ini bukan hanya soal serum eksperimen. Ada sesuatu yang menyebar melalui udara.”

Liana berdiri cepat. “Mungkin partikel sampel serum yang tidak sengaja menguap dan terdistribusi melalui sistem ventilasi!”

“Jika benar begitu…” Ara menatap layar dengan ngeri. “Kita semua sudah terpapar.”

Ara segera memeriksa sistem ventilasi dan menemukan fakta mengejutkan: partikel mikro dari hasil eksperimen mereka memang terserap ke dalam sistem sirkulasi udara. Partikel itu memiliki sifat yang tidak terduga—bukan hanya memodifikasi daya tahan tubuh manusia, tetapi juga menyerang area otak yang mengendalikan ingatan inti.

“Kita harus menonaktifkan sistem ventilasi sementara,” ujar Ara dengan suara tegas.

“Dan kita akan kehabisan oksigen dalam hitungan jam,” Liana memperingatkan.

“Aku tahu…” Ara menggigit bibirnya. “Tapi ini satu-satunya cara agar penyebaran partikel bisa dihentikan sementara.”

Mereka akhirnya sepakat menonaktifkan sistem ventilasi di sayap medis dan ruang tidur. Namun, risiko kekurangan udara kini menjadi ancaman baru.

Ketegangan di Tengah Kegelapan

Setelah sistem ventilasi dimatikan, stasiun menjadi lebih hening dari biasanya. Suara desisan udara yang biasa terdengar kini lenyap, digantikan oleh suara napas mereka yang pelan namun berat. Suhu perlahan naik karena tidak ada sirkulasi.

Ara kembali ke ruang observasi untuk memeriksa Marcus. Namun, saat pintu geser terbuka, tempat tidur medis Marcus kosong.

“Marcus?” Ara memanggil dengan suara serak.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan.

Tiba-tiba, suara derap langkah terdengar dari lorong sebelah. Ara bergegas mengikuti suara tersebut dan menemukan Marcus berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke luar angkasa.

Pria itu memandangi kosmos dengan mata kosong, seolah tersihir oleh keindahannya.

“Marcus, apa yang kau lakukan?” tanya Ara sambil perlahan mendekat.

Ia menoleh perlahan. Wajahnya tenang, namun matanya seperti tak mengenali siapa pun. “Kita seharusnya pulang ke rumah…” bisiknya. “Tapi aku lupa di mana rumahku.”

Jantung Ara mencelos. “Marcus, kau aman di sini. Aku akan membawamu kembali.”

Namun, Marcus melangkah mundur ke arah pintu pengaman udara. Tangannya mengarah pada tombol pembuka. Ara berlari secepat yang ia bisa, menerjang Marcus sebelum pintu itu terbuka. Keduanya jatuh berguling, dan alarm berbunyi nyaring.

“Tidak!” teriak Ara sambil menahan tubuh Marcus.

Marcus meronta dengan kekuatan yang tak biasa meski tubuhnya lemah. Air mata Ara jatuh. “Kumohon… sadarlah!”

Liana dan Ivan tiba tepat waktu untuk membantu Ara. Mereka berhasil menahan Marcus dan membawanya kembali ke ruang medis.

Setelah insiden tersebut, Ara duduk sendirian di ruang kendali. Napasnya masih tersengal. Untuk pertama kalinya sejak bergabung dalam misi ini, Ara merasakan rasa takut yang begitu nyata.

Namun, rasa takut itu berubah menjadi tekad.

“Jika aku gagal… semua kru akan hilang.”

Ara menatap data terakhir di layar. “Kita harus melawan. Bukan hanya melawan partikel itu… tapi melawan ketidakpastian dalam diri kita sendiri.”

Di luar jendela stasiun, bintang-bintang terus berkedip—dingin dan tak peduli. Ara tahu satu hal: mereka harus menemukan cara mengalahkan efek partikel sebelum semuanya terlambat.

Bab 5: Penelusuran Kegagalan

Ruangan laboratorium terasa sepi. Hanya suara dengung lemah dari monitor-monitor medis yang memecah keheningan. Ara berdiri di depan layar besar, memandangi grafik kompleks aktivitas molekuler. Di belakangnya, Liana menyiapkan hasil sampel terbaru sambil sesekali menghela napas panjang.

“Ada yang luput dari perhitungan kita,” gumam Ara. “Tapi apa?”

Liana menghampirinya dengan raut wajah muram. “Kita sudah memeriksa semua variabel. Serum, ventilasi udara, kondisi fisik kru… semuanya.”

Ara menggeleng pelan. “Belum semuanya. Ada sesuatu yang tidak tercatat.”

Ara meminta izin kepada Komandan Malik untuk mengakses rekaman penuh sistem log aktivitas sejak eksperimen pertama. Meski ingatan Malik semakin kacau, ia masih memiliki sisa kesadaran untuk menyetujui permintaan itu.

Ara dan Ivan membuka rekaman dari kamera di seluruh stasiun, menelusuri setiap detik kejadian. Kilasan video menampilkan rutinitas para kru: bekerja, makan bersama, dan menjalankan eksperimen. Namun, pada salah satu rekaman dari tiga hari sebelum gejala pertama muncul, Ara menemukan sesuatu yang aneh.

“Lihat ini,” ujarnya sambil menunjuk layar.

Video itu menampilkan Marcus tengah memindahkan sebuah tabung kecil berisi cairan hasil eksperimen ke dekat mesin penyaring udara. Tapi gerakannya tampak tergesa-gesa, seolah ia tidak sadar apa yang dilakukannya.

“Dia… tanpa sengaja memasukkan tabung ke sistem ventilasi,” bisik Ivan.

Ara menutup mulutnya, berusaha memahami apa yang dilihatnya. “Marcus mungkin sudah terkena paparan sejak awal tanpa kita sadari.”

“Jika Marcus menjadi pembawa awal partikel ini,” kata Liana sambil meneliti hasil tes Marcus, “maka seluruh stasiun sudah terpapar sejak saat itu.”

Ara mengangguk. “Dan partikel ini bukan hanya bereaksi dengan tubuh kita, tapi mungkin berubah bentuk ketika bercampur dengan molekul udara dalam jangka waktu lama.”

Ivan menghela napas. “Jadi, apa yang kita hadapi ini bukan cuma efek sampel eksperimen, tapi bentuk mutasi yang tidak pernah kita prediksi.”

Ara menatap grafik yang menunjukkan komposisi partikel. Sebuah pola asing muncul—sesuatu yang mirip dengan medan elektromagnetik kecil yang dapat mengganggu impuls saraf di otak.

“Ini menjelaskan mengapa kehilangan ingatan terjadi bertahap,” ujar Ara. “Partikel ini mengganggu memori kita sedikit demi sedikit, seperti memotong kabel-kabel ingatan secara perlahan.”

“Kita harus menghentikan penyebaran mutasi ini,” kata Ara. “Tapi jika partikel itu sudah menyebar ke seluruh sistem ventilasi utama, kita harus mematikan seluruh aliran udara ke bagian vital stasiun untuk membunuhnya.”

Ivan menatap Ara dengan mata lelah namun serius. “Kalau kita lakukan itu, kita hanya punya waktu sekitar enam jam sebelum kehabisan oksigen sepenuhnya.”

Liana menambahkan, “Dan jika kita gagal, stasiun ini akan menjadi kuburan raksasa di orbit.”

Ara menggigit bibirnya. “Aku tahu. Tapi ini satu-satunya jalan.”

Rencana itu pun disusun. Ivan akan menonaktifkan sistem utama ventilasi dan membuka jalur bypass cadangan agar partikel bisa dialirkan keluar ke ruang hampa. Namun, untuk melakukannya, seseorang harus mengaktifkan panel kontrol utama di ruang mesin—bagian stasiun yang memiliki tingkat radiasi lebih tinggi karena dekat dengan inti reaktor.

“Aku akan pergi,” kata Ivan tanpa ragu.

Ara menatapnya. “Tidak, kau tidak bisa. Ingatanmu sudah mulai terpengaruh. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil risiko itu sendirian.”

Ivan tersenyum miris. “Ara, aku tahu kau dokter yang brilian, tapi kau bukan teknisi. Panel itu rumit, dan satu kesalahan bisa menghancurkan seluruh sistem.”

“Kalau begitu, kita pergi bersama,” ujar Ara tegas.

Ivan terdiam sesaat sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita lakukan ini bersama.”

Detik-Detik Menuju Kehancuran

Waktu berjalan cepat saat mereka melangkah menuju ruang mesin. Setiap detik terasa seperti dentuman gendang perang di telinga Ara. Di luar jendela, bintang-bintang terlihat begitu damai, tapi di dalam tubuhnya, ia merasakan ketegangan yang menggila.

Ketika pintu ruang mesin terbuka, hawa panas menerjang tubuh mereka. Ivan segera menuju panel utama, sementara Ara memeriksa indikator keamanan.

“Panel sudah aktif,” teriak Ivan di tengah bunyi berdengung reaktor. “Ara, kita tinggal beberapa menit sebelum ventilasi mati total!”

Ara mempersiapkan jalur pengaliran partikel terakhir. Tapi sebelum proses selesai, suara alarm keras bergema. Peringatan bahaya darurat muncul di layar: “Gangguan energi pada inti reaktor!”

Ivan menoleh dengan mata melebar. “Kalau kita tidak selesaikan ini sekarang, seluruh stasiun bisa meledak!

Ara menggenggam kabel pengaman dengan erat. Pilihannya hanya dua: membatalkan proses dan kembali ke keadaan semula yang tidak pasti, atau melanjutkan dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan kru lainnya.

Ara menarik napas panjang dan menatap Ivan. “Kita lanjutkan.”

Ivan mengangguk dan mulai menekan tombol terakhir. Seluruh panel bergetar, dan cahaya di ruangan redup sejenak sebelum menyala kembali. Ara merasakan tubuhnya hampir limbung karena tekanan udara yang berubah drastis. Namun akhirnya, sistem ventilasi utama mati total. Partikel berbahaya mulai dikeluarkan ke luar angkasa melalui katup darurat.

Ara mendengar suara interkom dari Komandan Malik. “Ara… Ivan… kalian berhasil?”

Ara tersenyum tipis meski tubuhnya terasa sangat lemah. “Belum sepenuhnya. Tapi… kita selangkah lebih dekat.”

Di ruang mesin yang penuh dentuman suara reaktor, Ara menyadari satu hal: kemenangan ini hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar.

Bab 6: Di Ambang Kekacauan

Seluruh stasiun luar angkasa Astra Prima berada dalam keheningan yang mencekam setelah sistem ventilasi dimatikan. Udara terasa semakin tipis, dan setiap tarikan napas menjadi pengingat betapa rapuhnya hidup mereka di tengah kekosongan luar angkasa.

Ara duduk di ruang kendali bersama Ivan, yang kelelahan setelah usaha mereka di ruang mesin. Monitor utama menampilkan indikator hijau yang menandakan bahwa partikel berbahaya berhasil dikeluarkan dari stasiun. Namun, belum ada waktu untuk merayakan keberhasilan kecil itu.

Komandan Malik terdengar di interkom dengan suara serak. “Ara… Ivan… kita dalam masalah besar.”

Ara berlari menuju ruang medis, jantungnya berdegup kencang. Begitu pintu otomatis terbuka, pemandangan di dalam membuat tubuhnya menegang. Marcus tergeletak di tempat tidur dengan wajah pucat. Dia tidak bergerak sama sekali.

Liana berdiri di sampingnya dengan mata yang penuh kecemasan. “Dia pingsan. Denyut nadinya lemah.”

Ara segera memeriksa tanda-tanda vital Marcus. “Sistem sarafnya terganggu. Ini dampak langsung dari paparan partikel yang terlalu lama.”

Ivan muncul dengan wajah cemas. “Berapa lama dia bisa bertahan?”

Ara menggertakkan giginya. “Tidak lama kalau kita tidak menemukan cara untuk memulihkan fungsi memorinya.”

Liana meletakkan tangannya di bahu Ara. “Ara, jika kondisi ini terus berlanjut, kita semua mungkin akan mengalami hal yang sama.”

Ara mengangguk dengan tatapan penuh tekad. “Kita harus mencari sumber yang bisa mengembalikan keseimbangan fungsi otak. Ini bukan hanya soal memurnikan udara, tapi soal menyelamatkan kesadaran kita sendiri.”

Retakan di Dalam Tim

Krisis tidak hanya melanda kondisi fisik para kru. Ketegangan mulai menyebar seperti virus yang tak terlihat. Malik yang biasanya penuh wibawa mulai berbicara sendiri di lorong-lorong, sementara Ivan yang sudah mulai kehilangan detail kecil dalam ingatannya menjadi lebih mudah marah.

“Kita semua perlahan-lahan akan berakhir seperti Marcus,” ujar Ivan sambil melemparkan sarung tangan teknisinya ke lantai. “Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan? Kita bahkan tidak tahu kapan ingatan terakhir kita akan hilang!”

Ara memandangnya dengan penuh simpati. “Aku tahu kau takut, Ivan. Aku juga takut. Tapi menyerah tidak akan menyelesaikan apa pun.”

Ivan menggeleng frustrasi. “Kita bermain-main dengan sesuatu yang tidak kita pahami sepenuhnya, Ara. Kau tahu itu!”

Liana berusaha menenangkan mereka. “Sudah cukup! Kita harus tetap bersatu. Ara sedang mencari solusi. Kalau kita pecah, kita sudah kalah.”

Suasana kembali hening. Rasa putus asa memang terasa membayang di setiap sudut stasiun, tetapi Ara tahu bahwa harapan terakhir mereka adalah tetap saling percaya.

Saat malam buatan tiba, Ara kembali ke laboratorium untuk memeriksa data terbaru dari sampel jaringan Marcus. Saat ia memperbesar gambar proyeksi neuron yang terganggu, ia melihat sesuatu yang mencengangkan.

“Ini… tidak mungkin,” gumamnya.

Liana yang berdiri di sebelahnya menatap layar. “Apa maksudmu?”

Ara menunjuk pola tak biasa pada proyeksi tersebut. “Partikel ini memiliki kemampuan beradaptasi dan berkembang. Tapi lihat ini… ada reaksi balik ketika kita mengisolasi medan elektromagnetik tertentu.”

Liana tertegun. “Maksudmu, medan listrik rendah bisa mengembalikan aktivitas otak yang terganggu?”

Ara mengangguk. “Ya. Mungkin ini kunci untuk memulihkan ingatan kru.”

Percobaan Berbahaya

Tanpa membuang waktu, Ara dan Liana menyiapkan alat pemancar medan elektromagnetik rendah di ruang medis. Tubuh Marcus terbaring lemah di tempat tidur, napasnya terdengar pelan. Malik dan Ivan berdiri di samping, memperhatikan dengan cemas.

Ara menarik napas dalam. “Jika ini berhasil, ingatan Marcus mungkin mulai pulih. Tapi kalau gagal…”

Ivan menyelesaikan kalimat itu dengan nada dingin. “Dia mungkin tidak akan bangun lagi.”

Ara menatap Ivan tajam. “Kita tidak punya pilihan lain.”

Dengan penuh keyakinan, Ara mengaktifkan pemancar. Suara dengung halus terdengar, dan layar monitor memperlihatkan gelombang frekuensi stabil yang mulai merangsang aktivitas saraf Marcus.

Beberapa detik berlalu seperti sebuah keabadian. Tidak ada perubahan. Semua menahan napas.

Tiba-tiba, Marcus membuka matanya dan menghela napas panjang. Wajahnya tampak bingung, tetapi matanya kembali hidup.

“Aku… di mana ini?” bisiknya.

Ara tersenyum lega, air matanya menetes. “Kau di sini, Marcus. Kau aman.”

Liana menutup mulutnya, menahan haru. Ivan mengusap wajahnya dan tersenyum samar. “Kau benar-benar gila, Ara. Tapi kau berhasil.”

Dengan keberhasilan ini, Ara dan tim mulai menyusun strategi untuk memulihkan ingatan kru lainnya menggunakan medan elektromagnetik yang sama. Meski risiko masih tinggi, mereka kembali memiliki harapan.

Namun, di sudut pikirannya, Ara tahu bahwa satu pertanyaan besar masih belum terjawab: bagaimana partikel itu bisa bermutasi dengan begitu cepat?

Di tengah persiapan mereka, sebuah peringatan tiba-tiba muncul di layar utama: Anomali baru terdeteksi di sektor energi inti.”

Ara merasakan bulu kuduknya berdiri. Masalah ini belum selesai. Mereka baru saja menyentuh permukaan dari sebuah misteri yang jauh lebih dalam.

Dan kini, mereka harus bertarung melawan musuh yang lebih dari sekadar partikel biologis—mungkin musuh yang tidak pernah mereka duga.

Bab 7: Mencari Solusi

Alarm darurat berkedip merah di seluruh penjuru stasiun. Peringatan itu menggaung di ruang kendali: Anomali di sektor energi inti. Bahaya kebocoran reaktor.”

Ara dan Ivan saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka tahu betul apa arti pesan itu—jika reaktor utama terganggu, seluruh stasiun Astra Prima bisa berubah menjadi puing di orbit.

Komandan Malik muncul di pintu ruang kendali dengan langkah tergesa-gesa, meskipun wajahnya masih menunjukkan tanda-tanda kebingungan. “Apa yang terjadi?”

“Anomali energi di reaktor inti,” ujar Ivan sambil menekan tombol untuk memeriksa sistem kontrol. “Medan elektromagnetik dari eksperimen kita mungkin mempengaruhi stabilitas inti.”

Ara merasa darahnya mengalir dingin. “Jika reaktor bocor… kita tidak akan punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri.”

Pertarungan Melawan Waktu

Tim segera menuju ruang mesin untuk memeriksa langsung kondisi reaktor. Pintu pengaman berat terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan besar yang penuh dengan pipa-pipa logam berkilauan. Di tengah ruangan, inti reaktor bersinar dengan cahaya biru menyilaukan yang tampak tidak stabil.

Ivan mengakses panel kontrol darurat. “Sistem pendingin rusak. Kita harus menurunkan suhu inti sebelum mencapai titik kritis.”

“Ada cara manual?” tanya Malik dengan nada tegas.

Ivan mengangguk. “Ada, tapi seseorang harus masuk ke dalam ruang kontrol manual reaktor untuk mengatur katup pelepas tekanan.”

Ruangan itu mendadak sunyi. Semua tahu risiko dari tindakan tersebut. Radiasi di dalam ruang kontrol bisa membunuh siapa pun yang masuk terlalu lama.

“Aku yang masuk,” kata Ivan tanpa ragu.

Ara menggeleng kuat. “Tidak! Kau baru saja mulai pulih dari gejala kehilangan ingatan. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini sendirian.”

Ivan menatapnya dengan pandangan penuh tekad. “Ara, kau butuh seseorang yang tahu seluk-beluk panel kontrol itu. Kau mungkin bisa mendiagnosis kerusakan, tapi aku satu-satunya yang tahu bagaimana cara memperbaikinya.”

Malik meletakkan tangan di bahu Ivan. “Aku tidak akan memaksamu, tapi jika kau yakin… pastikan kau kembali hidup-hidup.”

Ivan tersenyum samar. “Kalau begitu, doakan saja aku bisa bertahan.”

Ivan mengenakan pakaian pelindung khusus yang mampu menahan paparan radiasi untuk waktu terbatas. Ara dan Liana memantau dari balik kaca pengaman, sementara Malik mempersiapkan prosedur evakuasi jika situasi menjadi lebih buruk.

Ivan masuk ke dalam ruang kontrol reaktor, disambut oleh suara dengung keras dan suhu yang semakin tinggi. Peluh membasahi wajahnya meskipun ia mengenakan helm pelindung.

Ara memantau layar yang menunjukkan kondisi tubuh Ivan. Denyut jantungnya meningkat drastis.

“Ivan, kau harus cepat,” ujar Ara melalui radio komunikasi. “Suhu inti terus naik.”

Ivan membuka panel dan mulai memutar katup pelepas tekanan secara manual. Bunyi dentuman logam terdengar ketika katup perlahan terbuka, melepaskan panas yang terperangkap. Namun tiba-tiba, suara retakan terdengar dari salah satu pipa utama.

“Ivan! Ada kebocoran!” seru Ara dengan panik.

Ivan melihat percikan energi keluar dari pipa yang rusak. “Aku harus menutup katup tambahan untuk mencegah ledakan!”

Ara menggertakkan giginya. “Waktu perlindunganmu tinggal satu menit!”

Ivan menyelesaikan pemutaran katup terakhir. Seketika, layar indikator menunjukkan bahwa suhu inti mulai menurun. Namun, suara alarm tambahan terdengar keras: Radiasi meningkat. Bahaya paparan fatal.”

“Ivan, keluar sekarang!” teriak Ara dengan suara gemetar.

Ivan berlari ke arah pintu, tetapi tubuhnya mulai melemah. Radiasi telah merusak sistem sarafnya. Saat ia hampir mencapai pintu keluar, ia terjatuh

Wanita itu berlari masuk meskipun Liana mencoba menahannya. “Ara, jangan!”

Dia menembus pintu pengaman dan meraih tubuh Ivan. Dengan sekuat tenaga, ia menyeret Ivan keluar dari ruang kontrol sebelum pintu pengaman tertutup rapat.

Detik-Detik Kritis

Ivan terbaring lemah di lantai. Helm pelindungnya penuh retakan, dan wajahnya tampak pucat. Napasnya pendek dan terputus-putus.

“Aku… berhasil, kan?” bisik Ivan dengan suara pelan.

Ara menggenggam tangannya erat, menahan air mata. “Ya, kau berhasil.”

Ivan tersenyum lemah sebelum matanya perlahan terpejam.

“Tidak… Ivan, bertahanlah!” Ara berusaha mengguncang tubuhnya, tetapi Liana menariknya mundur dengan lembut.

Komandan Malik berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Semua menyadari bahwa mereka baru saja kehilangan seseorang yang paling berani di antara mereka.

Meskipun kehilangan Ivan meninggalkan luka yang dalam, keberhasilannya menyelamatkan stasiun dari kehancuran membuat Ara dan tim merasa harus terus maju. Mereka masih memiliki tugas penting: menghentikan efek mutasi yang membuat mereka kehilangan ingatan.

Ara berdiri di depan panel kontrol dan menatap rekaman data Ivan yang terakhir. Dengan suara pelan namun penuh tekad, ia berkata, “Kita tidak akan membiarkan pengorbanannya sia-sia. Kita akan selesaikan ini.”

Di luar sana, stasiun luar angkasa kembali tenang, terapung di antara bintang-bintang. Namun, bagi Ara dan timnya, badai masih belum benar-benar berlalu.

Bab 8: Pengorbanan Besar

Stasiun luar angkasa Astra Prima kembali hening setelah kejadian di ruang kontrol reaktor. Namun, keheningan itu tidak membawa ketenangan. Kematian Ivan masih membekas di benak semua kru. Ara duduk di ruang observasi, memandang kosong ke luar jendela besar. Bumi terlihat begitu damai dari kejauhan, kontras dengan kekacauan yang mereka alami.

Liana menghampiri Ara dan duduk di sebelahnya. “Ara, aku tahu ini berat… tapi Ivan menyelamatkan kita semua.”

Ara menoleh dengan mata yang memerah. “Dia seharusnya tidak pergi seperti itu. Dia adalah satu-satunya yang bisa memperbaiki sistem dengan sempurna.”

Liana meremas tangan Ara. “Dan karena dia, kita masih punya waktu untuk menyelesaikan misi ini.”

Ara berdiri dan menghela napas dalam. “Kita tahu medan elektromagnetik rendah bisa memulihkan memori kru, tapi itu hanya solusi sementara, butuh cara untuk menghapus partikel ini secara permanen.”

Liana mengangguk. “Apa kau punya ide?”

Ara memandangi peta sistem stasiun di layar monitor. Matanya terpaku pada reaktor cadangan yang terletak di sayap barat. “Jika kita bisa menghasilkan gelombang elektromagnetik skala besar menggunakan reaktor cadangan, kita bisa menciptakan ‘pembersihan total’ di seluruh stasiun.”

Malik yang baru masuk ke ruangan mendengar percakapan itu dan langsung menatap tajam. “Gelombang sebesar itu akan mematikan seluruh sistem energi stasiun untuk sementara. Kita akan kehilangan gravitasi buatan, suplai oksigen, dan komunikasi.”

Ara menegakkan tubuhnya. “Aku tahu. Tapi hanya itu cara untuk menghentikan penyebaran partikel sebelum semua kru kehilangan jati diri mereka selamanya.”

Malik terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baik. Kita lakukan ini. Tapi semua kru harus tahu risiko yang akan mereka hadapi.”

Mempersiapkan Pembersihan

Seluruh kru dikumpulkan di ruang briefing. Ara berdiri di depan layar proyeksi, menjelaskan rencana mereka. Wajah-wajah lelah para kru terlihat semakin tegang saat Ara memaparkan risiko-risiko besar yang akan mereka hadapi.

“Selama lima menit, seluruh stasiun akan dalam kondisi mati total. Tidak ada gravitasi, tidak ada sirkulasi udara aktif. Kita harus bertahan menggunakan cadangan oksigen darurat,” jelas Ara.

Seorang kru muda bernama Caleb mengangkat tangan dengan ragu. “Dan jika sistem gagal menyala kembali?”

Ara terdiam sejenak sebelum menjawab dengan jujur. “Kalau itu terjadi… kita semua akan terperangkap di sini.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Namun, tidak ada yang mengundurkan diri. Mereka tahu bahwa inilah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan diri.

Ara, Liana, dan Malik menuju ruang reaktor cadangan. Panel kontrol menyala dengan deretan kode yang berkedip. Malik menyesuaikan frekuensi gelombang, sementara Liana memastikan suplai energi terkendali. Ara berdiri di konsol utama, bersiap memulai hitungan mundur.

“Siap, Komandan?” tanya Ara sambil memandang Malik.

Malik mengangguk dengan tegas. “Siap.”

Ara menekan tombol aktivasi. Suara dengung rendah memenuhi ruangan sebelum akhirnya seluruh lampu dan mesin mati. Gravitasi buatan menghilang, membuat tubuh mereka melayang perlahan di udara.

Liana berusaha mengendalikan napasnya sambil meraih pegangan di dinding. “Kita punya lima menit.

Dalam kegelapan, hanya detak jantung dan suara napas mereka yang terdengar. Ara berusaha menenangkan pikirannya, mengingat bahwa semua bergantung pada keberhasilan pembersihan ini.

Sementara itu, di ruang medis, Marcus terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling dengan mata bingung namun sadar. Perlahan-lahan, ingatannya mulai kembali. “Ara… Liana… Komandan Malik…”

Marcus merasakan gravitasi hilang dan menyadari ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Dengan tubuhnya yang masih lemah, ia meluncur menuju ruang kendali untuk melihat keadaan kru lainnya.

Di ruang reaktor, suara dentuman keras tiba-tiba terdengar dari salah satu pipa cadangan. Malik memeriksa dan mendapati ada kebocoran kecil pada katup tekanan.

“Liana, kau harus menutup katup manual!” seru Malik.

Liana mengangguk dan melayang menuju panel samping. Namun, tekanan udara yang melemah membuatnya kesulitan. Tubuhnya terayun, dan pegangannya hampir terlepas. Ara bergerak cepat, meraih tangan Liana sebelum ia melayang terlalu jauh.

“Pegangan erat!” teriak Ara.

Dengan susah payah, Liana berhasil memutar katup dan menutup kebocoran. Waktu terus berjalan—hanya tersisa beberapa detik sebelum sistem diaktifkan kembali.

Ara menekan tombol reaktivasi sistem. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Lampu di ruangan perlahan menyala kembali. Suara mesin sirkulasi udara kembali berdesis pelan. Gravitasi buatan mulai aktif, membuat tubuh mereka kembali menjejak lantai.

Semua orang terdiam sejenak, memastikan bahwa mereka benar-benar selamat. Ara melihat layar indikator dan menarik napas lega. “Partikel berhasil dinetralkan. Stasiun aman.”

Malik duduk bersandar di dinding dengan napas berat. “Kau berhasil, Ara…”

Liana tersenyum meski tubuhnya gemetar karena lelah. “Kita berhasil.”

Beberapa saat kemudian, semua kru yang sempat terpengaruh mulai pulih secara perlahan. Marcus menghampiri Ara dengan senyum lemah namun penuh rasa terima kasih. “Kau menyelamatkan kami semua.”

Ara menepuk bahu Marcus. “Ini bukan hanya aku. Semua orang berjuang untuk bertahan.”

Komandan Malik berdiri di tengah ruangan dan menatap semua kru. “Hari ini, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa kita. Kita menyelamatkan kepercayaan kita satu sama lain. Ivan mungkin sudah pergi, tapi keberanian dan pengorbanannya akan selalu bersama kita.”

Seluruh kru mengangguk dengan penuh rasa hormat.

Meski bahaya telah berlalu, Ara tahu perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus melaporkan kejadian ini ke Bumi dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang lagi.

Ara menatap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan luar angkasa. “Ini baru permulaan… tapi kali ini, aku tahu bahwa kita tidak akan lupa siapa diri kita.”

Bab 9: Mengembalikan Kesadaran

Suasana di stasiun luar angkasa Astra Prima perlahan mulai stabil setelah gelombang elektromagnetik membersihkan seluruh partikel berbahaya. Udara kembali segar, dan sistem gravitasi buatan bekerja normal. Namun, trauma masih menyelimuti kru. Mereka mungkin selamat, tetapi bayang-bayang kehilangan Ivan dan kejadian yang menghapus jati diri mereka masih membekas.

Ara berdiri di ruang observasi, memandangi Bumi yang tampak kecil di kejauhan. Marcus menghampirinya dengan langkah pelan. Meski tubuhnya masih lemah, ingatannya kini utuh.

“Luar biasa… rasanya seperti lahir kembali,” ujar Marcus dengan suara serak.

Ara menoleh dan tersenyum kecil. “Aku lega kau kembali, Marcus.”

Marcus menatap Ara dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku membuat semuanya kacau. Jika saja aku lebih berhati-hati, Ivan mungkin masih hidup.”

Ara meletakkan tangannya di bahu Marcus. “Bukan salahmu. Kita semua terjebak dalam hal yang tidak kita pahami. Tapi Ivan memilih berkorban karena dia percaya pada kita.”

Marcus terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kau benar. Ivan mengajari kita arti keberanian.”

Komandan Malik memimpin pertemuan terakhir kru sebelum mereka bersiap kembali ke Bumi. Wajahnya sudah tidak seburuk beberapa hari sebelumnya—kepercayaan dirinya kembali.

“Kita telah melalui ujian terberat dalam sejarah misi luar angkasa,” ujar Malik tegas. “Tetapi misi ini belum selesai. Kita harus membawa pulang semua data agar kejadian ini tidak terulang lagi.”

Ara berdiri dan menambahkan, “Eksperimen ini bukan tentang kegagalan. Ini tentang belajar dari kesalahan. Ilmu pengetahuan hanya maju karena kita berani memperbaiki apa yang salah.”

Seluruh kru mengangguk dengan penuh semangat. Liana mulai menyiapkan semua hasil penelitian dan dokumentasi. Setiap data penting diunggah ke server pusat agar misi ini tercatat dalam sejarah ilmiah.

Persiapan untuk pulang ke Bumi dimulai. Sistem peluncuran kapsul re-entry diperiksa dengan teliti. Meski ada rasa lega karena misi mereka hampir usai, Ara merasakan campuran emosi—senang sekaligus sedih.

Di dalam kapsul, Liana duduk di sebelahnya dan tersenyum. “Kita akan pulang. Rasanya seperti mimpi, ya?”

Ara mengangguk. “Iya, tapi mimpi buruk yang akhirnya kita kalahkan.”

Sementara itu, Malik memeriksa kondisi ruang kendali utama untuk terakhir kalinya. Ia menyentuh dinding stasiun dengan lembut, seolah berpamitan.

“Stasiun ini menyimpan begitu banyak cerita,” gumamnya.

Peluncuran kapsul berjalan mulus. Mereka meluncur meninggalkan stasiun dan masuk ke orbit perjalanan menuju atmosfer Bumi. Bumi semakin mendekat di jendela kapsul, biru dan hijau seperti permata yang berkilau.

Ara memejamkan mata sejenak, merasakan gravitasi mulai kembali menarik tubuhnya. Dalam pikirannya, wajah Ivan terlintas, tersenyum seperti biasanya.

“Terima kasih, Ivan…” bisiknya pelan.

Marcus, yang duduk di sebelahnya, menoleh. “Apa kau bilang sesuatu?”

Ara membuka matanya dan tersenyum samar. “Tidak. Aku hanya merasa bersyukur.”

Pendaratan dan Kehidupan Baru

Kapsul mereka mendarat mulus di tengah lautan, diikuti oleh tim penyelamat yang sudah menunggu. Satu per satu kru dikeluarkan dari kapsul dengan penuh kehati-hatian. Ketika kaki Ara menyentuh platform penyelamatan, ia menghirup udara Bumi dengan dalam—udara yang terasa lebih hidup daripada sebelumnya.

Para ilmuwan di Bumi menyambut mereka dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Namun, Ara tahu bahwa perjalanan mereka bukanlah sesuatu yang bisa dirayakan dengan ringan.

Setelah pemeriksaan medis selesai, Ara dipanggil ke ruang briefing khusus oleh Direktur Misi Penelitian Luar Angkasa. Seorang pria paruh baya dengan jas putih berdiri di depan layar penuh data.

“Dokter Ara, kalian telah melewati sesuatu yang luar biasa,” ucapnya penuh kekaguman.

Ara mengangguk. “Kami berhasil selamat, tetapi kami juga kehilangan seseorang yang sangat berarti.”

Direktur itu terdiam sejenak sebelum berkata, “Data yang kalian bawa bisa mengubah banyak hal. Kami akan memastikan pengorbanan itu tidak sia-sia.”

Setelah kembali ke Bumi, Ara memutuskan mengambil cuti panjang untuk memulihkan diri. Ia menghabiskan waktu bersama keluarganya, tetapi pikiran tentang luar angkasa dan misi mereka selalu menghantuinya.

Suatu sore, ia duduk di taman bersama adiknya. “Kau akan kembali ke luar angkasa?” tanya adiknya dengan cemas.

Ara tersenyum samar. “Mungkin. Tapi kali ini aku tahu satu hal: aku akan lebih siap. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan… dan menemukan diri sendiri kembali.”

Di langit, bintang-bintang mulai bermunculan. Ara menatap mereka dengan pandangan penuh keyakinan. Misi Astra Prima mungkin sudah berakhir, tetapi cerita tentang keberanian, pengorbanan, dan harapan akan terus hidup di antara bintang-bintang.

Bab 10: Kembali ke Bumi

Langit biru terlihat cerah, dengan awan putih yang bergerak perlahan seolah menyambut mereka pulang. Ara berdiri di tepi dermaga setelah proses kepulangan resmi mereka selesai. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang menenangkan. Di sekelilingnya, kru Astra Prima tampak berbincang santai, menikmati momen pertama mereka di Bumi setelah berbulan-bulan hidup dalam kehampaan antariksa.

Komandan Malik menghampiri dengan senyum tipis. Meski usianya sudah tak muda, wajahnya memancarkan keteguhan yang tak pernah pudar. “Rasanya aneh, ya? Merasakan tanah di bawah kaki lagi.”

Ara tersenyum dan mengangguk. “Aneh, tapi menenangkan. Seperti dipeluk dunia yang sudah lama hilang.”

Kisah yang Tak Terlupakan

Para jurnalis dan peneliti mulai berdatangan untuk mendokumentasikan misi mereka. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi di stasiun Astra Prima—perjuangan melawan kehilangan ingatan, partikel mematikan, hingga pengorbanan Ivan.

Namun, Ara tahu satu hal: ini bukan hanya cerita tentang tragedi, tetapi juga tentang kebangkitan dan keteguhan hati.

Seorang jurnalis muda mengangkat mikrofon ke arahnya. “Dokter Ara, apa pelajaran terpenting yang Anda dapatkan dari misi ini?”

Ara tersenyum hangat. Ia menatap mata jurnalis itu sebelum menjawab dengan suara lembut tapi penuh keyakinan.

“Pelajaran terpenting? Bahwa di tengah keterasingan dan keputusasaan, kita akan selalu menemukan kekuatan untuk bertahan—bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita manusia. Kita mungkin jatuh, kita mungkin lupa siapa diri kita, tapi selalu ada harapan untuk bangkit.”

Semua yang mendengarnya terdiam sejenak sebelum memberikan tepuk tangan panjang. Ara menunduk sedikit, menghargai perhatian mereka, tetapi ia tahu bahwa yang terpenting bukanlah tepuk tangan, melainkan rasa syukur karena mereka berhasil kembali.

Setelah sesi wawancara selesai, Ara berjalan menuju pelabuhan di mana keluarganya menunggu. Begitu ia melihat wajah ibunya, air matanya langsung mengalir. Ia berlari dan memeluk ibunya erat-erat.

“Maaf membuat Ibu khawatir,” bisiknya dengan suara bergetar.

Ibunya membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kau selamat, Nak.”

Adiknya, Nara, berdiri di sebelah mereka dan tertawa kecil. “Kau benar-benar seperti tokoh utama di film luar angkasa, Kak!”

Ara terkekeh sambil mengusap air matanya. “Tokoh utama yang terluka, tapi tidak kalah.”

Nara memeluk Ara dengan senyum lebar. “Aku bangga padamu.”

Malam harinya, Ara duduk di taman rumahnya sambil menatap bintang-bintang. Langit malam tampak begitu indah, penuh dengan titik-titik cahaya yang mengingatkannya pada hari-hari di stasiun luar angkasa.

Marcus tiba-tiba muncul membawa dua cangkir teh. “Kupikir kau butuh teman minum teh malam ini.”

Ara tersenyum lebar. “Kau benar.”

Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan malam berbicara. Marcus menghela napas dalam. “Aku tidak pernah berpikir bisa kembali ke sini dan duduk santai begini. Rasanya seperti mimpi.”

Ara menyesap tehnya sebelum berkata, “Bukan mimpi, Marcus. Ini kenyataan yang kita perjuangkan mati-matian. Dan aku percaya, kita bisa pulang karena kita tidak menyerah. Ivan… dia memberi kita kesempatan kedua.”

Marcus mengangguk dengan tatapan penuh rasa terima kasih. “Kau benar. Kita ada di sini karena pengorbanannya.”

Ara tersenyum hangat. “Jadi, mari kita nikmati hidup ini. Kita telah berjalan jauh melewati rasa takut dan kesedihan. Sekarang, saatnya menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.”

Marcus menoleh dan tersenyum. “Ara… kau selalu tahu cara membuat hati seseorang lebih tenang.”

Ara tertawa kecil. “Itulah keahlianku sebagai dokter, Marcus.”

Beberapa bulan setelah kepulangan mereka, stasiun Astra Prima dinyatakan aman dan ditutup untuk sementara waktu. Ara kembali ke dunia medis, namun namanya dikenang sebagai sosok yang tidak hanya menyelamatkan kru, tetapi juga membawa harapan bagi masa depan eksplorasi luar angkasa.

Dalam salah satu wawancara terakhirnya sebelum kembali bertugas, Ara menyampaikan kalimat yang kemudian menjadi simbol keberanian dan kemanusiaan:

“Di tengah keterasingan, kita bisa kehilangan ingatan, tapi jangan pernah kehilangan harapan. Karena ingatan bisa kembali… dan harapan akan selalu menjadi cahaya di kegelapan.”

Misi mereka di luar angkasa berakhir, tetapi kisah mereka akan terus hidup. Dan di antara bintang-bintang, keberanian mereka akan selalu bersinar terang.

– Tamat

Bagaimana novel singkat fiksi ilmiah di atas? jika kamu suka silahkan share atau memberikan komentar. Silahkan baca novel singkat lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *