novel singkat jejak cinta di lintasan waktu
novel singkat jejak cinta di lintasan waktu

Novel Singkat: Jejak Cinta di Lintasan Waktu

Noah, seorang fisikawan, tak sengaja menciptakan celah waktu yang membawanya ke abad ke-18, di mana ia bertemu dengan Eleanor, seorang wanita bangsawan yang cerdas. Terlepas dari perbedaan era, mereka saling jatuh cinta, tetapi perubahan kecil yang dibuat Noah di masa lalu menciptakan bencana besar di masa depan.

Kini, ia harus memilih antara cintanya pada Eleanor atau mengembalikan garis waktu yang benar. Ikuti kisah lengkapnya sekarang.

Bab 1: Perjalanan Tak Terduga

Noah duduk di depan monitor besar di laboratorium yang penuh kabel dan peralatan aneh. Rambutnya yang sedikit berantakan dan lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti betapa kerasnya ia bekerja selama beberapa bulan terakhir. Ia sedang memeriksa pengaturan terakhir pada sebuah mesin yang ia sebut “Penstabil Kuantum.” Nama yang keren, meski sejujurnya, ia sendiri belum yakin apa yang akan dilakukan mesin itu.

“Kalau ini berhasil, aku bakal jadi legenda,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada asisten AI yang biasa menemaninya di laboratorium.

Ia menekan tombol merah besar di konsol. Mesin itu menyala dengan dengungan rendah, lalu tiba-tiba suara itu berubah menjadi getaran yang merambat hingga lantai. Cahaya biru menyilaukan memenuhi ruangan. Noah tertegun, dan sebelum sempat mematikan mesin, segalanya menjadi gelap.

Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya tergeletak di tanah berumput. Matahari bersinar terik, dan suara burung berkicau memenuhi udara. Tidak ada tanda-tanda laboratorium atau mesinnya. Ia duduk perlahan, mengusap kepala yang terasa berat.

“Apa yang barusan terjadi? Ini mimpi, kan?” gumamnya.

Noah melihat sekeliling. Bukit hijau membentang sejauh mata memandang, dengan jalan tanah yang berkelok-kelok di tengahnya. Di kejauhan, terlihat sebuah kota kecil dengan rumah-rumah beratap jerami. Sesuatu terasa aneh. Tidak ada tiang listrik, tidak ada suara mobil, bahkan sinyal ponselnya mati total.

Ia mencoba berpikir jernih. Mungkin ledakan mesin itu membuatnya pingsan, dan ini semacam simulasi aneh yang diciptakan oleh otaknya. Tapi bau rumput, angin yang menyapu wajahnya, dan terik matahari terlalu nyata untuk disebut ilusi.

Ketika ia sedang mencoba mencari jalan keluar, seorang pria berjaket kulit datang mendekat, menaiki kuda besar. Pria itu berhenti tepat di depannya, menatap Noah dari atas ke bawah dengan alis terangkat.

“Kau siapa, dan kenapa berpakaian seperti badut?” tanya pria itu dengan nada curiga, matanya melirik jaket laboratorium Noah yang penuh noda minyak.

Noah menatap pria itu dengan bingung. Badut? Dia bahkan belum pernah memakai pakaian yang lebih profesional dari ini. “Err… aku Noah. Dan aku… tersesat,” jawabnya.

Pria itu mengerutkan dahi. “Tersesat? Di mana kudamu? Apa kau jalan kaki dari kota?”

Noah semakin bingung. “Kuda? Maksudmu… kendaraan?”

Pria itu tertawa pendek, tetapi wajahnya masih menunjukkan kecurigaan. “Kau pasti orang aneh dari desa sebelah. Kalau kau tidak ingin masalah, lebih baik segera pergi ke kota dan cari penginapan. Jalan ini tidak aman bagi pejalan kaki.”

Noah tidak sempat membalas. Pria itu menarik tali kudanya dan melanjutkan perjalanan, meninggalkan Noah yang berdiri terpaku. Ia mulai merasakan kengerian merayap di punggungnya.

“Ini bukan simulasi,” katanya lirih, “Aku benar-benar di tempat lain. Atau mungkin… di waktu lain.”

Langkah kakinya perlahan bergerak menuju kota kecil itu. Hatinya berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di sana, tetapi satu hal pasti: ini bukan lagi dunia yang ia kenal.

Bab 2: Pertemuan dengan Eleanor

Noah memasuki kota kecil itu dengan langkah ragu. Jalanan tanah yang ia lewati dipenuhi orang-orang dengan pakaian yang terlihat seperti kostum dari film sejarah. Para pria mengenakan mantel panjang dengan kancing-kancing besar, sementara para wanita mengenakan gaun-gaun lebar yang tampak sulit untuk bergerak. Ia merasa seperti alien di tengah pasar yang ramai.

Orang-orang menatapnya dengan tatapan penasaran, bahkan beberapa anak kecil menunjuk-nunjuk jaket laboratorium dan celana jinsnya. Noah hanya bisa tersenyum canggung sambil terus melangkah. Perutnya mulai keroncongan, tetapi ia tidak punya uang—atau apapun yang mungkin dianggap berharga di sini.

Ia berhenti di sebuah kedai kecil dengan tanda bergambar piala. Harum sup yang menguar dari dalam membuatnya ingin menyerbu masuk, tetapi sebelum ia sempat melangkah, seorang wanita keluar dari kedai itu. Gaunnya berwarna biru tua dengan renda putih, rambutnya disanggul rapi, dan ia membawa sebuah buku tebal di tangannya.

Wanita itu berhenti, menatap Noah dengan mata yang menyipit. “Kau tidak berasal dari sini, ya?” tanyanya dengan nada santai, tetapi penuh rasa ingin tahu.

Noah terpana beberapa detik. Wanita itu memiliki aura yang berbeda dari orang-orang lain yang ia temui. Tatapannya tajam, seperti seseorang yang gemar berpikir, tetapi senyumnya lembut. “Umm… ya, kau bisa bilang begitu,” jawab Noah, mencoba terlihat santai meski jelas-jelas kebingungan.

Wanita itu menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, lalu melipat tangannya. “Pakaianmu… sangat aneh. Kau pedagang dari negeri jauh?”

Noah mencoba mencari alasan. “Ya, sesuatu seperti itu. Aku, uh, melakukan perjalanan jauh dan mengalami kecelakaan.”

Wanita itu tampak berpikir, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, kau butuh makanan. Kau terlihat seperti akan pingsan.” Ia memberi isyarat dengan tangannya. “Ayo masuk.”

Noah mengikutinya masuk ke dalam kedai. Interiornya sederhana, dengan meja kayu panjang dan bangku-bangku rendah. Wanita itu berbicara singkat dengan pelayan, lalu duduk di salah satu meja dan memberi isyarat agar Noah bergabung.

“Namaku Eleanor,” katanya sambil membuka buku yang ia bawa tadi. “Aku sering melihat orang asing di kota ini, tetapi tidak ada yang pernah memakai pakaian seperti milikmu. Apa itu pakaian kerja?”

Noah tertawa gugup. “Semacam itu. Aku seorang ilmuwan… eh, penemu.”

Eleanor mengangkat alis. “Ilmuwan? Aku tidak sering mendengar kata itu. Kau seorang filsuf, atau semacam alkemis?”

Noah berpikir sejenak, mencoba menyesuaikan istilah. “Alkemis, ya… bisa dibilang begitu.”

Sebelum percakapan mereka berlanjut, pelayan datang membawa dua mangkuk sup panas. Noah hampir lupa dengan sopan santun saat ia mulai makan. Eleanor hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan.

“Jadi, apa yang kau cari di sini, Penemu?” tanyanya setelah beberapa saat.

Noah berhenti makan sejenak, lalu menghela napas. “Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu. Aku… tersesat, dan aku sedang mencoba mencari cara untuk kembali.”

Eleanor menatapnya dengan penuh perhatian. “Kembali ke mana?”

“Itu cerita yang rumit,” jawab Noah cepat, merasa belum siap menjelaskan perjalanan lintas waktu kepada seseorang yang bahkan belum pernah mendengar kata ‘fisika’.

Eleanor mengangguk, seperti memahami batasan Noah. “Baiklah. Tapi jika kau membutuhkan bantuan, mungkin aku bisa membantumu. Aku punya banyak buku, dan aku mengenal beberapa orang di kota ini yang cukup berpengaruh.”

Noah tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Eleanor terdengar seperti sebuah harapan kecil di tengah kebingungannya. “Terima kasih,” katanya dengan tulus. “Aku sangat menghargainya.”

Eleanor tersenyum hangat, lalu kembali membaca bukunya. Di saat yang sama, Noah merasa ada sesuatu yang menarik tentang wanita ini. Eleanor tidak seperti kebanyakan orang yang ia temui di sini—ia cerdas, terbuka, dan punya cara bicara yang membuat Noah merasa nyaman.

Mungkin, pikir Noah, ia benar-benar telah menemukan seseorang yang bisa membantunya memahami dunia baru ini. Atau mungkin… sesuatu yang lebih dari itu.

Bab 3: Rahasia Noah

Noah mulai merasa sedikit lebih tenang sejak pertemuannya dengan Eleanor. Wanita itu dengan ramah mempersilakannya tinggal di paviliun kecil di halaman belakang rumahnya, tempat yang biasanya digunakan untuk menyimpan alat berkebun dan barang-barang yang tidak terpakai. Meskipun sederhana, itu adalah tempat berlindung yang lebih baik daripada tidur di pinggir jalan.

Hari-hari berlalu, dan Noah perlahan mulai memahami dunia tempat ia terdampar. Kota kecil ini ternyata bernama Ravenswood, bagian dari sebuah kerajaan yang ia kenal hanya dari buku sejarah. Setiap pagi, Eleanor akan membawa teh dan sepotong roti ke paviliunnya, lalu bertanya tentang hal-hal yang menurut Noah sepele, tetapi sangat menarik bagi Eleanor.

“Apa itu listrik?” tanya Eleanor suatu pagi, ketika ia melihat Noah mencoba memperbaiki jam tangannya yang rusak.

Noah berhenti bekerja, memandang Eleanor yang duduk di bangku kayu di sebelahnya. “Listrik… yah, ini seperti aliran energi yang digunakan untuk menggerakkan banyak hal. Lampu, mesin, bahkan kota tempatku tinggal semuanya menggunakan listrik.”

Eleanor mengernyit. “Seperti api, tapi tanpa asap?”

Noah tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Tapi jauh lebih kompleks.”

Eleanor mengangguk, wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Kau pasti berasal dari tempat yang sangat maju. Ravenswood masih menggunakan lentera dan roda kincir air untuk hampir segalanya.”

Noah tersenyum masam. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindari pertanyaan Eleanor. Wanita itu terlalu cerdas untuk dibohongi lama-lama. Lagi pula, ia merasa sudah cukup percaya padanya untuk menceritakan sebagian kebenaran.

“Eleanor,” katanya pelan, menatap wanita itu dengan serius. “Ada sesuatu yang harus kau tahu. Aku tidak berasal dari tempat yang jauh… aku berasal dari waktu yang jauh.”

Eleanor memiringkan kepalanya, bingung. “Waktu? Apa maksudmu?”

Noah menghela napas panjang, lalu mulai menjelaskan. Ia menceritakan tentang eksperimen di laboratoriumnya, mesin Penstabil Kuantum, dan bagaimana ia terhisap ke dalam celah waktu yang membawanya ke Ravenswood. Ia tidak menggunakan istilah ilmiah yang rumit, tetapi mencoba menggambarkan semuanya dengan cara yang bisa dimengerti Eleanor.

Ketika ia selesai, Eleanor terdiam cukup lama. Tatapan matanya tajam, seperti sedang menganalisis setiap kata yang baru saja ia dengar.

“Jadi… kau berasal dari masa depan?” tanyanya akhirnya.

Noah mengangguk pelan. “Ya. Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi itulah kebenarannya.”

Eleanor tidak langsung menjawab. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di depan Noah sambil mengusap dagunya. “Masa depan… Itu menjelaskan banyak hal, termasuk caramu berbicara, pakaianmu, dan pengetahuanmu tentang hal-hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya.”

Noah menahan napas. Ia tidak tahu apakah Eleanor akan menganggapnya gila, atau malah melaporkannya kepada pihak berwenang. Namun, reaksi berikutnya mengejutkannya.

“Ini luar biasa,” kata Eleanor, matanya bersinar penuh antusias. “Bayangkan, seseorang dari masa depan ada di sini, di Ravenswood! Apa kau bisa kembali? Bagaimana caramu datang ke sini? Apakah ada cara untuk membuat mesin itu lagi?”

Noah tertawa kecil, merasa lega. “Itulah masalahnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya kembali. Mesin itu rusak ketika aku datang ke sini, dan aku bahkan tidak tahu apakah teknologinya bisa direplikasi dengan alat-alat di era ini.”

Eleanor duduk kembali, tampak berpikir keras. “Jika kau berasal dari masa depan, itu berarti masa lalu dan masa depan saling terhubung. Apapun yang kau lakukan di sini mungkin memengaruhi dunia yang kau tinggalkan.”

Noah mengangguk. “Itulah yang kutakutkan. Jika aku membuat kesalahan, aku mungkin mengubah sejarah.”

Eleanor tersenyum kecil. “Tapi jika kau tidak membuat kesalahan, mungkin kau bisa membuat sejarah jadi lebih baik.”

Perkataan Eleanor membuat Noah termenung. Ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Apakah ia hanya menjadi tamu di masa lalu ini, atau ia memiliki peran yang lebih besar untuk dimainkan?

Satu hal yang ia tahu pasti: bersama Eleanor, ia merasa tidak sendirian. Dan meskipun ia masih jauh dari menemukan jalan pulang, ia merasa menemukan sesuatu yang lain—sesuatu yang mungkin lebih berarti dari sekadar mesin waktu.

Bab 4: Tunas Cinta

Hari-hari di Ravenswood mulai terasa seperti rutinitas baru bagi Noah. Setiap pagi ia bangun di paviliun kecil, menyapa Eleanor yang selalu membawa sarapan sederhana, lalu menghabiskan waktu bersama memecahkan teka-teki kecil tentang kehidupan abad ke-18. Eleanor tampak semakin penasaran tentang masa depan, dan di sisi lain, Noah mulai terpesona dengan kecerdasan dan keberanian wanita itu.

Mereka sering duduk di taman kecil milik Eleanor, di bawah pohon rindang, berbincang tentang apa saja. Eleanor selalu membawa buku—kadang novel, kadang catatan ilmiah kuno—dan membacanya keras-keras untuk Noah. Meski Noah merasa sebagian besar informasi dalam buku itu sudah kuno, ia tetap mendengarkan, menikmati suara Eleanor yang tenang dan bersemangat.

Suatu sore, Eleanor membawa sebuah diagram astronomi tua dan membentangkannya di atas meja kecil. “Aku selalu tertarik dengan bintang-bintang,” katanya sambil menunjuk gambar rasi bintang. “Tapi aku tidak pernah mengerti bagaimana mereka bekerja. Kau bilang di masa depan, manusia bisa mempelajari alam semesta lebih baik?”

Noah tersenyum. “Oh, lebih dari itu. Di masa depan, manusia bahkan pergi ke bulan. Mereka mengirimkan wahana ke planet lain, mengambil gambar, dan mempelajari alam semesta secara langsung.”

Mata Eleanor membulat. “Pergi ke bulan? Itu terdengar seperti dongeng!”

“Bukan dongeng,” balas Noah. “Kami menggunakan sesuatu yang disebut roket. Itu seperti alat yang bisa membawamu terbang ke luar angkasa dengan kecepatan tinggi.”

Eleanor menatap Noah dengan kagum. “Aku tak bisa membayangkan betapa hebatnya itu. Dunia di masamu pasti penuh keajaiban.”

Noah tertawa kecil, tapi kemudian ia menggeleng. “Keajaiban, ya… Tapi tidak semuanya indah. Dunia masa depan juga penuh masalah. Perang, polusi, keserakahan. Ada banyak hal yang tidak sempurna.”

Eleanor terdiam sejenak, lalu menatap Noah dengan serius. “Tapi kau di sini sekarang, dan mungkin itu memberi kesempatan untuk berpikir ulang tentang masa depan.”

Noah tertegun mendengar kata-kata Eleanor. Wanita ini selalu memiliki cara untuk membuat hal yang rumit terasa sederhana, tetapi tetap mendalam. Ada sesuatu dalam dirinya yang begitu menarik—bukan hanya kecerdasannya, tetapi juga kehangatan dan semangat hidup yang terpancar dari setiap perkataannya.

Sore itu, percakapan mereka mengalir begitu saja, hingga matahari mulai tenggelam di balik bukit. Eleanor berdiri dan mengusulkan agar mereka berjalan-jalan ke tepi sungai di pinggir kota. Noah setuju, meski ia tahu hatinya berdebar karena sesuatu yang ia belum bisa definisikan.

Di tepi sungai, suasana terasa damai. Cahaya oranye senja memantul di permukaan air, dan angin sepoi-sepoi menyapu wajah mereka. Eleanor berjalan di samping Noah, sesekali mengangkat gaunnya agar tidak kotor oleh lumpur.

“Noah,” katanya tiba-tiba, menghentikan langkahnya. “Apa kau pernah merasa seperti… hidupmu berubah hanya karena bertemu seseorang?”

Noah menoleh, menatap Eleanor yang berdiri memandang sungai. “Aku rasa aku tahu maksudmu.”

Eleanor menoleh padanya, tersenyum kecil. “Kau membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Apa yang kau ceritakan tentang masa depan, meski kadang sulit dipercaya, membuatku sadar bahwa ada begitu banyak hal yang belum kuketahui. Dan itu… membuatku merasa kecil, tapi juga bersemangat.”

Noah menghela napas, lalu berkata, “Kau juga membuatku merasa berbeda, Eleanor. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menemukan seseorang yang membuatku merasa seperti… seperti aku di rumah, bahkan di tempat asing seperti ini.”

Eleanor menatapnya dengan mata yang lembut, dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Angin berbisik, air sungai beriak pelan, dan dunia seolah mengecil hanya untuk mereka berdua.

Namun, sebelum momen itu bisa berkembang lebih jauh, Eleanor tersenyum tipis, lalu melangkah pergi, meninggalkan Noah yang masih berdiri di tempat. “Ayo, hari sudah mulai gelap,” katanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Noah mengikuti di belakang, hatinya terasa hangat dan sekaligus bingung. Ia tahu, sesuatu sedang tumbuh di antara mereka—sesuatu yang mungkin tidak pernah ia rencanakan. Dan meski ia tahu hubungan ini rumit, hatinya mulai yakin bahwa Eleanor bukan hanya seseorang yang ia temui secara kebetulan.

Ia adalah alasan mengapa ia merasa ingin tetap bertahan di masa lalu.

Bab 5: Konsekuensi Kecil

Pagi di Ravenswood dimulai dengan kicauan burung dan sinar matahari lembut yang menyelinap melalui celah-celah jendela paviliun kecil tempat Noah tinggal. Namun, pagi itu berbeda. Noah bangun dengan pikiran yang penuh beban. Perasaan nyaman yang mulai tumbuh di Ravenswood, terutama di dekat Eleanor, kini berbenturan dengan kenyataan yang tak bisa ia abaikan: ia berada di tempat yang salah, di waktu yang salah.

Ia mengingat percakapannya dengan Eleanor di tepi sungai beberapa hari lalu, bagaimana ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Tapi bersama rasa hangat itu, datang juga ketakutan. Apakah keberadaannya di masa lalu telah memengaruhi garis waktu masa depan?

Hari itu, Noah memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia menghabiskan waktu menjelajahi kota, bertanya-tanya tentang hal-hal kecil yang menurutnya mungkin dipengaruhi oleh kehadirannya. Namun, alih-alih menemukan jawaban, ia malah menimbulkan kecurigaan.

Di pasar, seorang penjual apel mengamati Noah dengan tatapan tajam. “Kau lagi,” gumam pria tua itu. “Kau membawa sesuatu yang aneh ke kota ini.”

Noah berhenti, bingung. “Apa maksudmu?”

Penjual itu menunjuk ke arah jalan. “Kemarin, dua pria bertengkar hebat di depan tokoku. Keduanya mengklaim mendapat ide dari seorang asing yang bicara tentang ‘cara baru untuk menggiling gandum lebih cepat.’ Aku yakin itu kau.”

Noah tertegun. Ia memang berbicara tentang mekanisme roda gigi kepada salah satu pengrajin kayu beberapa hari sebelumnya, tanpa berpikir panjang. Tapi ia tidak menyangka percakapan sederhana itu akan memicu konflik.

“Maaf, aku tidak bermaksud…” kata Noah, tetapi pria itu sudah pergi sambil menggerutu.

Saat Noah kembali ke rumah Eleanor, ia mendapati wanita itu sedang menulis sesuatu di meja taman. Eleanor menyambutnya dengan senyuman hangat, tetapi Noah terlalu gelisah untuk membalas senyumnya.

“Eleanor, aku pikir aku melakukan kesalahan,” katanya, duduk di bangku di depannya.

Eleanor meletakkan pena bulu yang dipegangnya. “Apa maksudmu?”

Noah menceritakan tentang pertemuannya dengan penjual apel dan bagaimana ide kecil yang ia bagikan kepada pengrajin kayu mungkin telah memicu perubahan. Ia mengakhiri penjelasannya dengan kepala tertunduk.

“Aku tidak seharusnya ada di sini. Apa yang kulakukan mungkin merusak sejarah.”

Eleanor terdiam beberapa saat, lalu menghela napas pelan. “Noah, aku mengerti ketakutanmu. Tapi aku juga percaya bahwa perubahan tidak selalu berarti bencana.”

Noah menatap Eleanor dengan ragu. “Tapi bagaimana jika perubahan kecil ini memengaruhi masa depan dengan cara yang tidak pernah kubayangkan? Bagaimana jika aku menghancurkan segalanya?”

Eleanor tersenyum tipis, mencoba menenangkannya. “Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan akan setiap tindakan yang kita lakukan. Jika kau memiliki pengetahuan untuk membantu orang, kenapa tidak? Apa gunanya kau di sini jika hanya berdiri dan membiarkan waktu berlalu?”

Perkataan Eleanor menggema di benak Noah. Ia ingin percaya bahwa keberadaannya di sini bisa membawa kebaikan, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa sejarah mungkin sudah mulai berubah.

Beberapa hari kemudian, kekhawatiran Noah terbukti bukan sekadar ketakutan. Seorang bangsawan muda bernama Lord William datang ke rumah Eleanor dengan sekelompok pria bersenjata. Mereka membawa berita tentang kekacauan yang terjadi di kota.

“Eleanor,” kata William dengan nada serius, “Aku mendengar dari orang-orang bahwa kau bergaul dengan seorang asing yang membawa gagasan aneh. Beberapa warga desa mulai menggunakan metode baru yang tidak biasa, dan itu menimbulkan konflik. Ada yang menyebut pria itu ‘penyihir.’”

Eleanor terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Lord William, pria itu bukan penyihir. Ia hanya memiliki pengetahuan yang berbeda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

William menatap Eleanor dengan curiga. “Kau selalu memiliki hati yang baik, Eleanor. Tapi aku harus memastikan kota ini tetap aman. Jika dia terbukti membawa ancaman, aku tidak akan segan-segan bertindak.”

Noah yang mendengar percakapan itu dari balik jendela merasa dingin. Ia menyadari bahwa waktu semakin sempit baginya. Kehadirannya tidak lagi hanya membawa risiko bagi masa depan, tetapi juga bagi dirinya sendiri dan Eleanor.

Malam itu, Noah duduk di paviliunnya, mencoba mencari jalan keluar. Namun, dalam keheningan itu, ia hanya bisa memikirkan satu hal: perasaan yang semakin dalam terhadap Eleanor. Dan semakin ia memikirkannya, semakin ia sadar bahwa apa pun keputusan yang harus ia ambil nanti, akan ada harga yang harus dibayar.

Bab 6: Dilema Hati

Noah duduk di paviliunnya yang remang-remang, dengan cahaya lilin yang bergetar di atas meja kecil. Ia menghabiskan malam itu dengan mencoret-coret diagram dan catatan di buku tua yang dipinjam Eleanor dari perpustakaan bangsawan Ravenswood. Tapi semakin ia mencoba mencari solusi, semakin buntu pikirannya. Mesin waktu, celah kuantum, garis waktu—semua terasa seperti teka-teki yang mustahil diselesaikan dengan alat-alat sederhana di abad ke-18.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya. “Noah?” suara Eleanor terdengar dari luar. “Boleh aku masuk?”

Noah bangkit dan membuka pintu. Eleanor berdiri di sana dengan mantel tipis menutupi gaunnya. Wajahnya diterangi sinar bulan, tampak cemas tapi tetap lembut. “Aku melihat lampumu masih menyala. Apa kau baik-baik saja?”

Noah mengangguk, meski jelas-jelas ia tidak merasa baik-baik saja. “Masuklah,” katanya, mempersilakannya duduk.

Eleanor melangkah masuk dan menatap meja yang penuh coretan. “Kau mencoba mencari cara untuk kembali, ya?”

Noah menghela napas panjang. “Ya. Tapi setiap kali aku mencoba memikirkan solusinya, aku selalu teringat sesuatu… atau seseorang.” Ia memandang Eleanor dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Eleanor terdiam sejenak, lalu duduk di kursi di seberang meja. “Noah, kau tahu aku peduli padamu, bukan? Aku ingin kau menemukan jalan kembali, tapi aku juga takut kehilanganmu.”

Noah merasakan hatinya mencelos. “Eleanor, aku…” Ia berhenti, tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya. “Aku tidak pernah membayangkan aku akan menemukan seseorang seperti kau di tempat ini. Tapi semakin lama aku di sini, semakin aku takut bahwa aku sedang merusak sesuatu yang lebih besar daripada hanya hidupku sendiri.”

Eleanor menatapnya dengan lembut. “Kau berbicara tentang garis waktu, bukan? Tentang bagaimana tindakanmu di sini mungkin mengubah masa depan?”

Noah mengangguk. “Aku tidak tahu apa yang sudah berubah. Tapi aku tahu satu hal: keberadaanku di sini tidak normal. Dan aku tidak ingin menyakiti orang-orang yang kusayangi—termasuk kau.”

Eleanor tersenyum kecil, meski ada kesedihan di matanya. “Noah, kau tidak pernah memintaku untuk menyayangi dirimu. Tapi itu terjadi. Kau membuatku melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Kau membuatku merasa bahwa aku lebih dari sekadar wanita bangsawan yang hidup di bawah aturan orang lain.”

Noah merasa dadanya sesak. Ia tahu Eleanor jujur, tapi itulah yang membuatnya semakin sulit. “Tapi bagaimana jika perasaanku padamu justru membuatku lupa siapa aku sebenarnya? Aku tidak ingin melupakan masa depanku, Eleanor. Tapi aku juga tidak ingin meninggalkanmu.”

Eleanor berdiri dan berjalan mendekatinya. Ia menyentuh tangan Noah dengan lembut, membuatnya mendongak menatapnya. “Kau tidak harus memilih, Noah. Kau hanya perlu percaya bahwa kau bisa membuat keputusan yang benar. Apa pun itu, aku akan menerimanya.”

Noah merasa seperti ditarik ke dalam pusaran emosi. Ia ingin memeluk Eleanor, meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa janji itu sulit ditepati.

Keesokan harinya, Noah mendengar kabar buruk dari Eleanor. Lord William telah mengirim pasukan untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya. Rumor tentang seorang “penyihir dari negeri asing” telah menyebar, dan warga mulai cemas. Beberapa bahkan menganggap Noah sebagai ancaman bagi kestabilan kota.

“Kau harus berhati-hati,” kata Eleanor, duduk di meja dapur bersama Noah. “William tidak main-main. Dia menganggap apapun yang berbeda sebagai ancaman.”

Noah menggertakkan giginya. “Aku tidak ingin melibatkanmu lebih jauh, Eleanor. Jika aku pergi, mungkin semuanya akan kembali normal.”

Eleanor memegang tangannya, menghentikan kata-katanya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.”

Noah merasa terpecah. Di satu sisi, ia ingin tetap bersama Eleanor, melindunginya dari segala bahaya. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa semakin lama ia tinggal, semakin besar risiko mengubah sejarah. Dilema itu semakin menyesakkan.

Malam itu, Noah berdiri di bawah pohon besar di taman Eleanor, memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit. Ia berpikir tentang masa depan yang ia tinggalkan—dunia yang ia kenal, tempat di mana ia seharusnya berada. Tapi kemudian, ia juga memikirkan Eleanor. Wanita yang telah membuatnya merasa hidup lebih dari sebelumnya.

“Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya pada bintang-bintang. Tapi tidak ada jawaban. Hanya keheningan malam yang menyelimuti.

Dalam hati, Noah tahu bahwa keputusan itu semakin dekat. Dan apa pun yang ia pilih, hatinya akan selalu terpecah antara dua dunia—dan dua cinta.

Bab 7: Kebenaran yang Terungkap

Malam itu, suasana Ravenswood terasa lebih tegang dari biasanya. Angin yang bertiup membawa aroma hujan, seakan menjadi pertanda bahwa badai akan segera datang, baik di langit maupun dalam hidup Noah. Setelah berhari-hari berpikir, ia tahu bahwa waktunya untuk mengambil tindakan sudah dekat. Tapi tindakan apa? Ia sendiri masih belum yakin.

Ketukan di pintu paviliunnya memecah keheningan. Kali ini, bukan Eleanor yang datang, melainkan seorang pria dengan tubuh tegap dan wajah serius—Lord William. Pria itu langsung masuk tanpa menunggu izin, diikuti oleh dua pengawal bersenjata.

“Noah,” katanya dengan nada dingin, “kau telah menjadi bahan pembicaraan di seluruh Ravenswood. Dan aku di sini untuk mencari tahu siapa kau sebenarnya.”

Noah berdiri, mencoba tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. “Aku hanya seorang pengembara,” katanya, meski ia tahu alasan itu tidak akan memuaskan William.

“Pengembara tidak membawa gagasan yang mengubah cara hidup orang-orang,” balas William. “Aku mendengar apa yang kau lakukan. Kau memberikan pengetahuan yang tidak masuk akal. Roda gigi yang lebih efisien? Metode pengolahan air yang belum pernah dilihat sebelumnya? Itu bukan pekerjaan seorang pengembara biasa. Itu sihir, atau lebih buruk lagi, kau adalah mata-mata.”

Noah mendesah pelan. Ia tahu bahwa menyangkal hanya akan membuat situasi semakin buruk. “Aku bukan penyihir, dan aku bukan mata-mata,” katanya tegas. “Tapi aku berasal dari tempat yang jauh. Sangat jauh. Dan aku di sini bukan karena keinginanku.”

William mengangkat alis. “Tempat yang jauh? Apa kau bercanda?”

Noah menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah saatnya untuk mengungkapkan kebenaran. “Aku berasal dari masa depan,” katanya, menatap mata William tanpa ragu. “Aku seorang ilmuwan, dan sebuah kecelakaan membawa aku ke sini. Apa yang kau sebut sihir adalah pengetahuan dari era yang berbeda.”

Ruangan itu hening selama beberapa detik yang terasa seperti seabad. William menatapnya dengan ekspresi campuran antara skeptis dan cemas. Akhirnya, ia tertawa pendek, meski tawanya dingin. “Cerita yang menarik. Tapi jika itu benar, kau adalah ancaman yang lebih besar dari yang aku bayangkan.”

Noah hendak menjelaskan lebih jauh, tetapi suara langkah kaki yang tergesa-gesa memotong percakapan mereka. Eleanor muncul di pintu, napasnya terengah-engah. “William, hentikan ini!” serunya, matanya memancarkan ketegasan.

William menoleh ke Eleanor. “Eleanor, kau tahu bahwa aku melindungi Ravenswood. Jika pria ini benar-benar berasal dari masa depan, dia adalah ancaman bagi dunia kita. Apa kau tidak memahaminya?”

“Apa yang aku pahami,” jawab Eleanor dengan tegas, “adalah bahwa Noah bukan ancaman. Dia adalah seseorang yang terjebak di sini, sama seperti kita terjebak dalam ketakutan. Dan aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya.”

William tampak ragu. Ia mengenal Eleanor sejak kecil, dan meski ia adalah bangsawan yang berkuasa, ia selalu menghormati kecerdasan dan keberanian Eleanor. Namun, dalam situasi ini, rasa hormat itu mulai diuji.

“Noah,” kata Eleanor, berbalik ke arah pria itu, “katakan padanya tentang apa yang kau temukan. Tentang dampak kehadiranmu di sini.”

Noah mengangguk pelan, lalu menarik sebuah catatan dari meja. Ia menjelaskan dengan singkat bahwa beberapa perubahan yang ia buat—seperti memperkenalkan teknologi sederhana kepada pengrajin—sudah mulai menciptakan efek domino yang tidak terduga. Ia menjelaskan bahwa setiap intervensi kecilnya berisiko mengubah masa depan secara drastis, termasuk kemungkinan menghancurkan Ravenswood atau bahkan dunia yang ia kenal.

“Aku tidak bermaksud untuk merusak apa pun,” kata Noah dengan suara penuh penyesalan. “Tapi aku tahu bahwa keberadaanku di sini tidak seharusnya terjadi. Aku hanya ingin kembali ke masaku sendiri, sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”

William mendengarkan dengan ekspresi serius. Untuk pertama kalinya, tampak bahwa ia mulai mempertimbangkan kata-kata Noah. “Jika itu benar, maka kau harus segera pergi dari sini,” katanya akhirnya. “Tapi bagaimana caranya?”

Noah menatap Eleanor dengan ragu. “Aku tidak tahu,” katanya jujur. “Mesinku rusak ketika aku sampai di sini, dan aku belum menemukan cara untuk memperbaikinya.”

Eleanor menatap Noah dengan penuh keyakinan. “Kau akan menemukannya,” katanya pelan. “Aku tahu kau bisa.”

William menghela napas berat. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan memberi kalian waktu. Tapi ingat, Noah, jika kehadiranmu mulai menimbulkan ancaman nyata, aku tidak akan ragu untuk mengambil tindakan.”

Setelah William pergi, Noah dan Eleanor duduk dalam keheningan. Lilin di meja berkedip pelan, seolah-olah berusaha mempertahankan sinarnya di tengah angin.

“Noah,” kata Eleanor akhirnya, “aku tahu ini sulit. Tapi aku percaya kau ada di sini untuk alasan yang lebih besar dari sekadar kecelakaan. Mungkin takdir membawamu ke sini untuk sesuatu yang lebih penting.”

Noah menatap Eleanor, hatinya penuh dengan rasa syukur dan sekaligus kepedihan. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, waktunya bersama Eleanor semakin menipis. Tapi untuk malam itu, ia memutuskan untuk memeluk momen itu erat-erat, seolah-olah itu adalah malam terakhir mereka bersama.

Bab 8: Perpisahan yang Tak Terelakkan

Pagi itu, hujan turun dengan lembut di Ravenswood, menyapu dedaunan dan tanah yang basah. Udara dingin menyeruak, tetapi Noah tidak merasakan apa pun selain kehangatan dari rasa cemas dan tekad yang bercampur dalam dirinya. Ia tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di kota ini. Mungkin juga hari terakhirnya bersama Eleanor.

Ia berdiri di taman belakang rumah Eleanor, memandangi alat-alat yang ia susun dari bahan seadanya—peralatan tua, roda-roda kayu, dan kristal kecil yang ia temukan di laboratorium milik bangsawan Ravenswood. Mesin itu jauh dari sempurna, tetapi ia yakin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk membuka celah waktu kembali ke masanya.

Eleanor keluar dari rumah, membawa mantel tebal untuk melawan udara pagi yang dingin. Matanya langsung tertuju pada Noah dan mesin di depannya. Ia berhenti beberapa langkah dari Noah, wajahnya menyiratkan perpaduan antara kekhawatiran dan keyakinan.

“Kau yakin ini akan berhasil?” tanyanya pelan.

Noah menghela napas, lalu mengangguk. “Aku tidak punya pilihan lain. Mesin ini mungkin tidak sempurna, tapi aku tidak bisa terus tinggal di sini. Aku sudah membuat terlalu banyak kerusakan, Eleanor. Kehadiranku hanya akan membahayakanmu dan semua orang di sini.”

Eleanor menatap Noah, lalu tersenyum kecil. “Kau berbicara seolah-olah keberadaanmu di sini hanya membawa masalah. Tapi kau juga membawa perubahan yang berarti, Noah. Kau membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kau membuatku merasa hidup.”

Noah terdiam. Kata-kata Eleanor menghantam hatinya seperti badai. Ia ingin mengatakan bahwa Eleanor juga telah mengubah hidupnya, membuatnya merasa lebih dari sekadar ilmuwan yang terobsesi pada mesin. Tetapi kata-kata itu terasa terlalu berat untuk diucapkan.

“Kau juga membuatku merasa hidup, Eleanor,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Dan itulah yang membuat ini begitu sulit.”

Eleanor mendekat, menyentuh tangan Noah dengan lembut. “Aku tidak ingin kau pergi, Noah. Tapi aku tahu kau harus. Dan aku tidak akan menghentikanmu.”

Hujan mulai berhenti, meninggalkan kabut tipis di udara. Noah menatap Eleanor, ingin menghafal setiap detail wajahnya—matanya yang penuh kelembutan, senyumnya yang menenangkan, dan semangat hidup yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Ia tahu bahwa kenangan ini akan menjadi satu-satunya yang ia bawa kembali ke masanya.

“Noah!” Suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuat mereka berdua menoleh. Lord William muncul di taman, diikuti oleh dua pengawal. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Noah mengangkat tangannya, mencoba menenangkan William. “Aku tidak berencana untuk tinggal lebih lama. Mesin ini akan membawaku kembali ke masaku.”

William memandang mesin itu dengan mata penuh kecurigaan. “Dan bagaimana jika itu gagal? Bagaimana jika kau membuat kekacauan yang lebih besar?”

Eleanor melangkah maju, berdiri di antara William dan Noah. “William, biarkan dia pergi. Jika ini berhasil, Noah tidak akan lagi menjadi masalah untuk Ravenswood. Dia hanya ingin pulang.”

William terdiam, menatap Eleanor dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi pastikan ini tidak membahayakan kota.”

Noah bergegas kembali ke mesin, menyesuaikan pengaturan terakhir. Kristal di tengah mesin mulai bersinar, memancarkan cahaya biru yang semakin terang. Suara bergetar mulai terdengar, menciptakan riak di udara seperti permukaan air yang terguncang.

Eleanor melangkah mendekat, suaranya hampir tertelan oleh suara mesin. “Noah, janji padaku. Apa pun yang terjadi, jangan lupakan aku.”

Noah menoleh, matanya basah oleh air mata yang ia tahan. “Aku tidak akan pernah lupa, Eleanor. Kau adalah bagian terbaik dari perjalananku.”

Celah waktu mulai terbuka, memancarkan cahaya yang menyilaukan. Noah tahu waktunya hampir habis. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah mundur ke arah celah itu. Tapi sebelum ia masuk, ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan.

Ia mendekat ke Eleanor, memeluknya erat, lalu mengecup keningnya dengan lembut. “Terima kasih,” bisiknya.

Dan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia melangkah ke dalam celah waktu.

Ketika Noah membuka matanya, ia kembali berada di laboratorium. Mesin di sekitarnya telah hancur, sama seperti saat ia meninggalkannya. Tapi tidak ada jejak cahaya biru, tidak ada suara riuh, hanya keheningan yang terasa asing.

Ia bangkit perlahan, menyadari bahwa ia kembali ke masanya. Tapi perasaan yang sama sekali tidak ia duga menyelimuti dirinya—kesepian. Eleanor tidak lagi ada di sampingnya, dan meski ia kembali ke tempat asalnya, hatinya terasa kosong.

Noah berjalan keluar dari laboratorium, membawa sebuah buku kecil yang ia bawa dari masa lalu. Itu adalah hadiah dari Eleanor—catatan kecil tentang astronomi yang sering mereka baca bersama. Ia memandang ke langit malam, mencari bintang-bintang yang pernah ia ceritakan kepada Eleanor.

“Aku tidak akan melupakanmu,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam.

Di hatinya, ia tahu bahwa meski waktu telah memisahkan mereka, cinta yang ia temukan di Ravenswood akan selalu hidup, melintasi ruang dan waktu.

Bab 9: Jejak yang Abadi

Hari-hari setelah kembalinya Noah ke masanya terasa seperti berada di dunia yang asing, meskipun ia kembali ke tempat yang seharusnya ia kenal. Laboratorium tempat ia bekerja kini terasa sepi, hening, dan kosong. Mesin-mesin yang dulunya membuatnya bersemangat kini hanya menjadi pengingat akan sebuah perjalanan yang tidak direncanakan, dan sebuah perasaan yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Noah menghabiskan minggu-minggu pertama dengan mencoba membenahi apa yang tersisa dari eksperimennya. Mesin Penstabil Kuantum benar-benar hancur, dan meski ia mencoba memperbaikinya, ia tahu dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah bisa membuka celah waktu lagi. Bukan karena ia tidak cukup pintar, tetapi karena ia tidak yakin ia ingin kembali ke masa lalu. Kenangan tentang Eleanor terlalu indah untuk diusik oleh kemungkinan pertemuan kembali yang penuh risiko.

Suatu malam, saat membersihkan meja kerjanya, Noah menemukan buku kecil pemberian Eleanor. Halamannya sedikit menguning, dan aroma khas buku tua menyapa hidungnya. Di dalamnya, ia menemukan catatan tangan Eleanor yang ia tulis dengan pena bulu.

“Untuk Noah, yang membawa cahaya ke duniamu sendiri dan ke duniaku. Jika bintang-bintang bisa berbicara, aku yakin mereka akan menceritakan kisah kita.”

Noah menutup buku itu perlahan, merasakan kehangatan yang bercampur dengan rasa kehilangan. Eleanor benar-benar percaya bahwa ada alasan bagi kehadiran mereka di hidup satu sama lain, bahkan jika waktu akhirnya memisahkan mereka. Ia tidak akan pernah melupakan hari-hari mereka bersama, percakapan mereka di bawah bintang, dan keberanian Eleanor yang selalu menginspirasi.

Beberapa bulan kemudian, Noah memutuskan untuk mempresentasikan penelitiannya kepada komunitas ilmiah. Namun, alih-alih membicarakan tentang Penstabil Kuantum, ia memilih untuk membahas filosofi yang ia pelajari dari perjalanannya. Ia berbicara tentang bagaimana setiap tindakan, sekecil apa pun, dapat menciptakan dampak yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.

“Seperti riak di permukaan air,” katanya di depan audiens yang mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang kita tidak sadar bahwa satu langkah kecil bisa mengubah segalanya—bukan hanya untuk kita, tetapi untuk orang-orang yang kita temui, bahkan generasi yang akan datang.”

Saat audiens memberinya tepuk tangan, Noah merasa bahwa ia akhirnya memahami tujuan dari perjalanan yang ia alami. Ia tidak dikirim ke masa lalu untuk memperbaiki sesuatu, tetapi untuk belajar bahwa kehadiran setiap orang, di waktu mana pun, memiliki arti. Eleanor telah mengajarkannya bahwa cinta, keberanian, dan harapan tidak mengenal batasan waktu.

Suatu malam, Noah memutuskan untuk pergi ke bukit di pinggiran kota, tempat ia bisa melihat bintang dengan lebih jelas. Ia membawa buku kecil Eleanor bersamanya, membuka halaman-halaman yang penuh dengan gambar rasi bintang yang mereka bahas bersama.

Saat menatap langit malam, ia melihat bintang-bintang yang sama yang pernah ia tunjukkan kepada Eleanor. Ia tersenyum kecil, membayangkan Eleanor di masa lalu, mungkin sedang melakukan hal yang sama, memandang bintang dan memikirkan dirinya.

Di hatinya, Noah merasa Eleanor masih bersamanya—bukan secara fisik, tetapi dalam cara ia menjalani hidupnya. Ia tahu bahwa apa pun yang ia lakukan di masa depan, jejak cinta mereka akan tetap ada, seperti cahaya bintang yang menempuh waktu untuk mencapai bumi.

“Noah, lihatlah bintang-bintang,” bisik kenangan Eleanor di pikirannya.

Noah mengangguk pelan, seakan menjawab panggilan itu. “Aku melihatnya, Eleanor,” katanya pelan. “Dan aku akan terus melihatnya, untuk mengingatmu.”

Hingga malam itu berlalu, Noah tetap duduk di bawah langit penuh bintang, mengingat setiap momen bersama Eleanor. Dan di antara dinginnya angin malam, ia merasa hangat, karena ia tahu bahwa cinta mereka, meski tidak bisa bersama, telah meninggalkan jejak yang abadi di lintasan waktu.

Bab 10: Epilog – Jejak yang Tak Pernah Pudar

Tahun-tahun berlalu sejak Noah kembali dari masa lalu. Kehidupan di masanya berjalan seperti biasa, tetapi di dalam hati Noah, ia selalu membawa sesuatu yang tak biasa: kenangan akan Eleanor dan Ravenswood. Meski ia melanjutkan hidupnya, menemukan kesuksesan sebagai ilmuwan, dan dihormati atas kontribusinya dalam bidang teknologi, ada bagian dari dirinya yang selalu merindukan sesuatu yang lebih besar dari semua itu.

Noah memutuskan untuk tidak pernah mengungkapkan kisah perjalanannya ke masa lalu kepada orang lain. Itu adalah rahasia yang ia simpan dalam-dalam, sesuatu yang terlalu pribadi untuk dibagi. Sebaliknya, ia menulis sebuah jurnal. Halaman-halamannya penuh dengan catatan tentang Eleanor, percakapan mereka, dan filosofi hidup yang ia pelajari selama waktunya di Ravenswood.

Jurnal itu bukan sekadar catatan; itu adalah jembatan kecil yang menghubungkannya dengan masa lalu. Ia sering membuka buku itu di malam hari, ketika suasana sunyi dan bintang-bintang mulai bersinar di langit. Setiap kali ia membaca tulisan-tulisannya, ia merasa seperti mendengar suara Eleanor lagi, lembut dan penuh keyakinan.

Suatu hari, Noah menerima undangan untuk memberikan pidato di konferensi besar tentang inovasi dan tanggung jawab ilmiah. Ia tahu ini adalah kesempatan baginya untuk membagikan pelajaran paling penting yang pernah ia pelajari, meski tidak secara langsung.

Di atas panggung yang megah, ia berdiri di depan ribuan audiens. Setelah berbicara tentang teknologi dan sains, ia menutup pidatonya dengan cerita pendek—bukan tentang perjalanan waktunya, tetapi tentang seorang ilmuwan yang menemukan cinta, keberanian, dan arti hidup di tempat yang tak terduga.

“Sains adalah tentang memahami dunia,” katanya, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. “Namun, di atas segalanya, sains adalah tentang menciptakan hubungan—hubungan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kita tidak hanya hidup untuk hari ini; setiap tindakan kita meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang, bahkan di lintasan waktu.”

Tepuk tangan menggema di ruangan itu, tetapi Noah tidak terlalu memikirkan pengakuan itu. Dalam hatinya, ia hanya berharap bahwa di suatu tempat, di suatu waktu, Eleanor mungkin mendengar pesannya, entah bagaimana.

Beberapa tahun kemudian, saat Noah membersihkan laboratoriumnya, ia menemukan sesuatu yang mengubah segalanya. Di laci meja tua yang hampir ia lupakan, ia menemukan kotak kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ketika ia membukanya, ia menemukan sesuatu yang membuat dadanya sesak—sebuah medali kecil dengan lambang Ravenswood, dan sebuah catatan kecil yang bertuliskan:

“Untuk Noah, dari Eleanor. Jika suatu hari ini sampai kepadamu, ketahuilah bahwa jejakmu di sini tidak pernah hilang. Terima kasih telah datang ke duniaku.”

Noah menggenggam medali itu dengan tangan gemetar. Bagaimana itu bisa sampai ke masanya? Apakah Eleanor menemukan cara untuk meninggalkan sesuatu untuknya? Atau apakah ini hanya kebetulan ajaib yang tak bisa dijelaskan oleh sains?

Ia menatap medali itu lama, lalu tersenyum kecil. Ia tidak butuh jawaban. Yang ia tahu, cinta mereka telah menembus batasan ruang dan waktu, meninggalkan jejak yang tidak akan pernah pudar.

Malam itu, Noah kembali ke bukit tempat ia sering melihat bintang. Ia membawa medali itu bersamanya, menggenggamnya erat-erat saat ia menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar terang, sama seperti malam terakhir ia bersama Eleanor.

“Noah,” suara Eleanor bergema dalam ingatannya. “Lihatlah bintang-bintang.”

Dan ia menjawab, seperti yang selalu ia lakukan, “Aku melihatnya, Eleanor. Aku akan selalu melihatnya.”

Di bawah langit penuh bintang, Noah tersenyum, merasakan kedamaian yang jarang ia temukan. Ia tahu bahwa, meski waktu telah memisahkan mereka, cinta yang mereka bagi akan selalu hidup, meninggalkan jejak yang abadi di lintasan waktu. Dan itu, bagi Noah, sudah lebih dari cukup.

Bagaimana novel singkat perpaduan romansa dan fiksi ilmiah di atas? jika kamu suka silahkan share atau memberikan komentar. Silahkan baca novel singkat lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *